Perbedaan pendapat terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih menjadi isu besar yang diperdebatkan oleh masyarakat, khususnya di tahun politik 2019 ini. Sabtu (23/2) Jurnal Perempuan mengangkat isu ini dalam Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dalam diskusi terbuka. Diskusi diawali dengan pemaparan tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) oleh Mariana Amiruddin, M.Si (Komisioner Komnas Perempuan). Dalam kesempatan tersebut, banyak anggota SJP yang antusias mengutarakan pendapat dan memberikan saran mereka tentang isu undang-undang tersebut. Dalam diskusi tersebut, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Guru Besar UI) menyampaikan bahwa masih banyak dari pihak-pihak yang kontra terhadap RUU PKS karena menganggap bahwa undang-undang tersebut akan memperbolehkan zina atau seks bebas dalam masyarkat. Menurut Sulis, sebagai aktivis perempuan kita harus bisa membuat mereka yang kontra dapat memahami bahwa RUU PKS ini berpihak kepada korban dan bertujuan untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Merespons pendapat tersebut, Mariana Amirudin mengungkapkan bahwa diskusi-diskusi tentang RUU PKS lebih banyak terjadi di sosial media, sehingga menimbulkan banyak salah paham, bias, dan konflik. Mariana menambahkan bahwa permasalahan pada RUU ini adalah ketiadaan ruang-ruang diskusi dan dialog untuk membahas isu ini. “Dialog itu ini tidak pernah ada. Tidak pernah ada konfirmasi kepada Komnas Perempuan atau kelompok-kelompok yang menjadi tim perancang undang-undang ini. Menurut kami, DPR seharusnya memfasilitasi kedua pihak ini, yang pro dan kontra.” tambah Mariana. Setuju dengan Mariana, Sonya (Jurnalis Harian Kompas) menyarankan agar ruang-ruang diskusi dan dialog harus diperbanyak. Berdasarkan pengalaman Sonya saat menjadi moderataor di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang RUU PKS, dia menyampaikan bahwa di dalam pemerintahan pun masih banyak orang yang belum benar-benar memahami pentingnya RUU PKS. Untuk itu, sebaiknya ruang-ruang diskusi dan dialog tentang pemahaman RUU PKS semakin diperbanyak, baik ke ranah pemerintahan dan juga ke masyarakat. Dea Basori (Dokter Gigi dan Aktivis Perempuan) memerhatikan bahwa salah satu cara yang dilakukan oleh pihak yang kontra terhadap RUU PKS adalah melakukan diskusi online di Whatsapp. Diskusi grup online tersebut bersifat tertutup dan satu arah, sehingga apabila ada orang lain memberikan argumen pro RUU PKS maka akan langsung dikeluarkan dari grup Whatsapp. Berdasarkan pengamatannya, Dea pun menyarakan agar para aktivis Perempuan juga melakukan hal serupa, yaitu membuat ruang diskusi online yang terbuka dan dua arah untuk mengedukasi warganet tentang pentingnya RUU PKS. Dalam diskusi tersebut Melli Darsa, S.H., LL.M. (Pendiri & Mitra Senior, PwC Indonesia) menyatakan bahwa dibutuhkan kesabaran dalam membuat peraturan, apalagi bila peraturan tersebut mengandung gagasan yang dianggap berbenturan dengan pandangan-pandangan budaya dan norma-norma agama. Dia juga menegaskan bahwa pembuatan peraturan undang-undang membutuhkan waktu yang tidak singkat, namun sebagai aktivis perempuan, kita tetap harus optimis dalam mengadvokasi undang-undang tersebut. Dr. Atnike Nova Sigiro selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan mengakhiri diskusi dengan menyimpulkan beberapa hal penting dalam diskusi. Pertama, diingatkan lagi bahwa sebagai aktivis perempuan kita harus sabar dan tetap optimis untuk memperjuangkan RUU PKS. Kedua, aktivis pemberdayaan perempuan harus fokus menakankan bahwa RUU PKS bertujuan melindungi korban. Ketiga, strategi penggunaan media sosial juga perlu diperhatikan dan dimanfaatkan sebaik mungkin agar dapat menjadi media advokasi RUU PKS dan tidak menjadi senjata yang berbalik. Terakhir, perlu membuka ruang-ruang diskusi dan dialog. Selain itu kita sebagai aktivis perempuan harus memperlengkapi diri agar memiliki argumen yang kuat dan dapat bisa berdialog dengan orang-orang yang belum paham terhadap RUU PKS. (Rahel Narda Chaterine) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |