Sejak tahun 2017 Lokataru Foundation melakukan riset tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hasil riset tersebut menemukan sejumlah persoalan pada penyelenggaraan BPJS Kesehatan, diantaranya adalah soal kepesertaan di tingkat masyarakat dan fasilitas yang masih abai terhadap kepentingan kelompok rentan. Temuan Lokataru tersebut didokumentasikan dalam laporan penelitian yang berjudul "Formulasi dan Pelaksanaan Kepeserataan BPJS Kesehatan dan Implikasinya terhadap Jaminan Kesehatan Nasional". Direktur Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, yang juga merupakan Koordinator Riset tentang penyelenggaraan BPJS di Lokataru menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan sedang mengalami defisit anggaran saat ini. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 10, 98 Triliun. Menurut Atnike perluasan kepesertaan BPJS Kesehatan bisa menjadi solusi atas persoalan tersebut yaitu dengan cara mendorong partisipasi dari 60 juta warga yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan. Menurutnya dengan memperluas kepesertaan BPJS Kesehatan maka dana publik pun akan meningkat. “Tantangan utama BPJS Kesehatan adalah anggaran. Saat ini sumber utama pendanaan BPJS Kesehatan adalah iuran peserta mandiri dan anggaran APBN. Solusi dari defisit anggaran selalu diarahkan pada dua hal yaitu menaikan biaya iuran BPJS dan meminta jaminan dari pemerintah, padahal pendanaan BPJS Kesehatan sebetulnya dapat ditingkatkan dengan memaksimalkan partisipasi sektor swasta, BUMN dan pemerintah daerah” tutur Atnike dalam acara peluncuran riset Lokataru Foundation tentang BPJS Kesehatan pada Kamis (27/09) di Kedai Tjikini, Jakarta. Temuan Lokataru tersebut menunjukkan bahwa persoalan pada regulasi dan pelaksanaan BPJS Kesehatan berdampak pada dua hal. Pertama, sebagian masyarakat yang belum tergabung dalam kepesertaan BPJS menjadi terhambat untuk menjadi peserta. Kedua, masyarakat yang sudah tergabung dalam kepesertaan mengalami disinsentif. Lebih jauh Atnike memberikan ilustrasi bahwa kepesertaan berbasis Kartu Keluarga (KK) menghambat akses terhadap layanan BPJS Kesehatan. Misalnya dalam kasus pemblokiran kepesertaan yang disebabkan oleh tunggakan iuran salah satu anggota keluarga. Atnike menjelaskan bahwa dalam kasus tertentu penunggakan bisa disebabkan oleh perubahan komposisi KK yang terjadi karena kelahiran, kematian dan perceraian. Menurutnya, BPJS Kesehatan seharusnya mengenali realitas di dalam masyarakat. “Kami memandang persoalan kepesertaan sebagai persoalan utama dalam upaya mencapai universalisasi kesehatan di Indonesia di tahun 2019, selama masih ada persoalan pada prosedur dan persyaratan menjadi peserta BPJS Kesehatan maka cita-cita tersebut tidak akan tercapai” tutur Atnike. Lebih jauh Atnike juga menyatakan bahwa pola kepesertaan BPJS kesehatan abai terhadap kepentingan kelompok rentan yaitu anak dalam kandungan atau bayi baru lahir, penyandang disabilitas, dan korban kekerasan. Berbeda dengan asuransi swasta, BPJS tidak mengenal premi maternity, artinya bayi yang baru dilahirkan status kepesertaannya tidak melekat bersama Ibu yang adalah peserta mandiri, maka dampaknya bayi tidak menerima insentif. Atnike menyatakan bahwa BPJS Kesehatan seharusnya memiliki perspektif gender dan sensitivitas terhadap kelompok-kelompok khusus dalam relasinya terhadap kepesertaan dan juga penyelenggaraan pelayanan. Persoalan kepesertaan dan disinsentif dalam BPJS Kesehatan menurut Atnike amat berkait dengan isu defisit anggaran BPJS Kesehatan. Artinya, untuk menggalang kepesertaan seluruh masyarakat, regulasi BPJS Kesehatan haruslah membuat masyarakat Indonesia mau dan mampu menjadi peserta BPJS Kesehatan. “Berbicara soal jaminan kesehatan artinya kita harus berbicara dalam bingkai perspektif HAM", tutur Atnike. Sehingga menurutnya untuk mencapai cita-cita keadilan sosial, layanan BPJS harus sesuai dengan kebutuhan warga negara (adaptable), kepesertaan BPJS Kesehatan harus mudah diakses dan tersedia setiap saat (accessible), layanan kesehatan harus memastikan cultural gap dan diskriminasi tidak menghambat seseorang untuk mengakses layanan kesehatan (available), dan layanan kesehatan harus menciptakan kepuasan individu (acceptable)”. Atnike menyadari betul bahwa keempat aspek di atas tidak mudah dicapai oleh BPJS Kesehatan, tetapi ia bersama Lokataru Foundation melalui riset tersebut berupaya untuk mendorong BPJS Kesehatan untuk mengartikulasikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan terus mengupayakan regulasi yang memastikan indikator 4A di atas. (Abby Gina). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |