Indonesia adalah negara hukum, begitu seringkali yang kita dengar. Kendati demikian, di tengah berbagai kemunduran dan kelalaian peran pemerintah yang begitu sering kita saksikan atau bahkan rasakan sendiri dalam keseharian, slogan tersebut rasanya kian kosong. Menjelang 79 tahun kemerdekaan republik ini, pembicaraan bukan hukum dan kenegaraan rasanya tidak menggugah, apalagi jika kita membicarakan usaha-usaha untuk keadilan perempuan–apakah benar bahwa negara dan hukumnya bisa menjadi sahabat yang dapat diandalkan dalam mewujudkan agenda feminis? Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa justru demikianlah sepantasnya. Diperlukan suatu reformasi dalam mekanisme negara hukum untuk lebih mengakomodasi dan mendorong keadilan bagi kelompok-kelompok rentan, terkhusus Indonesia. Ini menjadi seruan utama dari kuliah pengajar yang akrab disapa Sulis dalam sesi Kajian Feminisme dan Filsafat (KAFFE) Agustus 2024 bertemakan “Negara Hukum dan Perempuan” yang diadakan pada hari Rabu (14/8/2024) malam. Sulis mengawali kuliahnya dengan sebuah tesis: rule of law, atau negara hukum, merupakan prasyarat keadilan bagi perempuan. Lantas pertanyaan lain muncul: hukum yang seperti apa? Apakah hukum yang melanggengkan kepentingan dinasti penguasa tetap harus diterima sebagai rule of law? Tentu tidak, menurut Sulis. Beliau mencatat bahwa di tengah tren kemunduran dalam sistem hukum kita, penting bagi kita untuk memahami konsep negara hukum.
Sulis mengatakan bahwa negara hukum, kendati sampai saat ini terus diperdebatkan secara akademik dan berkembang pengertiannya, harus eksis dalam dua fungsi utama. Pertama sebagai payung yang melindungi warga negara dari kekuasaan negara, kedua sebagai instrumen yang melindungi properti dan individu warga negara dari sesama warga negara. Oleh karena itu, kekuasaan diikat oleh hukum, dan negara hukum bukan berarti penguasa bebas memanfaatkan hukum untuk kepentingannya. Negara hukum juga lantas sudah seharusnya mengakomodasi hak asasi tiap-tiap warga negaranya, terkhusus perempuan: hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Lebih lanjut, Sulis menjelaskan bahwa suatu negara hukum harus dibangun dengan tiga unsur pilar: prosedur, substansi, dan mekanisme kontrol. Unsur prosedural dari hukum harus menjadi dasar bagi mode pemerintahan dan legalitas negara, agar kekuasaan tidak diselewengkan oleh kepentingan penguasa. Negara adalah subjek dari hukum, dan implikasi dari muatan hukum ditentukan oleh persetujuan demokratis rakyat. Dalam substansi, hukum harus menjaga gagasan kebangsaan dan memajukan warga negaranya untuk masa depan yang lebih baik. Ini berarti hukum harus melindungi hak individu, akses warga negara terhadap layanan dan jaminan kesejahteraan sosial, juga kelompok-kelompok sosial yang rentan, dan juga keadilan ekologis. Mekanisme kontrol lebih lanjut menjaga interpretasi hukum dan perselisihan-perselisihan dalam praktik hukum melalui keberadaan lembaga-lembaga yudisial sekaligus komisi-komisi independen yang terus melakukan pengawasan dan pengecekan pada praktik hukum yang dilaksanakan negara. Kendati demikian, tentu kita semua mafhum bahwa pada praktiknya, negara hukum masih ternodai oleh berbagai bentuk kelalaian, penyelewengan, dan kejahatan yang menjadikannya bukan hanya tidak berpihak terhadap kelompok rentan, tetapi juga menjadi “musuh” yang melancarkan kekerasan pada kelompok rentan dan perempuan. Sulis sendiri mencatat bahwa ketiadaan akses keadilan ini berujung pada kemiskinan. Kemiskinan disebabkan oleh keterlemparan dari akses terhadap keadilan, diakibatkan oleh keterbatasan-keterbatasannya. Kemiskinan lantas dikonstruksi oleh hukum yang ada, dan diperlukan reformasi untuk menjadikan hukum kita lebih berpihak bagi mereka yang rentan secara ekonomi dan identitas. Terdapat beberapa persoalan yang diidentifikasi oleh Sulis. Pertama, beliau mencatat bahwa produk hukum dan legislasi yang ada masih mengabaikan pengalaman dan realitas kelompok rentan. Ini disebabkan, menurut Sulis, oleh parlemen yang sebagian besar masih diisi oleh para “wakil rakyat” dari kelas atas yang tercerabut dari realitas kehidupan kelompok rentan. Lantas hukum yang dihasilkan tidak menguntungkan bagi kelompok rentan, dan produk hukum yang dijalankan darinya juga tidak bersahabat bagi individu-individu rentan yang menjadi korban ketidakadilan. Kedua, Sulis juga mencatat bahwa hukum kita dijangkiti oleh perspektif positivisme legal yang menjadikan hukum kita “tidak berjiwa”. Bukannya berfokus pada prinsip dan semangat keadilan yang seharusnya dibawa oleh hukum, para penegak hukum malah menginterpretasi hukum secara literal, menerima semua hukum yang dikeluarkan oleh negara tanpa kritisisme lebih lanjut. Hukum yang seharusnya menjadi sebuah alat perubahan sosial ke arah yang lebih baik malah dijadikan alat untuk menopang dan melanggengkan kuasa yang ada. Ketiga, Sulis menyoroti realitas kalangan kelompok rentan dan perempuan yang memang sebagian besar tidak melek hukum, sehingga mereka tidak menyadari hak-hak mereka dan tidak dapat membela diri dalam pengadilan. Ini tentu disebabkan oleh marginalisasi rakyat miskin dan perempuan dari literasi hukum, serta keterbatasan mereka dalam mengakses informasi. Sangat sedikit juga representasi kelompok rentan di lembaga penegakan hukum. Terlebih lagi, banyak kalangan kelompok miskin dan perempuan tidak punya akses karena mereka tidak memiliki identitas hukum dalam bentuk KTP, akta lahir, surat nikah, sertifikat kepemilikan, dan lain sebagainya. Bukan hanya hal-hal di atas yang menghalangi mereka dari mendapatkan hak mereka untuk mengakses layanan negara, mereka juga tidak dapat membela diri mereka secara hukum sekiranya mereka menjadi korban kekerasan. Dalam kasus-kasus demikian, mereka juga akan sangat kesulitan untuk mengakses bantuan hukum yang profesional, karena sebagian besar tentu memakan biaya yang sangat besar. Kita melihat fenomena keterbatasan terhadap hukum ini antara lain di kalangan rakyat miskin kota dan desa, kelompok masyarakat adat, kelompok penganut kepercayaan, kelompok minoritas gender dan seksualitas, serta perempuan pekerja domestik migran. Lantas, Sulis mengajukan empat pilar akses keadilan bagi kelompok rentan dan perempuan. Pertama, harus ada jaminan substantif bahwa hukum kita berpihak pada komunitas-komunitas yang terpinggirkan dan tertindas dalam masyarakat. Hal ini harus dijaminkan pada kelompok miskin, perempuan, dan identitas minoritas lainnya. Kedua, harus digencarkan edukasi pengetahuan hukum bagi kelompok-kelopok tersebut agar mereka sadar akan hak konstitusional yang mereka miliki. Ketiga, negara wajib memastikan bahwa semua warganya, terkhusus mereka yang berasal dari kelompok rentan, memiliki identitas hukum (KTP, akta lahir) sebagai kunci untuk mengakses hak mereka terhadap layanan dan jaminan pemerintah. Keempat, wajib diberikan bantuan hukum profesional secara cuma-cuma bagi masyarakat yang terdampak korupsi kebijakan. Keempat pilar ini diharapkan bukan hanya menjadi prasyarat keadilan bagi perempuan dan kelompok rentan, tetapi juga sebagai instrumen yang mampu mengentaskan kemiskinan dari perspektif hukum. Melalui keadilan dalam hukum, setiap warganegara mampu mendapatkan keadilan terhadap penghidupan yang layak. Kerja-kerja reformasi hukum dan kebijakan yang berkeadilan lantas bukan hanya menjadi agenda para penegak hukum, tetapi juga suatu agenda feminis demi masa depan yang lebih adil. (Faiz Abimanyu Wiguna) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |