Reportase yang Tidak Berimbang Berpotensi Sebabkan Viktimisasi terhadap Subjek Pemberitaan14/1/2018
Terorisme dan radikalisme kembali menjadi pusat perhatian setelah muncul gerakan yang disebut dengan ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria). Terjadi perdebatan yang cukup sengit dalam mendefinisikan ISIS sebagai ajaran Islam atau bukan. Tetapi, masalah ini tidak berhenti pada perdebatan definisi saja. Terorisme membawa kita pada peperangan faktual dan ideologi. Perang faktual mungkin hanya terjadi di daerah konflik, tetapi perang ideologi bisa terjadi dimana pun, bahkan di Indonesia. Perang ideologi bisa dikatakan sebagai alasan kuat dibalik banyaknya warga negara Indonesia yang secara sukarela melibatkan dirinya ke dalam perang faktual dengan tujuan yang berbeda-beda. Dengan demikian Indonesia tidak bisa melepaskan diri terhadap isu terorisme dan radikalisme yang berkaitan dengan ISIS.
Kepulangan para deportan dan returnee disambut dengan berbagai pandangan mulai dari mensyukuri hingga mengutuk kepulangan tersebut. Hal ini juga diikuti dengan banyaknya pemberitaan yang justru memperkeruh keadaan melalui promosi kebencian dan kejijikan proyektif. Stigma yang melekat pada deportan dan returnee menjadi masalah bagi mereka untuk memulai kehidupan kembali pasca kepulangannya. Deportan dan returnee sering kali merasa ditipu oleh wartawan yang tidak bertanggung jawab atas pemberitaan yang tidak utuh, tidak disamarkannya identitas dan tidak sesuai dengan konteks pembahasan sama sekali. Pemberitaan yang dilakukan oleh media terhadap isu terorisme dan radikalisme perlu menjadi perhatian serius mengingat dapat berpotensi membuat subjek pemberitaan menjadi korban (viktimisasi), hal ini juga sering terjadi pada isu pemerkosaan, pembunuhan dan masih banyak lagi. Rabu, 10 Januari 2018 pukul 14.00, bertempat di The Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan C-SAVE (Civil Society Against Violent Extremism) mengadakan acara berjudul “Liputan Kelompok Radikal: Reportase Berimbang?” yang membahas tentang liputan terorisme yang berujung pada viktimisasi keluarga teroris maupun pemberian label kepada deportan dan returnee. Acara ini diharapkan dapat membangun kesadaran pewarta untuk memberikan reportase berimbang dalam setiap liputan menyoal kelompok radikal, terorisme maupun isu-isu perempuan. Reportase berimbang memang sudah seharusnya dilakukan dengan memberi informasi berita yang berkeadilan dan berempati. Sehingga, pemberitaan yang muncul tidak menyumbangkan stigma baru yang mengancam identitas korban. Heru Effendy (Pakar Viktimologi dan Akademisi Universitas Indonesia) berusaha menyampaikan pendapatnya mengenai liputan kelompok radikal maupun teroris yang sering kali menyoroti keluarga pelaku, “Stigma yang tertanam pada keluarga teroris berakibat pada pengucilan di lingkungan tempat tinggal mereka”, tutur Heru. Media perlu memahami posisi keluarga teroris yang sering menjadi korban dalam reportase yang tidak berimbang. Stigma memang terkonstruksi secara sosial, namun diharapkan media tidak memperkeruh keadaan dengan informasi palsu tentang fakta yang terjadi. Mira Kusumarini (Direktur Eksekutif C-SAVE) turut menyayangkan viktimisasi pada deportan dan returnee yang bukan dijadikan pembelajaran tetapi hoax semata, “Adanya media yang tidak berpegang teguh pada kode etik membuat informasi pembelajaran menjadi kontraproduktif” tutur Mira. “Seorang wartawan memang tidak sempurna, tetapi perlu diingat bahwa dalam godaan membuat berita yang gurih, berita tersebut juga harus bergizi dan tidak mengandung racun” tutur Aristides Katoppo (Co-founder Koran Sinar Harapan dan Jurnalisme Damai) yang juga menjadi pembicara pada acara tersebut. Dunia informasi memang sedang dijajah oleh perebutan kapital antara media yang satu dengan yang lainnya, penyebaran hoax pun ikut serta dalam derasnya arus informasi. Oleh karena itu, media wajib memberitakan fakta dengan tujuan memunculkan perdamaian. Reportase yang tidak berimbang hanyalah salah satu sebab dari sekian banyak hoax yang tersebar. Pasalnya audience atau netizen (Internet Citizen) ikut serta dalam menyebarkan dan memaknai ulang suatu berita. Selain itu media dianggap memiliki peran untuk terlibat dalam promosi perdamaian dan yang lebih penting adalah wartawan dan dewan pers sebaiknya bukan hanya mengerti kode etik tetapi menerapkannya pula. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |