Setiap hari, ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Dan setiap 3 jam, setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Inilah mengapa kita sebut “Darurat Kekerasan Seksual”. Perempuan dan anak terancam, Negara lambat bertindak.
Kasus kekerasan seksual sudah ada di dekat kita, bahkan mengancam kita! Kita mendengar, melihat, menangani, bahkan ada yang sudah menjadi korban. Berderet kasus kekerasan seksual telah terjadi di bumi pertiwi. Kasus pernikahan anak di bawah umur oleh Pujiono di Semarang, kasus pernikahan siri oleh Bupati Garut, kasus pelecehan seksual oleh Gubernur Riau, kasus KDRT oleh Wakil Walikota Magelang, kasus kekerasan seksual di Jakarta International School, kasus pedofilia oleh Emon Sukabumi, kasus trafiking dan kekerasan seksual yang indikasi tersangkanya adalah Raja Solo PB XIII Hangabehi, serta sederet kasus kekerasan seksual lainnya yang tidak terekspose oleh publik. Seperti fenomena gunung es, fakta dan bentuk yang sesungguhnya jauh lebih besar dan beragam, namun banyak korban belum berani melapor. Di Negeri Indonesia tercinta ini, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak belum menjadi perhatian serius. Dari tahun ke tahun, makin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini tercermin dari fakta-fakta yang dihimpun oleh Komnas Perempuan. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam waktu tiga belas tahun terakhir, kasus kekerasan seksual berjumlah 93.960 kasus dari total 400.939 kasus kekerasan yang dilaporkan (Januari 2013). Artinya, setiap hari ada 20 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Disebutkan lebih lanjut bahwa pada tahun 2013 kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus dari 4.336 kasus di tahun 2012. Ini artinya setiap 3 jam setidaknya ada 2 perempuan menjadi korban kekerasan Seksual (berdasarkan data Komnas Perempuan). Kekerasan terhadap anak juga mengalami peningkatan. Komnas Perlindungan Anak menyebut Indonesia gawat darurat. Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA, mengatakan meski Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak anak dari PBB selama 24 tahun, kekerasan anak terus meningkat. Laporan soal kekerasan anak pada Januari-September 2014 mencapai 2.726 kasus. Kasus-kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak tersebut terjadi di dalam rumah/keluarga, tempat kerja, institusi pendidikan, transportasi publik, dan dalam berbagai konteks seperti konflik, migrasi, kekerasan atas nama agama, moralitas, dan budaya. Sedangkan pelakunya adalah pihak yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan dengan korban (ayah, kakak, adik, paman, kakek), perkawinan (suami) dan relasi intim (pacaran), maupun pejabat publik (TNI/POLRI, bupati, gubernur, bahkan raja). Dalam kasus-kasus dimana pejabat publik menjadi pelaku kekerasan seksual, proses hukumnya menjadi lebih sulit bagi korban. Di Solo Raya, aparat penegak hukum terkesan lamban dalam menangani kasus kekerasan seksual yang indikasi pelakunya adalah Raja Solo. Polres Sukoharjo belum memiliki terobosan untuk bisa berhasil memeriksa Raja Solo. Raja Solo selalu beralasan sakit setiap ada pemanggilan pemeriksaan dari kepolisian, namun mendadak sehat dan mampu bersuara lantang saat bicara kompensasi uang untuk pasar sementara bagi para pedagang Pasar Klewer. Di tengah keprihatinan pada angka kekerasan seksual yang tinggi, kami menangkap kelambatan dan ketidakseriusan aparat negara dalam menyelesaikan setiap kasus kekerasan seksual yang ada. Tidak sedikit pihak aparat yang justru menyalahkan dan menghakimi perempuan korban, bahkan menjadikannya sebagai lelucon. Pernyataan dan sikap tersebut menempatkan korban kembali menjadi korban (reviktimisasi), dan menyebabkan rasa sakit tak terperihkan bagi korban, keluarga korban, komunitas, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perilaku ini juga menyebabkan putusan pengadilan yang beragam dan mengerdilkan rasa keadilan korban. Ketiadaan payung hukum yang mumpuni juga menyebabkan sejumlah kasus tidak diproses karena dipandang tidak memiliki bukti yang cukup. Sebaliknya, justru bermunculan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang berangkat dari penilaian yang menghakimi moralitas perempuan dalam persoalan kekerasan seksual. Terkait dengan situasi darurat ini, maka dalam momentum Hari Perempuan Internasional, kami dari Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Solo Raya (JPPAS) yang terdiri dari berbagai lembaga masyarakat sipil (SPEKHAM, YAPHI, ATMA LSK Bina Bakat, YKPS, Ekasita, Gergatin, LK3, Pertuni, WKRI Cabang Surakarta, dan Jejer Wadon) beserta masyarakat dampingannya menuntut 3 hal: 1. Usut tuntas kasus kekerasan seksual yang dilakukan Raja Solo, berikan hukuman yang berat pada setiap pelaku kekerasan seksual. 2. Lindungi perempuan dan anak, berikan hak dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. 3. Segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, akhiri impunitas (kekebalan) pelaku kekerasan seksual. Kekekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Hentikan kekerasan seksual sekarang juga. Berani, Bersuara, Lawan! Surakarta, 7 Maret 2015 Koordinator Umum Hari Perempuan Internasional Solo Raya Endang Listiani (Eliest - 08156720819) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |