Refleksi 20 Tahun Komnas Perempuan: Kontribusi dan Strategi Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan1/11/2018
Pada 31 Oktober 2018, Komnas Perempuan merayakan hari jadi yang ke-20. Reformasi adalah penanda kelahiran lembaga negara yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia tersebut. Bertempat di halaman kantor Komnas Perempuan, acara ulang tahun tersebut dirayakan dengan rangkaian acara dari pukul 7 hingga 9 malam. Salah satu kegiatannya adalah melakukan refleksi 20 tahun Komnas Perempuan melalui pemikiran para kolega, mitra dan aktivis seperjuangan Komnas Perempuan. Kristi Poerwandari dan Usman Hamid adalah dua diantaranya. Kristi Poerwandari yang merupakan pendiri Yayasan pulih menyampaikan bahwa Komnas Perempuan adalah suatu komisi nasional yang penting dan unik. Menurutnya keunikan Komnas Perempuan terletak pada cara menghapus kekerasan pada perempuan yaitu melalui advokasi dan pemulihan. Bagi sosok yang telah lama berkecimpung di dunia pemulihan dan psikologi tersebut, aktivitas advokasi dan pemulihan adalah pekerjaan yang sama pentingnya dan kerap kali sulit dilakukan bersamaan, namun Komnas Perempuan gigih mengupayakan keduanya berjalan selaras. Pemulihan sendiri menurut Kristi perlu dimaknai secara luas agar dapat berjalan seiringan dengan advokasi. Ia memberikan contoh dalam kasus perkosaan yang pelakunya adalah keluarga inti kerap kali korban enggan melaporkan kasus tersebut. Pada kasus tersebut menurut Kristi, advokasi dan pemulihan perlu bersinergi agar korban tidak menjadi korban kembali. "Pemulihan dalam makna luas bisa digunakan karena korban bisa dilihat sebagai sosok utama yang kepentingannya perlu didahulukan, baik dalam proses hukum maupun perihal traumanya", jelas Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut. Kristi menjelaskan bahwa pemulihan itu dilakukan pada individu atau kelompok untuk dapat berdaya, bahagia, mandiri, dan menghilangkan kekacauan batinnya. Ia juga menjelaskan bahwa Komnas Perempuan memiliki 5 prinsip dalam pemulihan yaitu, berbasis hak, perspektif perempuan korban, multidimensi, berbasis masyarakat, dan berkesinambungan. Kelima prinsip tersebut menurut Kristi adalah upaya Komnas Perempuan untuk mendukung korban agar tidak memunculkan persoalan baru. Lebih jauh, Kristi menjelaskan bahwa Komnas Perempuan juga memiliki mekanisme advokasi yang dalam prosesnya tidak boleh menyebabkan korban menjadi korban lagi. "Komnas Perempuan memiliki prosedur advokasi yaitu setiap strategi advokasi harus didiskusikan dengan korban dan dilaksanakan dengan persetujuan korban, terutama dengan memberikan dan menjelaskan opsi dan risiko atas strategi yang diambil", jelas Kristi. Dengan demikian menurut Kristi, proses advokasi dan pemulihan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Usman Hamid, Direktur Amensty Internasional Indonesia juga diundang untuk memberikan refleksi. Dalam refleksinya Usman mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan adalah kristalisasi gerakan perempuan yang setelah begitu lama direndahkan oleh sistem otoritarianisme orde baru atau militerisme Orba. Usman menjelaskan gerakan Suara Ibu Peduli yang telah mendahului gerakan mahasiswa 1998 merupakan bukti bahwa gerakan perempuan adalah gerakan masyarakat sipil yang tidak bisa dianggap remeh. Usman juga menjelaskan bahwa protes kenaikan harga susu yang dilakukan Suara Ibu Peduli adalah suatu abstraksi dari krisis moneter yang terjadi saat itu. "Kemudian ada gerakan masyarakat anti kekerasan yang melawan kekerasan orde baru, kekerasan yang menyasar tubuh perempuan. Komnas perempuan lahir dari rahim reformasi", jelas Usman. Lebih jauh, Usman Hamid mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan pada masa awal berdiri kesulitan mencari role model--karena tidak ada negara yang memiliki lembaga negara seperti itu. Kemudian, Komnas Perempuan merujuk ke belakang, mengadopsi CEDAW sebagai basis perjuangannya. Menurut Usman, Komnas Perempuan juga telah mengambil sebagian pekerjaan Komnas HAM yaitu penyelidikan berbagasi kasus HAM seperti kasus Timor hingga tragedi 1965. Tak hanya itu, bahkan Komnas Perempuan, gerakan perempuan dan gerakan sosial bersama-sama berhasil melahirkan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). "UU PKDRT memulai suatu babak baru untuk keberanian dalam kehidupan dan untuk keberanian bersuara melawan kekerasan", jelas Usman. Bagi Usman, Komnas Perempuan berbeda dengan gerakan hak asasi manusia lainnya di dunia yang mayoritas meninggalkan "agama". Usman menjelaskan bahwa Komnas Perempuan melibatkan banyak tokoh agama dalam kerja-kerjanya kemajuan perempuan, sehingga berbeda dari kebanyakan gerakan HAM di dunia yang meninggalkan agama atau melepaskan diri dari belenggu agama yang kerap kali dianggap melegitimasi kekerasan. Sebaliknya Komnas Perempuan merebut agama untuk bersama-sama memberikan kesetaraan dan keadilan. "Dua puluh tahun Komnas Perempuan, kita menemukan bahwa ada bukti gerakan sosial atau dalam konteks ini gerakan perempuan bisa bertahan lama", jelas Usman. Menurut Usman, keberadaan Komnas Perempuan yang mulanya adalah gerakan sosial dan kemudian bertransformasi menjadi lembaga negara juga harus diperkuat peran-perannya oleh negara. Ia berharap Komnas Perempuan dapat menjadi lembaga negara yang memiliki kekuatan seperti KPK atau LPSK sehingga angka kekerasan terhadap perempuan dapat diturunkan. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |