Sulistyowati Irianto: Suara Perempuan harus Mengisi Ruang dan Proses Pengambilan Keputusan21/9/2015
“Kemiskinan dan keterbelakangan ibarat benang-benang yang menyelinap terpintal di selembar kain tenun Republik Indonesia,” kalimat ini membuka orasi kebudayaan yang disampaikan Ketua Program Pascasarjana Multidisiplin Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto dalam perayaan Lustrum III Pusat Kajian Wanita dan Gender (PKWG) UI pada Kamis (17/9) di Auditorium Juwono Sudarsono, UI Depok. Dalam pidato budaya tersebut Sulistyowati yang juga Dewan Redaksi Jurnal Perempuan menyoroti pemiskinan dan eksploitasi alam di Papua yang berdampak terutama pada perempuan. Sulistyowati mengungkapkan bahwa perempuan kehilangan ruang hidupnya ketika sumberdaya alam, terutama tanah dan bahan kekayaan yang terkandung di dalam dan di atasnya, diperebutkan oleh banyak pihak. Bagi perempuan, bumi adalah sumber pengetahuan sekaligus penghasil sumber makanan, karenanya bumi harus dirawat. Celakanya para pejabat, birokrat dan pemilik modal melihat hutan hanya sebagai pepohonan dan uang tanpa mengindahkan orang-orang yang sudah ratusan tahun tinggal dan hidup di dalamnya, orang-orang yang berkelindan dengan alam dalam siklus pengetahuan lokal dan perawatan bumi, seperti halnya yang terjadi di Papua. Maka tidak mengherankan jika kemudian orang-orang miskin di sekitar hutan mendekam di penjara dengan tuduhan sebagai “perambah hutan” sementara korporasi pembabat hutan dibiarkan. Situasi ini mengakibatkan proses pemiskinan dan mempersempit ruang hidup perempuan. Lebih jauh Ia menilai hukum dan kebijakan publik yang mengatur soal pemerintahan daerah, pengelolaan sumber alam, agrarian dan bidang-bidang kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan kurang memperhitungkan kebutuhan perempuan Papua. Di sisi lain, hukum adat sama seperti hukum negara, tidak ramah kepada perempuan. Hukum adat pada umumnya tidak memberi ruang bagi perempuan kepada akses keadilan sumberdaya alam dan harta milik. Menurutnya jika ada hukum negara dan kebijakan, adat, kebiasaan yang merugikan perempuan, maka sebaiknya dilakukan reformasi, penghapusan atau pembentukan hukum baru. Lebih dari itu, suara perempuan harus mengisi ruang dan proses pengambilan keputusan dari tingkat bawah hingga atas. Partisipasi publik akar rumput harus menjadi bahan bagi berbagai rumusan hukum dan kebijakan. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |