Rabu, tanggal 7 Februari 2018, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan media briefing tentang “Potret Perlindungan Perempuan dalam RUU KUHP”. Acara yang berlangsung di kantor Komnas Perempuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan alasan Komnas Perempuan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Rencana pengesahan RUU KUHP yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2018 membuat sejumlah pihak merasa dirugikan khususnya Komnas Perempuan. Pasalnya RUU KUHP adalah rancangan undang-undang yang dapat membuat semua orang menjadi tersangka. Posisi Komnas Perempuan yang menolak pengesahan RUU KUHP atau pasal zina sering dianggap sebagai bentuk persetujuan atas perzinaan. Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan menyatakan, “Saat ini banyak orang-orang yang mengambil kesimpulan dengan melompat, saat kita mengkritisi pasal zina maka kita langsung dianggap pro terhadap perzinaan, ini yang sering menimbulkan kekacauan sosial.” Lebih lanjut Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan “Kami butuh ruang untuk menjelaskan tanpa adanya miskonsepsi terhadap pandangan kami tentang RUU KUHP dan LGBT. Seringkali kami dianggap mendukung sesuatu yang tidak bermoral.” Untuk itu, Komnas Perempuan mencoba menjelaskan secara detail tentang permasalahan pada RUU KUHP dan posisi mereka dalam melihat permasalahan di dalamnya. RUU KUHP secara umum bermasalah, karena membuat hukum terkesan mengatur urusan pribadi terlalu jauh. Banyak isu yang muncul ke permukaan terkait masalah yang ada di dalam RUU KUHP, tetapi Komnas Perempuan mengkhususkan bahasannya dengan menyoroti empat isu utama yaitu perluasan makna zina, kriminalisasi hidup bersama, perluasan makna cabul dan hukum yang hidup di masyarakat. Dalam perluasan makna zina terdapat overspel yaitu dengan menyamakan makna zina pada hukum adat dengan hukum Islam, padahal keduanya berbeda. Pada pasal 484 ayat 1 huruf e dinyatakan bahwa makna zina adalah “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan”. Apabila kita mengacu pada kalimat “pernikahan yang sah” tentunya terdapat multitafsir di dalamnya, karena banyak warga negara Indonesia yang menikah dengan sistem penghayat kepercayaan dan banyak pula orang yang tidak bisa menjangkau instansi pencatatan sipil karena kemiskinan. Dengan begitu semua orang yang menikah tanpa pencatatan sipil bisa saja terjerat pasal zina. Selain itu, Komnas Perempuan juga merasa bahwa perluasan makna zina akan berujung pada kriminalisasi perempuan korban perkosaan dengan tuduhan melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Dengan adanya penguatan pada pasal 484 ayat 2 yang berbunyi “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilakukan penentuan kecuali atas pengaduan suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar” justru membawa dimensi yang membuat perempuan korban perkosaan menjadi takut untuk melapor. Selain itu, perluasan makna pencabulan yang tertera pada pasal 490 ayat 2, pasal 496 dan pasal 498 ayat 2 berkali-kali disebutkan bahwa seorang pelaku pencabulan akan dipidana jika dilakukan terhadap seorang yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin. Kalimat ini menuai kritik dari berbagai pihak seperti disampaikan Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan yang fokus membahas hak anak. Menurut Magdalena, status kawin dan tidaknya seorang anak korban pencabulan akan menjadi masalah. Jika seorang anak sudah kawin maka akan berpotensi menimbulkan impunitas pelaku. “Anak bukan persoalan sudah kawin atau belum kawin, anak adalah anak,” tutur Magdalena. Seharusnya pemerintah mengambil langkah konkret misalnya dengan menghapus perkawinan anak, karena status kawin dan tidak kawin menunjukkan adanya legitimasi atas perkawinan anak. Azriana Rambe Manalu, Ketua Komnas Perempuan yang juga hadir dalam media briefing menyatakan pendapatnya tentang upaya pemerintah dalam membuat pasal zina dengan keluaran hukuman pidana. “Daripada berusaha memenjarakan orang, lebih baik anggaran masuk ke pembangunan budaya dan pendidikan, sebab lapas yang ada tidak akan cukup untuk menampung orang-orang yang nantinya terjerat RUU KUHP jika disahkan,” tutur Azriana. Dengan adanya RUU KUHP hukum seolah-olah bekerja dengan mempermasalahkan hal yang sifatnya pribadi. Hukuman tidak melulu soal pidana atau hukuman mati, tetapi ada persoalan yang bisa diselesaikan dengan cara lain misalnya melalui budaya dan pendidikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pemerintah menggunakan dana pembesaran lapas untuk pengembangan budaya dan pendidikan. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |