Summit on Girls 2019: Memotret Peran Media di Indonesia Dalam Mempromosikan Kesetaraan Gender12/12/2019
“Dalam penelitian Rewrite Her Story Plan Internasional pada tahun 2018 yang melibatkan 10.000 anak perempuan di 20 negara ditemukan bahwa perempuan masih termarginalkan perannya dalam media. Hal ini memengaruhi cara bertutur mereka di media audio visual termasuk bagaimana perempuan digambarkan di media,” ujar Nazla, Influencing Director Plan Indonesia. Nazla melanjutkan bahwa dari penelitian lain terkait representasi perempuan di dalam film, ditemukan bahwa film-film paling populer di dunia mengirimkan pesan kepada anak perempuan dan perempuan muda bahwa kepemimpinan lebih banyak untuk laki-laki. Pemimpin perempuan dalam film-film layar lebar--baik itu sebagai presiden, CEO atau pemilik bisnis--jauh lebih mungkin digambarkan sebagai objek seks yang ditampilkan dalam pakaian terbuka atau bahkan telanjang. Riset tersebut juga menemukan karakter pemimpin perempuan di dalam film yang diperlakukan tidak sebaik karakter laki-laki dan narasi cerita yang masih didominasi laki-laki. Paparan Nazla tersebut mengawali diskusi paralel bertema “The Media Darlings” dalam rangkaian kegiatan Summit on Girls 2019 yang diselenggarakan Yayasan Plan Indonesia (10/12/2019) di Balai Kartini. Diskusi tersebut tersebut juga menghadirkan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro, Fitria Sofyani (Chief of Kumparan Woman), Rachel Amanda (Youth Advisory Panel UNFPA & Aktris), Arief Suditomo (Deputy CEO Metro TV) sebagai pembicara. Nazla melanjutkan bahwa media memiliki peran besar bagi anak khususnya anak perempuan, sebab melalui film anak dapat melihat karakter positif yang dapat menginspirasi mereka. Untuk itu menurutnya perempuan perlu menuliskan kisah-kisah anak perempuan dari sudut pandang mereka sendiri. Menanggapi hal tersebut, Atnike Nova Sigiro menyampaikan dalam konteks Indonesia bahwa film layar lebar yang ditayangkan di bioskop yang hanya bisa diakses kalangan tertentu. Di sisi lain, perempuan dan anak perempuan dari kelas menengah bawah mengonsumsi tayangan sinetron di televisi yang menggambarkan perempuan perempuan sebagai objek, perempuan tidak berdaya, perempuan sebagai korban. Lebih jauh, menurut Atnike, dalam membahas media dan ketimpangan gender, khususnya diskriminasi terhadap anak perempuan, tidak cukup hanya bicara soal film atau sinetron. Iklan di televisi pun pada umumnya mengobjektifikasi tubuh perempuan. “Kebanyakan iklan yang diperankan oleh perempuan menampilkan perempuan cantik namun sesuai dengan mitos kecantikan,” ujar Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan itu. Selain film dan iklan, berita di media massa maupun daring pun belum berpihak pada suara perempuan, anak perempuan, dan korban. “Judul berita seringkali dibuat bombastis dan sensasional namun tidak sesuai dengan isinya,” lanjut Atnike. Menurutnya media seharusnya memproduksi hal-hal yang mendukung keseteraan bukan malah menyerah pada kompetisi pasar yang cenderung bias gender. Menurutnya harus ada kehendak dari media untuk memproduksi konten yang mendukung kesetaraan dan pendidikan bagi media tentang kesetaraan gender. Hal senada disampaikan oleh Rachel Amanda yang akrab dipanggil Manda. Ia menuturkan bahwa dalam dunia film, yang memiliki kuasa untuk menentukan cerita adalah produser dan sutradara, yang mana masih didominasi laki-laki. Pelaku film yang tertarik untuk mengangkat isu perempuan masih sedikit karena indsutrinya masih mengikuti selera pasar. Fitria dari Kumparan mengutarakan bahwa di industri media tempat ia bekerja memiliki komitmen untuk menyampaikan berita yang mengutamakan substansi, meskipun menurutnya masih banyak tantangan yang ditemui. Di Kumparan, dari 11 kanal hanya terdapat 4 editor perempuan. Fitria menyampaikan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengelola media yang mendukung kesetaraan gender. Dari ratusan jurnalis yang dikelola, masih sangat sedikit yang paham isu gender. Secara internal juga sudah ada aturan (guideline) untuk isu perempuan dan anak, hanya saja isu spesifik anak memang belum digarap. Fitria mengungkapkan dari pengalamannya bekerja di media daring, memang masih banyak yang belum memahami perspektif gender. Maka tidak mengejutkan jika banyak berita dengan judul dan isi yang tidak mendukung kesetaraan. Menurut Fitria perspektif gender harus dibangun sejak awal kepada tim redaksi atau jurnalis. “Tantangan dari luar kadang muncul dari pembaca yang mematahkan semangat penulis melalui komentar, bahkanketika penulis menuliskan berita atau artikel yang menginspirasi sekalipun. Saya berharap ke depan ada mekanisme umpan balik dari netizen, untuk memberikan tanggapan yang sehat agar konten yang menginspirasi dapat terus diproduksi,” pesan Fitria. Arief Suditomo, Deputy CEO Metro TV, menyampaikan bahwa sensitivitas gender di media perlu terus dikawal oleh pembaca maupun pemirsa. Di media tempatnya bekerja sendiri tidak ada formula atau aturan spesifik untuk menuliskan pemberitaan yang adil gender, tetapi sumber daya manusia (SDM) sudah memiliki sensitivitas tersebut sehingga dapat saling mengoreksi satu sama lain. “Dalam konteks industri media yang tergantung pada selera pasar, revenue dan rating merupakan target dari setiap media dan kadang yang terjadi adalah seberapa jauh satu media rela berkorban demi menghasilkan berita yang berkualitas,” ungkap Arief. Iaoptimis bahwa masih ada harapan untuk siaran televisi berita untuk dapat menjadi media yang menginspirasi. Siaran televisi berita sebab mampu memotret kondisi sosial sebagai referensi atau potret riil situasi sosial di masyarakat,tidak seperti sinetron yang sekadar menunjukkan fantasi. Summit on Girls adalah bagian dari kampanye Girls Get Equal yang diluncurkan Plan Internasional pada tahun 2018. Girls Get Equal sendiri adalah kampanye perubahan sosial yang dipimpin oleh anak muda. Pesan utama gerakan kampanye tersebut bertujuan memastikan setiap anak perempuan dan perempuan muda memiliki kuasa terhadap hidupnya dan bisa mempengaruhi dunia di sekitarnya. Dengan tajuk Getting Equal: Let’s Invest in Girls, Summit on Girls tahun 2019 bertujuan untuk memfasilitasi dialog antara figur pemimpin, tokokh berpengaruh, pegiat kesetaraan gender, anggota komunitas, cendekiawan dan kaum muda dari berbagai latar belakang untuk saling menginspirasi dan memberdayakan diri mereka sendiri demi terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia. Tema Invest in Girls diangkat karena investasi pada anak perempuan dapat memperluas akses mereka pada pendidikan dan lapangan pekerjaan yang beragam. Dalam acara ini berbagai sesi diskusi paralel diselenggarakan dengan topik yang beragam mulai dari isu politik dan kepemimpinan perempuan, perempuan dan pekerjaan, aktivisme di era digital, perempuan dan media, perubahan iklim dan membongkar stereotipe. Masing-masing sesi diisi oleh pakar dan pegiat yang mendalami isu di bidang tersebut. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |