Selasa (22/10/24) lalu, telah diselenggarakan Peluncuran dan diskusi buku dengan tajuk Masyarakat Sipil Setara Gender: Meneropong Ornop Perempuan Indonesia Pasca-Reformasi. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama dari kelompok riset Agama Etnisitas dan Gender dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bekerja sama dengan penerbit buku Kompas dan juga American Institute for Indonesian Studies (AIFIS). Kegiatan ini dilaksanakan secara daring melalui Zoom dan juga disiarkan langsung melalui Youtube. Kegiatan dibuka dengan sambutan dari Kepala Pusat Riset Politik BRIN yang diwakili oleh Lidya Kristin Sinaga yang sekaligus menjadi moderator dalam diskusi ini. Dalam sambutannya, Lidia mengucapkan selamat kepada tim penulis dan Pusat Riset Politik BRIN. Hal ini menjadi suatu kebanggaan karena pengerjaan buku ini dimulai sejak tahun 2020 Buku ini akhirnya dapat hadir di tahun 2024 yang juga merupakan tahun politik dan tahun pergantian kepemimpinan nasional. Harapannya, buku ini bisa menjadi pijakan untuk membaca dan melihat kembali perkembangan penting dari salah satu demokratis, yakni masyarakat sipil, yang termasuk di dalamnya adalah organisasi non-pemerintah (ornop) perempuan. Bagi Linda, kehadiran buku ini patut untuk diapresiasi karena akhirnya berhasil mengisi kekosongan ruang untuk melihat kembali peta kelembagaan dan kerja-kerja ornop perempuan di Indonesia, khususnya pada periode pasca-Reformasi. Semoga melalui kerja sama yang baik ini kedepannya tim riset mereka lebih bersemangat untuk menerbitkan banyak buku, tidak saja artikel dan jurnal, sehingga dapat dibaca bagi khalayak luas dan berguna bagi masyarakat Indonesia, tukas Linda. Di akhir sambutannya, Linda berharap diskusi ini dapat menjadi “sarapan pagi” yang menyenangkan bagi semua peserta yang hadir. Marcellus Hernowo sebagai Redaktur Pelaksana Kompas mengisi sambutan berikutnya. Marcellus mengatakan, salah satu materi diskusi yang sering terjadi di redaksi Kompas beberapa waktu terakhir adalah sepinya gerakan masyarakat sipil yang dirasakan selama 10 tahun terakhir ini. Semoga hal tersebut menjadi pandangan yang salah yang semata-mata menjadi keterbatasan mereka sebagai jurnalis. Marcellus berharap peluncuran buku ini menjadi momentum untuk menguatkan gerakan masyarakat sipil, terutama ornop perempuan. Sekaligus juga dapat membuktikan kegelisahan mereka terkait gerakan masyarakat sipil di tanah air yang semakin sepi adalah sesuatu yang salah. AIFIS yang menjadi mitra dari BRIN juga diberikan kesempatan untuk menyampaikan sambutan, yang dibawakan oleh Dr. Yosep Djakababa Masif. Yosep mengenalkan dan menyebutkan tujuan dari AIFIS, yakni untuk mengembangkan berbagi studi tentang Indonesia. AIFIS hadir untuk melakukan kolaborasi keilmuan antara ilmuwan Indonesia dan Amerika Serikat serta pertukaran ide-ide keilmuan dalam berbagai bentuk. Di akhir sambutannya, Yosep mengucapkan selamat kepada Pusat Riset Politik BRIN atas penerbitan buku ini. Kegiatan diskusi yang dipandu langsung oleh Lidia. Ia memberikan kesempatan kepada Kurniati Dewi selaku perwakilan tim riset dari BRIN untuk memberikan penjelasan mengenai isi buku ini dan menjelaskan peta kajian organisasi masyarakat sipil. Kurniati mencoba melihat partisipasi politik dalam arti luas, tidak hanya perempuan aktif di lembaga-lembaga politik tetapi juga di tingkat akar rumput. Tim riset juga memperhatikan sejauh mana kontribusi masyarakat sipil dalam demokrasi di Indonesia dengan menggunakan kerangka pikir Masyarakat Sipil Setara Gender (MSSG). Kerangka ini terdiri dari Pengarusutamaan Gender (PUG) dan pemberdayaan perempuan, yang disusun dari lima elemen, yaitu representasi, otonomi, konteks lokal, interseksionalitas, serta basis sosial. Kerangka MSSG ini yang kemudian dipakai sebagai acuan untuk melakukan survei secara daring pada tahun 2022.
Tiga pertanyaan mendasar dalam buku ini berkaitan dengan sejauh mana kondisi kapasitas kelembagaan ornop perempuan berdasarkan hasil survei MSSG, sejauh mana strategi ornop perempuan berdasarkan hasil survei, dan bagaimana pola keragaman kapasitas kelembagaan ornop perempuan di Indonesia berdasarkan hasil survei yang dilakukan. Berdasarkan data karakteristik ornop perempuan di 23 provinsi di Indonesia, dijelaskan bahwa 76,56 persen di antaranya bergerak dalam pengorganisasian kelompok, 70,31 persen di bidang advokasi, 61,19 persen bergerak di bidang pendampingan, 48,50 persen di bidang pendidikan, serta 28 persen bergerak di bidang penelitian dan pengembangan. Kemudian, untuk representasi substansi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh organisasi 96,88 persen mampu merepresentasikan kepentingan perempuan, sedangkan 62,5 persen organisasi memiliki otonomi sumber keuangan untuk mengatur organisasi sendiri, dan sebagian besar di Pulau Jawa sudah memiliki sumber keuangan sendiri. Kajian ini memperlihatkan kontribusi ornop perempuan Indonesia pasca-Reformasi dapat dikatakan kuat dalam mendukung iklim demokrasi Indonesia. Ini tercermin pada dimensi pemberdayaan perempuan yang mengutamakan representasi substantif, meskipun masih kurang dari sisi otonomi terkait pemberdayaan perempuan, dan kiprahnya dalam penyiapan perempuan sebagai bakal calon legislatif (bacaleg). Selain itu, temuan yang menonjol lainnya menunjukkan sebagian besar ornop telah menyasar mitra yang memfokuskan pada para perempuan, dan ornop menilai bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah mampu merepresentasikan kepentingan perempuan. Terdapat aspek yang lemah di elemen otonomi ornop perempuan yang berkaitan dengan dimensi pemberdayaan perempuan, yakni untuk kemandirian dana, serta belum banyak ornop perempuan yang memiliki sumber keuangan sendiri. Sebagian besar ornop perempuan mendapat sumber dana dari lembaga non-pemerintah daripada mitra pemerintah. Berdasarkan lokasi, Jawa dan luar Jawa juga menunjukkan pola kesulitan pendanaan yang sama. Namun, ornop perempuan di Jawa cenderung menerima pendanaan untuk melakukan kegiatan peningkatan partisipasi politik perempuan, baik yang bersumber dari mitra lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Pola ini mengindikasikan masih adanya ketimpangan pendanaan untuk ornop-ornop perempuan yang berada di Jawa dan luar Jawa. Kurniati menyatakan, perlu dorongan agar ornop perempuan semakin mandiri dan tidak bergantung pada lembaga donor non-pemerintah. Berkaitan keterwakilan ornop perempuan di parlemen, meskipun hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari keseluruhan responden ornop perempuan (di Jawa dan luar Jawa) menggunakan basis sosial seperti kelompok petani, perempuan nelayan, dan lainnya untuk mendukung partisipasi politik perempuan. Akan tetapi, potensi basis sosial itu tidak diterjemahkan ke dalam persiapan nyata para perempuan untuk berkompetisi dalam Pemilu 2024. Mayoritas ornop perempuan (lebih dari 50 persen) mengaku tidak mempersiapkan perempuan pengurus atau anggota organisasi untuk menjadi bacaleg. Survei juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan, sekitar 64 persen ornop tidak membuat program khusus bersama mitra untuk berkolaborasi dengan partai politik untuk menjaring perempuan bacaleg pada Pemilu 2024. Hal ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup besar untuk terus mendorong ornop perempuan Indonesia untuk semakin percaya diri. Sesi dilanjutkan oleh Devi Anggriani sebagai Ketua Umum Persekutuan Adat Nusantara (AMAN). Bagi Devi yang penting dan menarik dari buku ini adalah mengisi kekosongan studi dan kajian mengenai ornop, khususnya ornop perempuan pasca-Reformasi dengan perspektif gender. Tetapi, yang paling utama adalah upaya untuk menampilkan bahwa perempuan itu bukanlah pelengkap dari gerakan sosial, melainkan aktor dari perubahan sosial. Membuat proses ini menjadi terlihat tentunya bukan hal mudah. Hal lain yang menarik juga dari buku ini berkaitan dengan bagaimana menyoroti gerakan dalam aksi kolektif perempuan atau “daily politics” dalam pandangan Perempuan AMAN berkaitan dengan upaya yang terentang dari pengelolaan sumber hidup yang berkelanjutan. Hal ini terkait juga dengan pengetahuan adat dan pekerjaan tradisional dan relasi dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan. Menurut Devi, ini sesuatu yang sangat kaya karena memuat kecerdasan yang majemuk dalam upaya untuk memulihkan dan melakukan penguatan kapasitas perempuan. Selanjutnya Prof. Etin Anwar dalam sesinya menyatakan konten otonomi adalah hal yang paling menarik ketika beliau membaca buku ini. Buku ini penting karena memperkenalkan pada pendekatan baru, yaitu pendekatan masyarakat sipil secara gender, serta memetakan berbagai organisasi yang sudah ada maupun yang baru. Dengan juga memasukan pengalaman perempuan sebagai subjek, akan menguntungkan jika perilaku perempuan di dunia domestik disampaikan ke publik. Namun, pada saat yang sama, hal ini dapat membahayakan, sebab hal ini bisa saja merepsentasikan perempuan hanya lihai dalam kancah domestik. Masih ada tantangan bagi ornop untuk bisa mencapai otonomi, yakni adanya ketergantungan terhadap pendanaan. Di sisi lain, peran ornop perempuan sebagai kendaraan politik dan sosial masih terpinggirkan. Adanya politik transaksional dan minimnya apresiasi terhadap kepemimpinan perempuan menjadi bahaya yang kita hadapi dalam lima tahun ke depan. Terbukti dari susunan menteri kabinet Presiden Prabowo Subianto, yang mana persentase menteri perempuan hanyalah 16,77 persen. Juga pada DPR RI, hanya 22,1 persen perempuan yang terpilih menjadi anggota dewan. Anggota parlemen yang terpilih juga menunjukan adanya relasi kekeluargaan atau budaya kuasa keluarga (kinship culture) dengan orang-orang berpengaruh lain di pemerintahan. Sebagai penutup dari kegiatan ini, Lidia bersepakat dengan kedua pembahas buku ini bahwa di dalam buku ini menawarkan kekayaan data yang otentik tentang ornop perempuan di Indonesia sangat layak dan relevan untuk dibaca, khususnya di tengah perubahan kepemimpinan nasional yang baru. Semoga peluncuran dan diskusi buku ini menjadi energi baru untuk mengalahkan tantangan yang ada, sehingga kedepannya ornop perempuan Indonesia bisa terus menjadi kunci demokrasi Indonesia. (Try Suriani Loit Tualaka) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |