Bertepatan dengan hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Program Studi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) didukung oleh Kedutaan Kanada untuk Indonesia dan Timor-Leste dan Ford Foundation mengadakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta pada Kamis, 8 Maret 2018. Pada acara yang bertempat di Gedung Dewi Sartika Universitas Negeri Jakarta ini panitia menghadirkan Rocky Gerung, Pengajar Kajian Filsafat dan Feminisme Jurnal Perempuan sebagai pembicara dalam kuliah umum berjudul “Cinta dan Politik”. Sementara itu, dalam sesi diskusi dengan tema “Feminisme dan Cinta” dalam rangka Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 96 panitia menghadirkan empat narasumber, yakni, Sri Nurherwati, S.H. (Komisioner Komnas Perempuan), Dr. Robertus Robet (Dosen Sosiologi FIS Universitas Negeri Jakarta), Naufaludin Ismail, S.Hum. (Penulis JP 96 dan Redaksi Jurnal Perempuan), dan Kartika Jahja (Musisi dan Aktivis Kesetaraan Gender) sebagai pembicara, dipandu oleh Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Rocky Gerung membuka kuliah umum tentang “Cinta dan Politik” dengan menyampaikan bahwa cinta dan politik tumbuh dari energi yang sama, yaitu menghasilkan keadilan. Namun, dua hal tersebut hari-hari ini dirasa kurang bergairah dalam dunia kampus. Akhir-akhir ini ekspresi cinta dan politik seperti terpenjara, padahal dua-duanya adalah narasi utama dalam kampus yakni keadilan dalam cinta dan keadilan dalam politik. Mengapa cinta dan politik kekurangan gairah dalam kehidupan kampus belakangan ini? Hal ini dikarenakan ada suatu moral besar yang mengatur cara kita menyampaikan rasa sayang. Moral besar itu menurut Rocky Gerung merupakan moral yang dibuat di langit, bukan hasil kesetaraan kampus. Demikian juga dalam politik, terdapat moral besar yang mengatur kita hingga kita harus memiliki sopan santun dalam berpolitik. Suasana bangsa kita saat ini kebanyakan jalan tol namun kekurangan jalan pikiran, hal ini sangat berbahaya bagi sebuah bangsa yang ingin mempercepat demokrasi. Menurut Rocky, terlalu banyak kecemasan dalam kehidupan kita baik dalam bercinta maupun berpolitik, banyak kekhawatiran yang dialami karena kontrol logika laki-laki yang telah ada sejak lama. Logos spermatikos menempatkan perempuan ada pada posisi pasif yang tidak perlu melakukan apa-apa, hanya menunggu untuk diisi saja. Peradaban ini dikendalikan oleh logos spermatikos, hanya ada satu ovum yang dapat dibuahi oleh karena itu harus banyak sperma yang disebarkan. Penyebaran tersebut yang menurut Rocky menghasilkan penindasan dan diskriminasi. Lebih lanjut Rocky menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan bekerja dengan logos spermatikos, dan ini luput dari perhatian universitas. Hal ini disebabkan oleh lambannya perkembangan feminisme dalam dunia kampus. Terdapat anggapan bahwa kampus tidak boleh mengajarkan hal-hal yang membahayakan moral. Akan tetapi kondisi tersebut tidak lagi berlaku karena feminisme saat ini berada di puncak ilmu pengetahuan. Feminisme yang dulu dianggap berbahaya justru sekarang dianggap sebagai pengetahuan baru yang memungkinkan untuk mengatur kembali konsep keadilan. “Feminisme yang dulunya unspeakable kini menjadi unstoppable,” ujar Rocky. Mengenai politik, Rocky menyoroti Pemilu 2019 yang akan datang. Ia mengemukakan pendapat yang berkembang bahwa alternatif yang ditawarkan terlalu ekstrem yakni hanya ada dua pasangan calon di republik ini. Masyarakat merasa bahwa dalam keadaan seperti itu, sulit untuk menciptakan kreativitas dan ide-ide baru. Sementara itu, di media lain terdapat diskursus tentang calon tunggal. Ada upaya untuk menyodorkan konsep baru yakni dengan dalil efisiensi sebaiknya pemilu ke depan ditumpukan pada teori calon tunggal. Jadi, jika di awal ada dua blok, maka dua blok tersebut akan dijadikan satu, itu diskursus yang ada di publik saat ini. Namun, hingga saat ini kita belum mendengar universitas membicarakan hal tersebut. Menurut Rocky, universitas harus melakukan filter terhadap arogansi kekuasaan, jangan sampai arogansi kekuasaan menutup semua kemungkinan untuk menambahkan IQ nasional, jangan sampai politik menutup peluang untuk menambah kecerdasan universitas. Dalam tema tersebutlah Rocky mengaitkan antara cinta dan politik, cinta dan politik memiliki kesamaan yakni mengarah pada kesetaraan dan keadilan. Cinta dan politik tumbuh juga dalam kompetisi, orang tidak akan menikmati cinta dan politik tanpa ada kompetisi, dua-duanya tumbuh dalam kecemburuan yang masuk akal. Menurut Rocky, baik dalam bercinta dan berpolitik kita harus menumbuhkan kecemburuan dalam porsi yang masuk akal. Rocky menganjurkan untuk memperbanyak cinta dan memperbanyak politik, menurutnya pecinta yang baik akan menjadi politisi yang beretika demikian pula sebaliknya. Lebih lanjut Rocky mengatakan bahwa kita dapat tersesat dalam perjalanan cinta dan politik, tapi yang penting adalah keinginan kita untuk menempuh cinta dan politik dengan satu tujuan bersama yaitu menyempurnakan kebebasan dan menghasilkan keadilan. “Jadi teman-teman selagi masih muda perbanyak energi kita, perbanyak energi politik, hanya dengan itu kita bisa menambahkan akal sehat dan memungkinkan kita untuk tumbuh dalam kebebasan,” tutur Rocky Gerung di akhir pemaparan kuliah umum. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |