Sabtu (29/9) di kota Purwokerto, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Soedirman (BEM UNSOED) mengadakan acara seminar dengan judul “Srikandi Masa Kini”. Acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Perempuan Badan Eksekutif Mahawasiswa Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) ini bertujuan untuk mengangkat isu keterlibatan perempuan di ruang publik, khususnya kampus. Acara ini dihadiri oleh tiga pembicara yaitu Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), Mutiara Ika Pratiwi (Pimpinan Nasional Perempuan Mahardhika), dan Dea Safira Basori (pendiri Indonesia Feminis). Sujada Abdul Malik, Ketua BEM UNSOED menyatakan bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi kampus sangat dibutuhkan dan saat ini muncul upaya-upaya untuk mendomestikasi perempuan. Menurutnya perempuan dalam lingkup universitas harus mengembangkan dirinya melalui organisasi kemahasiswaan. Dalam paparannya di dalam acara seminar tersebut, Atnike Nova Sigiro mengemukakan bahwa sejarah perempuan dalam sejarah kebangsaan Indonesia sering dilupakan. Ia mencontohkan bagaimana bangsa Indonesia mengetahui bahwa Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan pendidikan sekaligus diketahui sebagai pendiri Taman Siswa, tetapi peran serta Nyi Hajar Dewantara yang bernama asli Raden Ajeng Sutartinah yang turut mendirikan dan membangun Taman Siswa luput dari ingatan sejarah bangsa Indonesia. Atnike memaparkan isi Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan yang mengungkap kisah sejarah beberapa tokoh perempuan dalam dunia pendidikan dan politik pra kemerdekaan hingga kemerdekaan Indonesia. Ketiga tokoh yang diceritakan oleh Atnike adalah Nyi Hajar Dewantara, Sri Mangunsarkoro, dan Siti Sukaptinah. Ketiga perempuan yang dipaparkan oleh Atnike dalam presentasinya merupakan tokoh penting dalam gerakan nasionalisme yang lahir dari keberadaan sekolah Taman Siswa. Sutartinah memperjuangkan pendidikan bagi perempuan karena ia memandang bahwa peran pengasuhan perempuan akan membentuk kualitas generasi berikutnya. Sementara Sri Mangunsarkoro lebih jauh lagi menyuarakan ide kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Pada zamannya Sri Mangunsarkoro telah menyuarakan antipoligami dan membentuk Partai Wanita Rakyat. Tokoh ketiga yang dipaparkan Atnike adalah Siti Sukaptinah. Sukaptinah adalah perempuan dengan strategi diplomasi yang berhasil memelihara kedekatan dengan pemerintahan Jepang maupun Belanda untuk memasukan kepentingan perempuan. Tidak heran jika pada tahun 1955 Siti Sukaptinah merupakan satu-satunya perempuan yang menjadi anggota parlemen pada saat itu. Sementara itu, Mutiara Ika Pratiwi menjelaskan mengenai partisipasi perempuan pada pergerakan buruh. Ika memaparkan penemuannya dalam penelitian mengenai perempuan pekerja garment di wilayah Cakung. Menurut Ika, meski jumlah perempuan pada industri garment lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, namun buruh perempuan kerap mengalami penindasan. Bentuk penindasan yang dialami misalnya upah yang rendah, kesehatan reproduksi yang disebabkan dengan kehamilan yang disembunyikan, dan waktu bekerja yang tidak sesuai dengan kontrak. Ika mengemukan tiga masalah yang muncul dalam peran perempuan di sektor perburuhan, yaitu: (1) beban ganda sebagai buruh dan ibu; (2) kerentanan terhadap pelecehan seksual; dan (3) Pengabaian atas hak ibu atau maternitas di ruang kerja. Dea Safira Basori, yang juga berprofesi sebagai dokter gigi menjelaskan bahwa dalam profesi dokter gigi yang banyak digeluti oleh perempuan, namun organisasi kampus di fakultas kedokteran gigi masih cenderung dipimpin oleh laki-laki. Dalam profesinya sebagai dokter gigi, Dea menemukan bahwa ibu rumah tangga sering kesulitan mencari waktu untuk memeriksakan atau melakukan perawatan gigi karena tanggungjawabnya yang padat. Peserta yang terdiri dari lebih dari 100 mahasiswa UNSOED dari berbagai fakultas ini juga mengajukan berbagai pertanyaan seputar peran perempuan di ruang publik, seperti: Apakah kuota 30 % untuk perempuan bisa dikatakan setara? Apa tanggapan pembicara mengenai upaya domestikasi perempuan? Serta bagaimana tanggapan pembicara mengenai persoalan buruh migran yang mengalami ketertindasan? Ketiga narasumber merespon pertanyaaan peserta tersebut dalam beberapa konteks partisipasi perempuan di ruang publik. Atnike menekankan pada angka 30% sebagai affirmative action untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen. Sedangkan Dea menjelaskan bahwa upaya domestikasi perempuan disebabkan maraknya konservatisme agama dan Ika menjelaskan bahwa berada di ranah publik bagi perempuan adalah perjuangan mengingat kebijakan yang ada belum bisa mengakomodir kepentingan buruh migran. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |