Bertempat di Hong Kong Café, CISC (Cancer Information & Support Centre) menyelenggarakan konferensi pers berjudul “Tantangan dan Harapan: Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Pasien Kanker Payudara HER2-Positif di Indonesia” pada Kamis (29/8). Rangkaian acara terdiri dari, pertama Talkshow, yang menghadirkan dr. Farida Briani, SpB(K) Onk dan dr. Ronald A. Hokum, Sp.PD-KHOM sebagai narasumber serta Ayu Dyah Pasha sebagai moderator. Kedua, testimoni penyintas kanker payudara HER2-positif, yang disampaikan oleh Juniarti Tanjung dan Wielly Wahyudin. Ketiga, sosialisasi Komunitas CISC for HER2 dan peluncuran Lomba Tulis Cerita tentang HER2. Farida memulai paparannya dengan membahas pengetahuan dasar mengenai kanker, meliputi definisi kanker, subtipe kanker, harapan hidup pasien kanker payudara (berdasarkan stadium), dan lain sebagainya. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kanker payudara memerlukan perhatian khusus dan serius sebab merupakan penyebab kematian tertinggi di hampir semua tempat di dunia. “Berdasarkan data Globocan 2018, kanker payudara adalah penyebab kematian tertinggi dibanding jenis kanker lainnya, yaitu 17/100.000 pasien. Berdasarkan data dari Kemenkes, angka kejadian tertinggi untuk kanker pada perempuan adalah 42,1/100.000 penduduk,” ujarnya. Selanjutnya, Farida menjelaskan tentang kanker payudara subtipe HER2-Positif. Ia mengatakan bahwa kanker tipe ini berkaitan dengan prognosis buruk karena pertumbuhan agresif tumor dan risiko metastasis (penyebaran) yang tinggi, sehingga merupakan tipe kanker yang ganas. Selain kemoterapi, ada pengobatan lain yang dinilai lebih menguntungkan bagi pasien pengidap penyakit ini, yaitu terapi target. “Terapi sistemik kanker payudara subtipe HER2 menurut banyak penelitian berskala internasional yang hasilnya sejak 1998 hingga sekarang secara konsisten memperlihatkan keuntungan bagi pasien adalah terapi yang mengandung terapi target,” jelas Farida. Namun menurutnya, obat terapi target ini relatif mahal. Selain obat yang membutuhkan biaya tidak sedikit tersebut, ia pun menyayangkan pelayanan di hampir semua rumah sakit pemerintah di Indonesia masih banyak yang seharusnya diperbaiki, baik dari aspek prosedur diagnostik maupun pengobatan kanker payudara. Menurutnya, banyak alternatif yang bisa ditempuh pemerintah, yang kelak hasil perbaikan atau evaluasi diharapkan bukan hanya akan lebih sesuai dengan standar terapi yang benar, namun juga akan lebih menghemat pengeluaran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Setelah itu, Talkshow dilanjutkan oleh Ronald sebagai narasumber kedua. Ia mengatakan bahwa tingginya kematian akibat kanker dapat dicegah, melihat angka kesembuhan akibat berbagai jenis kanker yang meningkat tajam. Sebagai contoh, saat ini di Inggris ada sekitar 80% pasien kanker payudara yang memiliki harapan hidup 10 tahun sejak diagnosis awal, angka ini meningkat dibandingkan pada awal tahun 1970-an yang hanya 40%. “Namun, permasalahannya di Indonesia adalah pada tahap pencegahan dan deteksi dini,” imbuhnya. Ia menceritakan bahwa pada beberapa kasus yang ditemuinya, sebagian besar pasien kanker datang di rumah sakit sudah dalam stadium lanjut dimana kemungkinan sembuhnya kecil, dan sering memerlukan obat yang sangat mahal. Lebi lanjut, mengenai HER2-Positif, ia menjelaskan bahwa sekitar 20–25% kanker payudara di Indonesia merupakan jenis HER2-Positif yang bersifat lebih ganas. Namun menurutnya, jika dilakukan pengobatan anti-HER2 dan ditangani yang benar, maka harapan sembuh dapat meningkat secara bermakna. Setelah sesi Talkshow, acara dilanjutkan dengan sesi testimoni. Juniarti Tanjung menceritakan pengalamannya berhadapan HER2-Positif. Sejak mendapatkan diagnosis positif kanker payudara pada 2018, ia memutuskan untuk segera menjalankan berbagai prosedur pengobatan dari dokter. Hingga pada Juli 2019, ia pun dinyatakan telah bersih dari kanker payudara HER2-Positif. Menurutnya, pengalaman yang berkesan adalah memperjuangkan dijamin kembalinya obat trastuzumab dalam BPJS Kesehatan. Obat seharga Rp 25 juta per botol per 440 mg ini sempat dibatasi bahkan diduga dipersulit aksesnya. Setelah ia mengajukan gugatan, jalan tengah yang diambil adalah BPJS Kesehatan akan menjalankan Permenkes No. 22 Tahun 2018, yang menyatakan trastuzumab tetap dijamin oleh BPJS Kesehatan. Kemudian, testimoni kedua disampaikan Wielly yang juga menceritakan pengalaman serupa mengenai HER2-Positif. Menurutnya, sangat tabu bagi seorang laki-laki bisa terkena kanker payudara, sebab penyakit ini identik dengan perempuan. “Sangat sulit bagi saya untuk menerima diagnosis kanker payudara, terlebih jenis HER2-Positif pula yang semakin menambah keasingan penyakit ini,” ungkapnya. Tak pernah tebersit dalam benaknya jika ia akan mengidap penyakit ini. Beruntung, dukungan kantor dalam hal finansial dan adanya dukunga mental dari keluarga membuatnya mampu melewati hal berat ini dan berhasil sembuh dari kanker payudara tipe ganas ini. Acara selanjutnya adalah sosialisasi komunitas CISC for HER2. Dengan semangat untuk turut berperan aktif dalam segala hal yang berhubungan dengan kanker payudara HER2-Positif, CISC membentuk komunitas bernama “CISC for HER2”. Diharapkan komunitas ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi, inspirasi, dan dukungan bagi pasien, penyintas, juga keluarganya. Diharapkan pula dapat merumuskan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka melindungi hak pasien dan mendorong perbaikan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam program JKN, sejak stadium dini. Dan sebagai bentuk saluran komunikasi digital, CISC menggelar Lomba Tulis Cerita tentang HER2 untuk mengetahui lebih jauh tentang HER2-Positif dari cerita-cerita inspiratif. (Shera Ferrawati) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |