
Kemudian, Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan “Gerakan perempuan melawan politik maskulin yang sewenang-wenang dan otoriter. Pasca kerusuhan mei 1998 gerakan perempuan meminta pertanggungjawaban dan permintaan maaf atas terjadinya kerusuhan dan kekerasan terhadap perempuan, tetapi sampai hari ini belum ada presiden yang menyatakan permintaan maaf atas tragedi tersebut”. Sejarah pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998 mengundang kemarahan dari gerakan perempuan. Saat itu pula aktivis gerakan perempuan berupaya untuk menuntut negara agar meminta maaf atas tragedi yang terjadi. Saparinah Sadli menjadi salah seorang yang menyatakan aspirasinya langsung kepada Presiden Habibie dan tidak lupa pada saat itulah cikal bakal Komnas Perempuan untuk menjadi badan yang mendengar suara korban kekerasan terhadap perempuan.
Azriana Manalu, Ketua Komnas Perempuan menyatakan pasca reformasi masih terdapat banyak tugas untuk negara, karena kesetaraan mungkin sudah mulai terbangun tetapi belum ada keadilan. Gerakan yang mengatasnamakan agama pun ikut serta mendomestifikasi perempuan dan berdampak pada ketimpangan pendapatan antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini seharusnya menjadikan kita untuk kembali memikirkan posisi perempuan pasca reformasi yang belum memunculkan kemajuan yang signifikan. Sementara, Adriana Venny, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan dalam aksi 20 tahun reformasi Legislatif, Eksekutif daan Yudikatif perlu memikirkan pengarusutamaan gender dalam setiap program yang dibuat, tata kelola dan kebijakan yang diproduksi haruslah pro gender, tidak lupa bahwa pertahanan dan keamanan juga perlu menjamin keamanan perempuan dan para aktor politik juga harus mempromosikan politik yang damai dan tidak memunculkan konflik.
Kemudian, Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan memiliki pandangan bahwa 20 tahun Reformasi telah mencapai beberapa perubahan di tataran normatif seperti perundang-undangan dan kebijakan seperti kuota 30% perempuan dalam pemilu, UU KDRT, dan lainnya. Namun masih banyak produk hukum dan kebijakan yang buta gender bahkan bias gender. Seperti RKUHP yang sedang dibahas saat ini. Sementara itu dalam kehidupan sosial, posisi dan peran perempuan kembali digerogoti oleh menguatnya konservatifisme yang berupaya mendomestikasi perempuan melalu propaganda tentang poligami, pernikahan dini, dan kontrol terhadap tubuh. (Iqraa Runi)