Selasa, 4 September 2018 di Gedung Nusantara 1 DPR RI, Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Komnas Perempuan (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) mengadakan diskusi terbatas dengan Kaukus Perempuan Parlemen dan Komisi 3 DPR RI. Diskusi terbatas tersebut menyoroti sejumlah persoalan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini masih dalam tahap pembahasan DPR dan pemerintah. Atnike Sigiro selaku Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan membuka acara diskusi terbatas mengenai RKUHP tersebut dengan menyatakan bahwa Jurnal Perempuan edisi 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender menampilkan sejumlah potret persoalan pada KUHP yang berlaku dan pada RKUHP. Bagi Atnike RKUHP perlu dicermati secara seksama dalam relasinya terhadap perempuan, anak, buruh migran, disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Menurutnya tanpa adanya sensitivitas terhadap pluralitas pengalaman, sebuah produk hukum berpotensi mendiskriminasi dan menjauhkan akses terhadap keadilan. Lebih jauh Atnike menyatakan bahwa JP 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender yang merupakan seri #20TahunReformasi adalah salah satu bentuk refleksi terhadap realitas berbangsa dan bernegara pasca reformasi. Menurut Atnike tanpa semangat reformasi ide perbaikan hukum, HAM, dan keadilan gender tidaklah memiliki ruang. Atnike berharap agar diskusi yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan dan Komisi 3 DPR RI dapat mendorong penyempurnaan RKUHP sehingga ada dimensi kesetaraan gender dalam RKUHP tersebut. Yunianti Chuzaifah selaku Wakil Ketua Komisioner Komnas Perempuan dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa revisi RKUHP seharusnya lebih menjaga martabat manusia dan mendekatkan rasa kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Menurut Yunianti, hukum yang ada saat ini lebih bernuansa penghukuman alih-alih menjadi payung hukum. Hal ini dapat dilihat dari sistem penghukuman yang bersifat punitif daripada edukatif, rehabilitatif dan penjeraan. Bagi Yunianti instrumen HAM haruslah dijadikan acuan dalam pembuatan produk hukum dalam upaya menjamin hak-hak dasar manusia. Yunianti juga menyatakan bahwa terjadi kesenjangan pikir dalam hal penolakan terhadap revisi pasal perzinaan. "Ada anggapan bahwa menolak pasal perzinaan dianggap sama dengan mendukung tindak perzinaan, padahal kedua hal tersebut tidaklah sama", tutur Yuni. Penolakan terhadap RKUHP ini seharusnya dipahami sebagai sikap kehati-hatian untuk memastikan agar perempuan tidak dijadikan sebagai sasaran penghukuman. RKUHP yang ada saat ini menurut Yuni berpotensi mengriminalkan 2 juta perempuan yang tidak mencatatkan pernikahannya, termasuk di dalamnya perempuan adat, anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual, karena mereka disimplifikasi sebagai pelaku extra marital sex. Yuni melihat menyatakan bahwa pengalaman perempuan sangat penting untuk diakomodasi dalam perumusan produk hukum. “Reformasi hukum harus mendengar suara korban, mendengar suara perempuan. Bukan hanya demi menjamin hak konstitusional warga negara, melainkan juga demi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menghargai hak asasi dan menganut hukum yang beradab” tutur Yuni. Dr. Hetifah Sjaifudian, Presidium KPPI RI, Wakil Ketua Komisi 10 DPR RI dan Ketua Perempuan Partai Golkar, menyatakan bahwa sepakat dengan sejumlah isu yang telah disampaikan oleh Yunianti dan Atnike dan menjadikan hal tersebut sebagai catatan penting bagi proses pembuatan RUU KUHP. Menurut Hetifah, 20 tahun pasca reformasi sejumlah regulasi hukum yang ada belum sepenuhnya ramah terhadap perempuan dan belum sungguh-sungguh mendukung keadilan gender. Menurut Hetifah penting agar perspektif gender disertakan dalam setiap regulasi dan mempertimbangkan dampak dari setiap kalimat atau klausul dalam regulasi hukum secara seksama. Menurut Hetifah mendorong agenda keadilan gender di dalam proses pembuatan regulasi legislatif memang sangat sulit mengingat sedikitnya jumlah perempuan di dalam proses tersebut. Dalam kesempatan tersebut, Hetifah juga memberikan apresiasi atas dialog-dialog yang telah dilakukan oleh para akademisi, civil society dan legislator dalam upaya menghasilkan kebijakan yang lebih baik. Diskusi terbatas oleh Jurnal Perempuan, Komnas Perempuan, Komisi 3 dan 10 DPR RI saat itu berupaya mendorong lahirnya produk hukum pidana dalam hal ini KUHP yang menghormati kemanusiaan, menjunjung kesetaraan gender, keadilan dan keadaban bangsa. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |