Arus media yang menonjolkan aspek fisik dalam pemberitaan memengaruhi cara media dalam mengangkat isu perempuan, baik untuk kasus-kasus kejahatan yang dilakukan perempuan, kasus perkosaan, maupun pemberitaan tentang pekerja seks komersil (PSK). Dalam kasus korupsi misalnya, pemberitaan media hendaknya berfokus pada kasus kejahatan yang dilakukan oleh perempuan koruptor dan bukan pada aspek fisik dari perempuan tersebut. Begitu juga dalam kasus perkosaan, pemberitaan media hendaknya tidak menjadikan perempuan sebagai korban untuk yang kedua kali. Pernyataan ini disampaikan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum dalam Workshop Jurnalis Televisi yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pusat. Workshop bertema “Televisi dan Peliputan Keberagaman” yang diikuti oleh 17 Jurnalis dari berbagai media ini salah satunya bertujuan untuk menghidupkan kesadaran dan praktik jurnalisme damai dalam konteks keberagaman di Indonesia. Lebih lanjut Dewi mengatakan untuk itu seorang jurnalis memiliki tugas untuk menjadi kritis. Hal mendasar yang harus dimiliki seorang jurnalis adalah memiliki sensitivitas dan sensitivitas ini bersumber dari pengetahuan. Selain itu jurnalis juga harus memiliki matra atau dimensi gender, ras/etnis dan kelas. Hal lain yang dapat dilakukan jurnalis adalah lewat linguistic games (camera’s angle) yakni menggunakan bahasa untuk menyampaikan misi keadilan, dengan memilih kata-kata yang tidak bias dan seksis, misalnya kata serangan seksual untuk mengganti kata perkosaan dan penetrasi, sehingga nada kejahatan dapat ditangkap pemirsa. Dengan demikian pemberitaan media menjadi adil gender dan nir diskriminasi. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |