Pada hari Kamis, 8 Maret 2018, Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta sekaligus Perayaan Hari Perempuan Internasional 2018 di Universitas Negeri Jakarta. Acara dibuka dengan sambutan oleh Wakil Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, M.Si., Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan Atnike Nova Sigiro, M.Sc., dan Perwakilan dari Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste, Geoffrey Dean. Dalam acara ini pengajar KAFFE Jurnal Perempuan, Rocky Gerung memberikan kuliah umum dengan tema “Cinta dan Politik”. Sementara itu, diskusi dengan tema “Feminisme dan Cinta” dalam rangka Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 menghadirkan empat narasumber, yakni, Sri Nurherwati, S.H. (Komisioner Komnas Perempuan), Dr. Robertus Robet (Dosen Sosiologi FIS Universitas Negeri Jakarta), Naufaludin Ismail, S.Hum. (Penulis JP 96 dan Redaksi Jurnal Perempuan), dan Kartika Jahja (Musisi dan Aktivis Kesetaraan Gender) sebagai pembicara, dipandu oleh Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Dalam sesi diskusi mengenai Feminisme dan Cinta, Sri Nurherwati memaparkan materi dengan judul “Upaya Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan Kekerasan dalam Pacaran di tengah Kekosongan Hukum” yang berisi kondisi dan situasi faktual mengenai isu kekerasan dalam pacaran. Sri Nurherwati mengungkapkan berdasarkan laporan yang diterima pengada layanan, sepanjang tahun 2017 angka kekerasan terhadap istri masih menduduki peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan dalam pacaran berada di posisi ketiga setelah kekerasan terhadap anak di posisi kedua. Bentuk kekerasan yang paling tinggi dalam Kekerasan Dalam Pacaran adalah bentuk kekerasan fisik dan sosial, namun negara melihatnya sebagai permasalahan moral. Kekerasan dalam pacaran seringkali berawal dari politisasi cinta yang ada dalam relasi pacaran, perempuan yang telah dikonstruksi untuk berada di posisi memberi seringkali direspon oleh pasangannya yang menggunakan politik kekuasaan. Dalam kasusnya, sangat sulit ketika terjadi benturan dalam politik cinta itu, terjadi kekerasan yang tidak dapat ditangani oleh polisi karena tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Kategorisasi masalah kekerasan dalam pacaran dimasukkan pada pasal persetubuhan, ini yang dimasukkan dalam perluasan makna zina dalam revisi KUHP karena negara melihat masalah kekerasan dari sudut pandang moral. Ada yang “tidak nyambung” antara korban politik cinta atas relasi kuasa yang mengalami kekerasan dengan negara menggunakan kacamata moralitas. Dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2018, pelaku kekerasan seksual di ranah personal adalah pacar. Sri Nurherwati menyampaikan bahwa sebanyak 85% kekerasan dalam pacaran dapat berlanjut pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan yang hingga saat ini masih belum dapat diselesaikan secara hukum. Masih terdapat kekosongan hukum dalam upaya perlindungan hukum pada korban-korban kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, masih terdapat pertentangan antara Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Perkawinan dianggap dapat menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual dan juga kekerasan dalam pacaran, namun kenyataannya perkawinan merupakan lingkup yang tidak dapat terlepas dari kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Sri Nurherwati, filosofi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak digunakan sebagai pedoman dalam implementasi. Menurut perempuan yang akrab dipanggil Nurher ini, kekosongan hukum dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran dan juga kekerasan dalam rumah tangga dapat diisi dengan pencegahan yang harus diketahui dan dilakukan oleh setiap pihak—tidak hanya oleh perempuan. Persoalan kekosongan hukum adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Meski beberapa hakim telah melakukan terobosan hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal, pola pikir dan paradigma yang masih menganggap perempuan sebagai subordinat tidak dapat dipungkiri masih banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Nurher mengatakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dapat dilakukan dengan bersama-sama mengubah pola pikir dan paradigma terhadap kekerasan dalam relasi personal. Selain pencegahan, pola penanganan dalam relasi kekerasan personal juga harus memiliki perspektif keadilan yang berpihak kepada korban. Pemulihan yang terpadu bagi korban juga harus menjadi hal yang diperhatikan oleh pemerintah sebagai salah satu hak korban yang harus dipenuhi pada kasus kekerasan terhadap perempuan dalam relasi personal. “Pemerintah harus memastikan penyelenggaraan pemulihan terhadap korban itu sendiri,” tutur Sri Nurherwati di akhir pemaparannya. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |