Sabtu, 26 Agustus 2017 bertempat di SMA 1 PSKD, Jakarta Pusat, Feminist Fest diselenggarakan dengan meriah. Salah satu rangkaian acara dari Feminist Festival ini adalah seri panel diskusi dengan berbagai tema yang berkaitan dengan isu-isu feminisme terkini. Salah satu diskusi yang diadakan pada hari itu membahas mengenai Perempuan dalam Politik. Narasumber diskusi panel ini adalah Nihayatul Wafiroh, Nita Wakan, Sahat Farida, dan Nursyahbani Katjasungkana. Diskusi dimulai dengan pertanyaan mendasar seperti mengapa perempuan harus masuk ke dalam dunia politik, apa hal yang melatarbelakangi mereka untuk berkecimpung di dunia politik, dan apa sebenarnya hambatan yang harus dihadapi perempuan ketika ingin bergelut dalam dunia politik di Indonesia? Persoalan klasik seperti kuantitas vs kualitas dalam mendorong perempuan agar bisa berkecimpung di dunia politik dibahas dalam diskusi panel ini. Satu sisi kita melihat bahwa kebijakan kuota 30% jumlah perempuan di DPR sebetulnya secara garis besar dapat dilihat sebagai upaya penyetaraan perempuan di dunia politik, namun di sisi lain seperti yang didiskusikan di dalam panel ini, kita sepakat bahwa hanya segelintir perempuan yang benar-benar mempunyai perspektif feminisme dan ingin menyuarakan hak-hak perempuan ketika sudah berada di lembaga legislatif. Kebanyakan dari perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR mempunyai hubungan dengan keluarga mereka (suami atau ayahnya) yang telah lebih dahulu menjadi tokoh politik berpengaruh di daerah mereka masing-masing, sehingga kemudian banyak perempuan yang mendompleng nama suami atau ayahnya untuk bisa bertarung di dunia politik. Oleh karena itu, isu kuantitas vs kualitas ini akan menjadi perdebatan yang akan selalu hadir dalam setiap diskursus perwujudan keadilan untuk perempuan di dalam politik. Kehadiran perempuan di dunia politik selalu menjadi perdebatan ketika ia hanya maju karena mengekor kesuksesan keluarga atau suaminya, bukan karena keinginan pribadinya. Salah satu pengalaman menarik yang diceritakan oleh Nursyahbani Katjasungkana ketika ia menjabat sebagai anggota DPR RI tahun 2004-2009 dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dari Provinsi Jawa Timur, adalah berhasil disahkannya 15 UU dengan perspektif gender. Baginya, ketika perempuan sudah berhasil memasuki dunia politik, maka tugas ia selanjutnya adalah menyambung suara hati perempuan Indonesia lainnya yang sering kali dijerat dengan kebijakan yang salah sasaran dan lebih cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Ia menyesalkan terjadinya kemunduran pada pemerintahan saat ini terkait pengesahan UU yang berperspektif gender. Meskipun sudah 13 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) bergulir, namun belum juga disahkan. Padahal kita semua tahu mayoritas PRT adalah perempuan dan dengan tidak kunjung disahkannya RUU ini menunjukkan perjuangan perempuan dan kelas di Indonesia masih membutuhkan perhatian khusus. Perjuangan perempuan di dunia politik harus terus berjalan agar kebijakan yang berperspektif feminis bisa diwujudkan. Lalu bagaimana dengan tantangan yang harus dihadapi perempuan ketika ingin memasuki dunia politik yang dianggap kejam dan sangat maskulin? Nursyahbani mengatakan bahwa pintu pertama yang harus dilewati perempuan ketika ingin berkiprah di dunia politik adalah dengan mengetahui 40 hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Perempuan mungkin secara perangkat hukum tidak dilarang untuk berkecimpung di dunia politik, namun secara kultural hambatan itu akan selalu ada. Perempuan sering kali mendapat beban ganda ketika ingin menggeluti karier di dunia politik seperti tetap harus menjadi istri yang baik di rumah, harus selalu berpikir rasional bukan emosional, dan lain-lain. Hal ini akan terus ada selama budaya patriarki selalu menghantui setiap langkah perempuan ketika mereka ingin mengambil keputusan atas pilihan hidupnya. Perempuan adalah individu otonom yang setara dengan laki-laki dalam hal apapun termasuk di dalam dunia politik. Perempuan sering kali diragukan dapat membuat kebijakan yang rasional karena di dalam kesehariannya perempuan hanya terbiasa dengan hal-hal domestik. Padahal, slogan The personal is political adalah core value dalam membuat kebijakan yang berpihak pada perempuan. Semua hal menjadi urusan politik ketika kita membicarakan keadilan dan kesetaraan untuk perempuan. Bermula dari urusan-urusan personal dan privat seperti domestikasi perempuan, kita bisa membuka kunci ketidakadilan yang selama ini menimpa perempuan lalu kita bisa membuat kebijakan untuk menghilangkan ketidakadilan tersebut. Keempat narasumber sepakat bahwa perjuangan perempuan di dalam politik tidak melulu harus ikut ke partai politik tertentu lalu masuk ke dalam lembaga pemerintahan, perempuan bisa memulai dari bergabung dengan organisasi atau komunitas yang berkaitan dengan isu perempuan apapun apabila ingin berkecimpung di dunia politik, karena narasi besar perjuangannya adalah sama yaitu memperjuangkan hak perempuan agar bisa mendapatkan keadilan dan kesetaraan di negara ini. Keberadaan perempuan di dalam dunia politik bukanlah ancaman bagi laki-laki, perempuan yang berkiprah dan terlibat dalam dunia politik tidak lain adalah sebuah usaha untuk membuat kebijakan yang adil setara untuk semua pihak, terutama perempuan. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |