Sebuah organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menerbitkan rekomendasi pelindungan digital holistik untuk perempuan pembela HAM (PPHAM) dan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia. Kegiatan yang diselenggarakan secara bauran di Hotel Tamarin, Jakarta, serta Zoom tersebut dilatarbelakangi oleh kencangnya pertumbuhan platform digital yang senapas dengan berkelindannya ancaman-ancaman bagi perempuan pembela HAM dan organisasi masyarakat sipil. Hasil pemantauan dari SAFEnet telah menunjukkan bahwa terjadi 140 serangan digital dari total 326 kejadian (42,81%) terhadap kelompok kritis, termasuk perempuan pembela HAM, sepanjang tahun 2022. Laporan awal tersebut mendorong pentingnya pemetaan isu, kebutuhan, dan perancangan rekomendasi mekanisme pelindungan digital yang selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Didukung oleh KEMITRAAN melalui program ELEVATE, kegiatan peluncuran rekomendasi oleh SAFEnet ini turut menggandeng KOMNAS Perempuan, KOMNAS HAM, hingga LBH APIK Jakarta sebagai penanggap kritis.
Abas (SAFEnet), salah seorang penulis laporan rekomendasi, membuka kegiatan ini dengan menyingkap temuan-temuannya. Melalui perannya, Abas menekankan bahwa ancaman terhadap perempuan pembela HAM dan OMS terletak pada empat level yang berbeda, yakni level perangkat digital, identitas, komunikasi, hingga organisasi. Temuannya turut menunjukkan bahwa perempuan pembela HAM dan OMS membutuhkan peningkatan kapasitas berupa pelatihan mendalam untuk menjaga keamanan data dan identitas digital. Pengembangan SOP dan kode etik dalam penggunaan sosial media juga perlu difokuskan, dengan begitu aspek pelindungan dapat teraktualisasi secara holistik. Dalam kerja-kerja advokasinya, penting bagi perempuan pembela HAM untuk mendapatkan dukungan layanan psikologis dan konseling demi menjaga kesehatan mental mereka. Abas juga menegaskan bahwa dari segi infrastruktur dan teknologi, penggunaan perangkat yang berbeda dalam penanganan kasus dan keperluan pribadi menjadi sangat krusial untuk dilakukan. Beberapa langkah tersebut direkomendasikan oleh SAFEnet dengan mengintegrasikannya bersama kolaborasi antarlembaga, kebijakan yang komprehensif, serta manajemen risiko dan analisis. Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan) melalui tanggapannya menyampaikan diperlukannya pembabakan yang lebih spesifik terkait bentuk-bentuk ancaman terhadap perempuan pembela HAM dan OMS sehingga intervensi yang dicanangkan juga tepat sasaran adanya. Di samping itu, dirinya mengingatkan agar luaran rekomendasi dapat mempertimbangkan aspek interseksionalitas atau keragaman perempuan yang menciptakan perbedaan kerentanan pula pada masing-masing dari mereka. Dian Novita (Koordinator Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta) mengamini adanya keragaman tersebut utamanya di daerah yang masih belum dapat menjangkau kerja-kerja pembuatan SOP karena keterbatasan sumber daya manusia. Dian juga sepakat bahwa inisiasi untuk membangun jaringan antar komunitas menjadi aspek vital demi mewujudkan keamanan digital yang holistik. Abdul Haris Semendawai (Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM) pada gilirannya mengakui bahwa perempuan pembela HAM dan organisasi masyarakat sipil mengalami ancaman-ancaman, khususnya dalam ranah digital, yang sangat nyata. Untuk itu, KOMNAS HAM telah berupaya memberikan perhatian khusus bagi mereka pada aspek pencegahan, penanganan, dan tindak lanjut pascakejadian. Melalui pemaparannya, Abdul menegaskan bahwa KOMNAS HAM telah mengaktualisasikan beberapa langkah fundamental, seperti menyusun dan mengembangkan standar, norma, dan pengaturan terhadap pembela hak asasi manusia sebagai kerangka kerja yang terstruktur, hingga menyediakan pelindungan darurat bagi mereka sebagai upaya respons cepat dalam situasi yang berisiko. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |