Pada peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia di Jakarta (27/3), Samsidar mewakili Forum Pengada Layanan (FPL), memaparkan hasil risetnya, yaitu penilaian terhadap Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 16 provinsi di Indonesia. Risetnya diterbitkan di JP100 dengan judul “Keterpaduan Layanan yang Memberdayakan: Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi”. Dalam pemaparannya, Samsidar menjelaskan bahwa lahirnya P2TP2A merupakan inisiatif dan perpaduan antara gerakan perempuan dan pemerintah yang bertujuan untuk menyikapi kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2002 terbit surat keputusan bersama tiga menteri (Meneg PPPA, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan) dan Kapolri tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, yang merupakan awal mula pengukuhan komitmen pemerintah tentang penanganan yang komprehensif dan terintegrasi bagi perempuan korban. Samsidar menjelaskan bahwa dampak kekerasan terhadap perempuan tidaklah tunggal melainkan berlapis, mulai dari fisik, psikologis, sosial, budaya hingga ekonomi. Sehingga menurutnya perempuan korban kekerasan tidak bisa ditangani oleh satu pihak atau hanya menyasar pada salah satu aspek dampak yang dialami. “Berlapisnya dampak yang dialami korban, bukan saja menuntut penanganan dan pemenuhan hak korban yang tidak tunggal, tetapi membutuhkan keterpaduan antara satu penanganan dengan penanganan lainnya”, jelas Samsidar. Fakta tersebutlah yang mendorong munculnya konsep layanan yang terpadu. Lebih jauh, Samsidar menjelaskan bahwa pendekatan layanan terpadu ini bukanlah konsep satu atap atau satu lembaga. Menurutnya konsep keterpaduan layanan adalah upaya menyediakan kesempatan dan ruang bagi korban kekerasan agar dapat menerima layanan yang utuh. “Pilot project saat itu melalui One Stop Crisis Center di RSCM, kemudian ada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Rumah Sakit Bhayangkara Jawa Timur. Kalangan masyarakat sipil memakai nama Women Crisis Center (WCC)”, jelas Samsidar. Samsidar menceritakan bahwa karya Dolorosa berjudul “Avante” yang digunakan sebagai sampul JP edisi 100 merupakan hadiah dari Dolorosa untuk donasi gerakan perempuan. Pda waktu itu Komnas Perempuan menggagas “Karya untuk Kawan”, yaitu program donasi dari perupa untuk keberlanjutan gerakan—yang merupakan cikal bakal program Pundi Perempuan. Dana yang terkumpul kemudian disalurkan untuk membiayai WCC di daerah agar dapat tetap hidup dan membantu perempuan korban. Menyoal kelembagaan dan sumber daya P2TP2A, Samsidar menjelaskan bahwa pada mulanya ada personil dari masyarakat sipil yang melakukan kerja-kerja layanan di P2TP2A, hal ini dikarenakan model P2TP2A yang dikembangkan merupakan inisiatif dan perpaduan kerja pemerintah dan masyarakat sipil. Namun setelah adanya Peraturan Meneg PPPA No. 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan UPTD, dimana P2TP2A berada di bawah Dinas atau Badan Pemberdayaan Perempuan ada perubahan teknis kelembagaan dan sumber daya. Samsidar menyatakan kekhawatirannya terhadap formalisasi kelembagaan P2TP2A yang dapat menjadi upaya penyeragaman terhadap P2TP2A, yang pada gilirannya berpotensi memengaruhi kualitas layanan terhadap korban. Lebih jauh, Samsidar menjelaskan bahwa formalitas kelembagaan P2TP2A tersebut cenderung menghambat munculnya inisiatif-inisiatif yang berasal dari masyarakat, dikarenakan rumitnya persyaratan formal dan kebutuhan sumber daya yang besar--padahal inisiatif masyarakat sipil sangat membantu dalam upaya penanganan korban kekerasan. Selain itu, menurutnya penyelenggaraan layanan oleh P2TP2A juga akan problematik karena tidak semua pegawai (PNS atau ASN) yang ditugaskan di UPTD tersebut memiliki kualitas dan pengetahuan terkait kerja-kerja lembaga layanan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) penanganan korban KTP (Kekerasan terhadap Perempuan) yang dikeluarkan oleh KPPPA akan sulit dipenuhi jika fungsi layanan hanya diadakan oleh UPTD. Samsidar juga menyatakan bahwa layanan dalam bentuk UPTD berpotensi menghilangkan kontribusi masyarakat. Terkait hasil temuan dari riset penilaian atau assessment yang dilakukannya, Samsidar berefleksi bahwa P2TP2A sebagai lembaga layanan perlu melihat kembali filosofi, misi dan tujuannya. Samsidar sendiri menjelaskan bahwa dirinya memaknai P2TP2A sebagai mekanisme pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan. Sehingga dalam melihat P2TP2A, jangan dilihat lembaganya secara an sich, tetapi juga fungsinya. Dari riset penilaiannya tersebut, ia juga menemukan bahwa P2TP2A yang kuat adalah yang berjejaring dengan masyarakat sipil. Demi mewujudkan layanan yang memberdayakan korban, Samsidar menekankan perlunya membongkar perspektif mengenai KTP itu sendiri. “Layanan korban yang baik perlu merujuk pada Resolusi PBB No. 1325 dan Rekomendasi Umum CEDAW No. 30, yang dimungkinkan jika keberadaan layanan oleh masyarakat sipil didukung oleh negara, dan bukan diambil alih”, tutur Samsidar. Menurut Samsidar, keberadaan lembaga layanan yang digagas oleh masyarakat perlu dipastikan mendapat dukungan negara karena menjadi mata rantai layanan pemenuhan hak sehingga terbangunnya budaya dan gerakan dukungan bagi pemenuhan hak korban yang lebih luas. Samsidar berharap, pola kemitraan antara pemerintah dan masyarakat terus berjalan, yang memungkinkan negara tetap mendukung keberlanjutan lembaga layanan masyarakat dan tetap terjaga independensinya sebagai penyeimbang. Sementara P2TP2A (apapun namanya) memainkan peran koordinasi, mendukung peningkatan kapasitas-kapabalitas, monitoring dan penyediaan regulasi dan sumber daya. “Keterpaduan layanan bukan disikapi dengan menempatkan layanan dalam satu atap tetapi memastikan seluruh mata rantai layanan (jejaring layanan) memiliki kapasitas dalam menjalankan layanan dan korban terjamin pemenuhan hak-haknya”, simpulnya. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |