“Zaman itu perempuan dianggap swarga nunut, neraka katut. Padahal di rahim ibu, semua sama, dikandung selama sembilan bulan, sama-sama menyusui. Maka dari itu ingin menuntut,”tutur Suti dengan jelas. Di usia 96 tahun, dia masih tampak sehat dengan wajah penuh kerut namun beraura positif. Wajahnya dihiasi dengan senyum ramah dan tiada menunjukkan rasa lelah ketika kami dari Jejer Wadon mengunjunginya pagi itu, Sabtu (30/1/2016). Perjalanan Suti, nama asli dari Arjo Sutiyem dalam aktivitas gerakan perempuan diawali ketika pada tahun 1951 dirinya berjalan kaki ke Jatinom, Klaten untuk menjajakan daun sirih. Pekerjaan yang dilakoninya sehari-hari adalah berjualan sirih dari pasar ke pasar. Jamak ditemui perempuan desa pada waktu itu dengan kebiasaan nginang, menguyah daun sirih, pinang dan kapur. Cerita mengalir pelan-pelan dari mulut Suti. Di Jatinom Klaten, dia menemui hal yang tak lumrah seperti biasanya. Ada sekumpulan perempuan di sebuah rumah. Dia berpikir ada kematian di desa itu, namun mengapa hanya kaum perempuan saja. Suti menghentikan langkah. Suti bertanya-tanya dan setelah mengetahui alamat rumahnya, mereka mengajak bergabung. Perkumpulan itu dinamakan Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) dan dipimpin oleh perempuan yang bernama Wignyo. “Di situlah aku diberi peraturan dasar Gerwis,” jelas Suti. Suti lancar membaca dan menulis juga hitung-hitungan. Sehingga dia bisa membaca dan menghapal peraturan dasar Gerwis. “Bapakku petani miskin. Aku diikutkan ke sebuah keluarga yakni Raden Broto yang saat itu menjabat sebagai carik (sekretaris desa-red). Anak perempuannya bernama Kartini. Pada waktu itu pengertianku sekolah dibayari oleh mereka, ternyata tidak. Pamanku yang membayar, hingga kelas 3 Sekolah Rakyat,” Suti menyebut jumlah kisaran angka pada waktu itu. Uang yang harus dibayarkan oleh pamannya, demi pendidikan yang ingin ditempuh Suti. Di tengah suara kokok ayam jantan, suara Suti yang lirih berlanjut. “Terus aku ngenger (mengabdi-red) di rumah bibi, di Singosari Jatinom. Dulunya kecamatan. Sampai kemudian tahun berapa begitu, mereka pindah ke Wonogiri. Aku pulang ke Musuk.” Suti melanjutkan cerita masa lampau, saat dirinya remaja kecil. Dua tahun aktif di Gerwis Jatinom, tahun 1952 Suti menjadi ketua Gerwis Boyolali. Dari Klaten diserahkan ke Boyolali, Suti memimpin 2000 anggota tetap dan 2000 lainnya tidak tetap. Dia mengajarkan kepada para perempuan tentang peraturan dasar yang memuat kesetaraan. Menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki. Hak dalam perkawinan, hak waris, hak pendidikan, politik, kedudukan, antipoligami, antipoliandri serta mendukung monogami. Tahun 1953 Di Bendung, Gerwis diganti nama Gerwani. Anak cabang Musuk diserahkan ke Boyolali dan Suti mengorganisasi seluruh daerah ditambah satu kecamatan di kabupaten Semarang. Suti menjadi saksi pada pemilihan umum (pemilu) yang diadakan pertama kali tahun 1955. Pemilu diikuti oleh empat partai besar: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam tragedi berdarah tahun 1965, Suti tak luput dari incaran. “Tahun 1965 ana ing omah kula dioyak-oyak pemuda baret merah/marhaenis”. (Tahun 1965 di rumah, saya dikejar-kejar pemuda baret merah/marhaenis-red) . Simpatisan PKI itu nyaris membakar rumah saya. Semua harta benda yang kumiliki dijarah. Aku berlari hingga Karangloh. Aku berlari terbirit-birit. Namun ada kerabat yang membawaku hingga menghadap tentara,” cerita lalu berhenti. Kami tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Dalam sebuah referensi di JP, “Pada waktu itu mbah Arjo Sutiyem adalah salah satu korbannya, tapi ia tidak sampai dibunuh. Ia mengisahkan, pada waktu itu terdapat 19 laki-laki yang dianggap menganut paham komunis yang diangkut dan dibawa ke salah satu hutan di lereng Gunung Merapi, dan dari 19 orang tersebut, satu diantaranya meninggal terlebih dahulu sehingga tinggal 18 orang yang pada waktu itu dilucuti dan dijemur di bawah terik matahari. Mbah Arjo Sutiyem yang pada waktu itu sudah tidak menjabat dalam organisasi GERWANI ikut diangkut dan diserahkan ke tentara oleh saudaranya sendiri karena dianggap sebagai salah satu perempuan yang aktif dan membahayakan.” (http://www.jurnalperempuan.org/blog-feminis-muda/arjo-sutiyem-aktivis-dan-korban-651) Suti nyaris dibunuh seperti ke-18 pemuda. Pakaiannya dilucuti hingga tak ada selembar benang pun terlampir di tubuhnya. “Aku menjalani hukuman topo pepe wudo sinjang (bertapa jemur telanjang dan hanya berbalut rambut). Untung rambutku panjang sehingga bisa untuk membalut kemaluanku.” Cerita berhenti sebentar. Kami diam seribu bahasa. “Akhirnya aku dilepas. Setelah melewati intimidasi-intimidasi. Kata mereka buat apa ditahan toh nanti mati sendiri karena sudah tua.” Selepas mengalami penahanan-penahanan yang tidak manusiawi, Suti pulang ke desa dan didapatinya suaminya tewas setelah gantung diri. Peristiwa-peristiwa beruntun yang bermula dari ancaman pembakaran rumah, lalu semua harta bendanya dijarah dan dirinya dikejar-kejar hingga berlari ke hutan. Cerita Suti, penyintas tragedi tahun 1965 yang tinggal di sebuah desa di Musuk Boyolali menjadi sebuah goresan atas sejarah kelam negeri ini. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |