Minggu (20/5) Komnas Perempuan mengadakan konferensi pers yang bertujuan untuk memperlihatkan bahwa sejarah negara Indonesia berdiri pada darah perempuan. Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, kegiatan reformasi sering kali dianggap sebagai gerakan mahasiswa maupun lengsernya Presiden Soeharto. Akan tetapi, ingatan tentang narasi perempuan sebagai penggerak masa pada aksi Suara Ibu Peduli tidak pernah benar-benar masuk dalam perjalanan reformasi. Suara Ibu Peduli adalah bentuk politik perempuan yang dikoordinir di kantor Yayasan Jurnal Perempuan pada Februari 1998, gerakan ini adalah salah satu bukti nyata etika kepedulian yang hendak disuarakan perempuan. Politik bahasa "Turunkan Harga Su Su" dimainkan dalam aksi demonstrasi SIP sehingga seakan-akan gerakan ibu-ibu padahal gerakan aktivis perempuan yang secara politis melakukan aksi subversif untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Lanjutnya Mariana menyatakan bahwa perempuan memiliki cara yang berbeda dalam menyampaikan aspirasinya dalam berpolitik, di tengah kerasnya politik maskulin yang terjadi saat ini diharapkan ingatan tentang gerakan perempuan mampu mempromosikan kembali spirit etika kepedulian. Kemudian, Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan “Gerakan perempuan melawan politik maskulin yang sewenang-wenang dan otoriter. Pasca kerusuhan mei 1998 gerakan perempuan meminta pertanggungjawaban dan permintaan maaf atas terjadinya kerusuhan dan kekerasan terhadap perempuan, tetapi sampai hari ini belum ada presiden yang menyatakan permintaan maaf atas tragedi tersebut”. Sejarah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998 mengundang kemarahan dari gerakan perempuan. Saat itu pula aktivis gerakan perempuan berupaya untuk menuntut negara agar meminta maaf atas tragedi yang terjadi. Saparinah Sadli menjadi salah seorang yang menyatakan aspirasinya langsung kepada Presiden Habibie dan tidak lupa pada saat itulah cikal bakal Komnas Perempuan untuk menjadi badan yang mendengar suara korban kekerasan terhadap perempuan. Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan menyatakan pasca reformasi masih terdapat banyak tugas untuk negara, karena kesetaraan mungkin sudah mulai terbangun tetapi belum ada keadilan. Gerakan yang mengatasnamakan agama pun ikut serta mendomestifikasi perempuan dan berdampak pada ketimpangan pendapatan antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini seharusnya menjadikan kita untuk kembali memikirkan posisi perempuan pasca reformasi yang belum memunculkan kemajuan yang signifikan. Sementara, Adriana Venny, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan dalam aksi 20 tahun reformasi Legislatif, Eksekutif daan Yudikatif perlu memikirkan pengarusutamaan gender dalam setiap program yang dibuat, tata kelola dan kebijakan yang diproduksi haruslah pro gender, tidak lupa bahwa pertahanan dan keamanan juga perlu menjamin keamanan perempuan dan para aktor politik juga harus mempromosikan politik yang damai dan tidak memunculkan konflik. Kemudian, Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan memiliki pandangan bahwa 20 tahun Reformasi telah mencapai beberapa perubahan di tataran normatif seperti perundang-undangan dan kebijakan seperti kuota 30% perempuan dalam pemilu, UU KDRT, dan lainnya. Namun masih banyak produk hukum dan kebijakan yang buta gender bahkan bias gender. Seperti RKUHP yang sedang dibahas saat ini. Sementara itu dalam kehidupan sosial, posisi dan peran perempuan kembali digerogoti oleh menguatnya konservatifisme yang berupaya mendomestikasi perempuan melalu propaganda tentang poligami, pernikahan dini, dan kontrol terhadap tubuh. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |