Pada Kamis (8/8/2024) lalu, telah diadakan kegiatan Diskusi Publik Refleksi Kritis Masyarakat Sipil Indonesia Menyambut 57 Tahun ASEAN bertema “Apakah ASEAN Signifikan Bagi Pekerja Migran?” bertempat di Aston Priority Simatupang, Jakarta. Diskusi publik ini diselenggarakan oleh Migrant CARE yang berfokus pada refleksi kritis tentang ASEAN sebagai entitas regional yang telah berdiri hampir enam dekade dan menakar keberhasilannya dalam memenuhi janji perlindungan bagi salah satu kelompok pekerja yang paling rentan di kawasan ini. Diskusi ini mengundang Savitri Wisnu Wardhani (Migrant CARE), Daniel Awigra (Human Rights Working Group), dan Jeremia Humolong Prasetya (Indonesia Ocean Justice Initiative) sebagai pemateri.
Sejak pertama kali dideklarasikan pada 8 Agustus 1967, ASEAN telah mengalami perjalanan panjang. Dari blok politik yang dirancang untuk mengendalikan pengaruh komunisme di Asia Tenggara, ASEAN telah bertransformasi menjadi entitas yang lebih fokus pada integrasi ekonomi dan sosial melalui Piagam ASEAN yang diadopsi pada tahun 2007. Piagam ini, dengan prinsip "We Are The People" seharusnya menegaskan komitmen ASEAN untuk tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi, realitas di lapangan seringkali berbeda. Pekerja migran, meski berkontribusi signifikan terhadap perekonomian negara-negara ASEAN, seringkali merasa terpinggirkan dalam kebijakan dan perlindungan sebagai hak dasarnya. Apakah ASEAN telah cukup signifikan dalam melindungi hak-hak pekerja migran, adalah pertanyaan utama yang menjadi pusat perhatian dalam diskusi kali ini. Savitri Wisnu Wardhani, Program Manajer Migrant CARE, membuka diskusi dengan menjabarkan signifikansi ASEAN bagi pekerja migran. Savitri menjelaskan bahwa meskipun ASEAN memiliki berbagai modalitas dan dokumen yang dirancang untuk melindungi pekerja migran, seperti Deklarasi Cebu, ASEAN Consensus, dan berbagai inisiatif lainnya, implementasinya sering kali tidak sejalan dengan ekspektasi. Modalitas ASEAN yang ada mencakup beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh beberapa negara anggota, terutama negara asal pekerja seperti Indonesia dan Filipina. Konvensi-konvensi ini termasuk Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, Konvensi ILO 189 tentang Pekerja Rumah Tangga, dan CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan). Namun, meskipun konvensi ini diadopsi secara internasional, pelaksanaannya di tingkat regional sering kali terganggu oleh perbedaan kebijakan dan komitmen nasional yang tidak konsisten. Selain itu, Deklarasi Cebu dan ASEAN Consensus tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Pekerja Migran di ASEAN juga merupakan langkah penting. Deklarasi Cebu, misalnya, menekankan pentingnya perlindungan hak-hak pekerja migran dan pengakuan atas kontribusi mereka terhadap perekonomian regional. Namun, penerapan prinsip-prinsip ini masih kurang efektif di lapangan. Portabilitas perlindungan juga menjadi topik penting dalam diskusi ini. Konvensi ASEAN tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya di Masa Krisis, yang dilahirkan dari Deklarasi Labuan Bajo, menegaskan perlunya perlindungan yang berkelanjutan dalam situasi krisis. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya kesepahaman antara negara-negara anggota tentang tanggung jawab bersama. Deklarasi Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Perikanan Migran, yang dirancang untuk meningkatkan kondisi kerja dan perlindungan bagi pekerja di sektor perikanan, juga menunjukkan komitmen ASEAN untuk mengatasi masalah ini. Namun, hasil yang terlihat di lapangan seringkali tidak mencerminkan pencapaian dari deklarasi-deklarasi ini. Savitri menyoroti bahwa meskipun ada berbagai dokumen dan deklarasi yang diharapkan bisa melindungi pekerja migran, seperti Deklarasi Cebu, ASEAN Consensus, Portabilitas Perlindungan, dan Convention Against Trafficking in Persons 2015, implementasinya masih jauh dari harapan. Kelemahan dalam prinsip-prinsip kebijakan ASEAN, kurangnya integrasi antara negara asal dan negara tujuan, serta kurangnya perlindungan yang efektif di lapangan menunjukkan bahwa ASEAN masih perlu melakukan banyak pekerjaan untuk benar-benar memenuhi komitmennya terhadap perlindungan hak pekerja migran. Daniel Awigra dari Human Rights Working Group (HRWG) melanjutkan dengan pembahasan mengenai sejauh mana regionalisme ASEAN dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja migran. Daniel menjelaskan bahwa meskipun ASEAN berusaha untuk menciptakan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, hal ini seringkali mengesampingkan isu-isu hak asasi manusia, termasuk hak-hak pekerja migran. ASEAN lebih memprioritaskan keamanan dan stabilitas regional daripada perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, masyarakat sipil memegang peranan penting dalam advokasi untuk hak pekerja migran. Daniel mendorong perlunya kolaborasi lintas sektor untuk mendorong perubahan dan mempengaruhi kebijakan. Advokasi tidak hanya harus dilakukan di tingkat nasional tetapi juga harus melibatkan platform internasional untuk memastikan bahwa hak pekerja migran diperjuangkan secara konsisten. Di sesi terakhir, Jeremia Humolong Prasetya membahas isu perlindungan pekerja kapal perikanan migran. Jeremia menyoroti bahwa pekerja migran di sektor perikanan sering kali menghadapi kondisi kerja yang sangat buruk dan kurangnya akses ke perlindungan hukum. Meskipun terdapat beberapa deklarasi dan komitmen internasional mengenai perlindungan pekerja, seperti Deklarasi ASEAN, implementasinya masih sangat lemah. Masalah-masalah seperti kapal berbendera asing yang tidak mematuhi peraturan, kurangnya regulasi internasional yang memadai, dan ketidakmampuan sistem hukum lokal untuk menindaklanjuti pelanggaran hak pekerja, membuat pekerja kapal perikanan sering kali terisolasi dan rentan. Jeremia menekankan pentingnya pendekatan multistakeholder yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan perlindungan yang lebih efektif. Ia juga mendorong agar ada penekanan pada representasi pekerja dalam struktur dan mekanisme ASEAN, serta upaya untuk membuat advokasi berbasis pekerja lebih terintegrasi. Diskusi publik ini memperlihatkan bahwa meskipun ASEAN telah berusia 57 tahun dan memiliki berbagai mekanisme yang seharusnya mendukung perlindungan pekerja migran, implementasinya masih sangat kurang. Kelemahan dalam prinsip-prinsip kebijakan ASEAN, kurangnya integrasi antara negara asal dan negara tujuan, serta kurangnya perlindungan yang efektif di lapangan menunjukkan bahwa ASEAN masih perlu melakukan banyak pekerjaan untuk benar-benar memenuhi komitmennya terhadap perlindungan hak pekerja migran. Sebagai penutup, diskusi ini menegaskan perlunya peningkatan dalam advokasi dan kolaborasi untuk mendorong perubahan. Masyarakat sipil, bersama dengan lembaga-lembaga regional dan internasional, harus terus berjuang untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja migran tidak hanya menjadi catatan di atas kertas, tetapi juga terlaksana dengan nyata di lapangan. (Panca Lintang Dyah Paramitha) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |