Rabu, 31 Januari 2018, Jurnal Perempuan meluncurkan film dokumenter dan pendidikan publik JP 95 dengan judul Perempuan Nelayan di Hotel Aryaduta, Jakarta. Rangkaian acara ini dilakukan sebagai bentuk advokasi demi mendorong terpenuhinya hak-hak perempuan nelayan. Advokasi terhadap hak perempuan nelayan adalah hal yang penting dilakukan mengingat besarnya kontribusi mereka dalam pemenuhan ketahanan pangan dan nutrisi di tingkat nasional maupun global. Di Indonesia setidaknya terdapat 3,9 perempuan nelayan namun ironisnya hingga saat ini pemenuhan hak-hak dan pengakuan atas profesi nelayan masih sulit mereka dapatkan. Pada kesempatan tersebut, Susan Herawati Romica, Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) membincangkan mengenai strategi dan tantangan dalam melakukan pengorganisasian dan advokasi terhadap hak-hak perempuan nelayan atas pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan. Susan memberi fokus pada pengorganisasian kelompok perempuan nelayan sebagai bagian penting dari advokasi hak-hak perempuan nelayan. Pada tahun 2010 KIARA dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) yang didukung oleh Oxfam mendorong lahirnya PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia). Susan menyatakan bahwa PPNI dibangun dengan menemukan kekhasan gerakan perempuan nelayan, nilai lokal, dan moda ekonomi yang bisa digerakkan dengan jalan gotong royong. PPNI adalah wadah solidaritas dalam upaya mendorong perempuan nelayan untuk berdaulat, mandiri dan sejahtera. Solidaritas menjadi kata kunci dalam gerakan perempuan, begitu juga dengan PPNI. Solidaritas artinya memiliki rasa sepenanggungan. Menurut Susan, PPNI berupaya membangun dan mengenalkan gagasan solidaritas pada perempuan nelayan, karena awalnya perempuan nelayan sangatlah individual dan tidak terlibat dalam kegiatan keorganisasian. Susan melihat hal ini sebagai dampak konstruksi budaya yang mendomestikasi perempuan. Hambatan budaya adalah tantangan terbesar bagi gerakan perempuan akar rumput. Susan memaparkan masyarakat masih kental dengan keyakinan bahwa perempuan tempatnya di rumah, sehingga keterlibatan perempuan di dalam organisasi masih dianggap hal yang tidak wajar. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam organisasi mendapat stigma sebagai perempuan yang melawan kodrat. Susan menambahkan bahwa mengubah kesadaran perempuan nelayan merupakan perkara yang tidak mudah. Sedari kecil mereka telah mendapat sosialisasi bahwa peran perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga, sehingga pun mereka bekerja sama dengan suaminya melakukan seluruh kerja nelayan mereka tidak menganggap kerja mereka sebagai profesi. Ini artinya, organisasi seperti PPNI harus terlebih dahulu bergerak untuk membangun kesadaran para perempuan mengenai identitas profesi mereka sebelum dapat masuk dalam advokasi kepada pemerintah untuk menuntut pemenuhan hak perempuan nelayan. “Kondisi perempuan nelayan masih terstigma dengan tiga hal yaitu dapur, sumur, kasur, padahal peran perempuan sudah tidak di wilayah domestik saja tapi juga masuk ke ranah publik,” ungkap Susan. Menurut Susan makna kerja perempuan nelayan direduksi sedemikian rupa, walaupun kontribusi perempuan nelayan dalam perekonomian keluarga nelayan sangat besar yaitu 48% dan mereka bekerja 17 jam per hari di perikanan tangkap dan 15 jam per hari di perikanan budi daya, tetap saja masyarakat dan pemerintah sulit mengakui peran mereka dalam sektor perikanan. Menurut Susan definisi nelayan dalam undang-undang menjadi hambatan bagi pengakuan atas profesi perempuan sebagai nelayan. Undang-undang idealnya tidak membedakan subjek pekerjaan berdasarkan jenis kelamin seseorang, entah ia laki-laki atau perempuan, namun implementasinya tidak demikian. UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak garam tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. Dalam UU tersebut perempuan hanya disebut satu kali yaitu dalam rumah tangga nelayan, hal ini menjadi salah satu penyebab proses advokasi untuk pengakuan profesi perempuan nelayan menjadi sangat sulit. Perempuan hanya sebatas dimaknai sebagai teman melaut suami. Selain berfokus pada gerakan politik, PPNI juga berfokus pada pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan. Susan menuturkan bahwa awalnya PPNI hendak memulai perjuangan dari gerakan politik, tapi langkah tersebut dirasa tidak berjalan bila persoalan ekonomi perempuan belum disentuh. PPNI menginisiasi sejumlah pelatihan pengolahan hasil perikanan yang membawa agenda politis. Menurut Susan, tiap produk yang dihasilkan oleh perempuan-perempuan nelayan ini membawa pesan bahwa mereka melawan kekerasan, stigma, marginalisasi dan segala bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan nelayan. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |