Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional (HPI) 2018, Solidaritas Perempuan menyelenggarakan acara “Temu Perempuan untuk Kedaulatan Pangan: Mendorong Agenda Politik Perempuan untuk Kedaulatan Pangan” selama tiga hari, 6-8 Maret 2018 di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta Selatan. Solidaritas Perempuan menginisiasi acara ini sebagai ruang untuk menguatkan, menyuarakan, menyusun strategi perlawanan bersama perempuan-perempuan yang berjuang untuk kedaulatan pangan. Salah satu diskusi yang diselenggarakan pada 6 Maret 2018 berjudul “Peran Penting Perempuan dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Upaya Negara dalam Perlindungan Perempuan”. Diskusi tersebut memperbincangkan soal Pengaurusutamaan Gender (PUG) dalam kebijakan pertanian. Kementerian Pertanian yang memiliki tugas untuk mempertahankan kedaulatan pangan dan menyejahterakan kehidupan petani nampaknya telah menyiapkan strategi yang cukup komprehensif dalam menangani gender gap yang ada di sektor pertanian. PUG sebagai sebuah strategi diharapkan dapat menyelesaikan gender gap dengan memerhatikan pengalaman, aspirasi dan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda. Namun faktanya, hingga kini kerja-kerja perempuan di sektor pertanian belum dianggap sebagai kerja produksi, perempuan petani kerap kali dianggap sebagai ibu rumah tangga atau istri petani saja, bukan sebagai petani. Masih adanya konstruksi gender dan pembagian kerja seksual dalam masyarakat juga berdampak pada pengakuan dan definisi kerja perempuan petani, sehingga mereka sulit untuk diakui sebagai petani, sulit mendapatkan akses bantuan, dan sulit bergabung dalam serikat atau organisasi tani. Puspa Dhewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan yang hadir sebagai pembicara mengungkapkan bahwa penting untuk menciptakan kedaulatan perempuan dan pangan sebab kepentingan perempuan sering dicederai oleh proyek investasi asing yang dianggap lebih menguntungkan dan menyumbangkan banyak pemasukan bagi negara. Lebih jauh, Puspa menegaskan bahwa pemerintah harusnya memberi ruang untuk perempuan petani agar mampu mengembangkan diri dalam pertanian. Sebab peran strategis perempuan dalam ketersediaan pangan kerap kali tidak disadari oleh pemerintah dan itu yang menyebabkan tidak tersedianya akses untuk perempuan petani. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyejahterakan petani dengan perspektif PUG, namun banyak perempuan petani yang hadir di dalam forum ini merasa masih mengalami persoalan yang berlapis. Para perempuan petani mengungkapkan beberapa persoalan yang dihadapi mereka di dalam forum ini, antara lain konflik sumber daya alam, rekognisi status perempuan petani, dan pemakasaan jenis tanaman tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum menyelesaikan permasalahan berbasis gender yang ada pada ranah pertanian. Saur Tumiur Situmorang, Komisioner Komnas Perempuan juga menjelaskan bahwa ancaman pangan bagi perempuan bukan hanya menyerang indentitas mereka sebagai petani, nelayan atau pekerja lingkungan. Tetapi, ancaman itu juga menyerang para perempuan yang memperjuangkan tanah mereka, seperti Kartini Kendeng dan perempuan di Poso. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengakui status perempuan petani bukan hanya memosisikan perempuan dalam ruang-ruang domestik. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |