Pada 20-21 Agustus 2024 telah diadakan pelatihan bertajuk “Pencegahan dan Penindakan Perundungan di Lembaga Pendidikan” yang diadakan oleh Pusat Forensik Terintegrasi (PFT) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LPPSP FISIP UI). Pelatihan ini ditujukan untuk para guru, dosen, dan tenaga didik lain dari berbagai institusi pendidikan di Jabodetabek. Rangkaian narasumber dalam pelatihan ini sendiri diisi oleh beberapa dosen UI lintas fakultas, pengamat pendidikan, dan pejabat publik terkait. Pelatihan ini lantas menjadi ajang edukasi bagi tenaga pendidik untuk memahami regulasi dan tindakan penanganan yang tepat dalam menangani kasus perundungan di lingkungan lembaga pendidikan. Jurnal Perempuan mendapat kesempatan untuk hadir dan meliput hari kedua kegiatan pelatihan ini. Kegiatan ini berangkat dari data berbagai penelitian menunjukkan peningkatan jumlah kasus perundungan atau bullying pada institusi-instutusi pendidikan Indonesia, kendati sudah adanya dukungan dari pemerintah melalui regulasi seperti Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan peraturan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini tentu merupakan suatu kondisi yang genting mengingat perundungan memiliki implikasi negatif langsung terhadap kemampuan siswa maupun mahasiswa untuk dapat berpartisipasi dengan baik dalam kegiatan belajar-mengajar. Kegagalan pencegahan dan penanganan kasus-kasus perundungan ini disebabkan antara lain kurangnya kesadaran dan pengetahuan di lingkungan tenaga didik dan penegak hukum, sistem pelaporan yang tidak efektif, keterbatasan sumber daya dalam penanganan, dan juga norma sosial yang masih melanggengkan budaya perundungan.
Pada hari kedua (21/08), kegiatan dimulai pada pukul 9 pagi di tempat yang sama dengan sesi diskusi bersama empat pemateri. Materi pertama disampaikan oleh Brigjen Pol. Erwin Kurniawan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan materi berjudul “Perundungan dalam Perspektif Ketertiban dan Negara Hukum”. Erwin memulai dengan pendahuluan mengenai faktor-faktor penyebab dan dampak perundungan. Ia kemudian memberikan masukan terkait dasar hukum bagi perilaku perundungan, yang dikatakannya sebagai suatu tindak kriminal berdasarkan UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Adapun disebutkan bahwa upaya Polri terkait isu perundungan meliputi tindakan non-penal (sosialisasi, edukasi, kampanye), serta penal, baik melalui pemidanaan maupun keadilan restoratif. Materi Erwin disusul oleh sesi tanya-jawab yang menyinggung isu hak pendidikan anak yang terpidana, peran kepolisian yang emansipatoris, serta proses peradilan yang mahal. Pada materi kedua, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI membahas interseksi atau persinggungan perundungan dengan kekerasan seksual. Inge menjelaskan, mengacu pada Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bahwa bentuk kekerasan antara lain meliputi perundungan dan kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat berwujud dalam bentuk body shaming, pelecehan fisik-verbal, perpeloncoan dengan kekerasan seksual (KS), penyiksaan seksual dengan motif keuntungan, dan juga kekerasan secara elektronik. Perundungan lantas beririsan dengan KS, menurut Inge, karena perundungan dapat termanifestasi dalam bentuk kekerasan seksual dan memberikan dampak destruktif yang sama. Inge juga memaparkan secara detail beberapa landasan hukum mengenai kekerasan seksual, antara lain UU TPKS No. 12 tahun 2022 dan Pasal 10 dari Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023. Dalam penanganan pun, Inge mengingatkan bahwa keadilan restoratif harus memerhatikan keseimbangan relasi antara pihak pelapor dan terlapor. Pada materi ketiga, Dr. Iqrak Suthin dari Kriminologi UI memberikan pemantik diskusi terkait perlunya hukuman bagi pelaku perundungan. Iqrak memberikan argumen-argumen dari berbagai sisi. Dalam mendukung penghukuman, Iqrak menyorot keinginan untuk menuntut akuntabilitas, memberi efek takut bagi orang lain, mengungkapkan dukungan bagi korban, sekaligus usaha untuk menciptakan lingkungan yang aman. Dari sisi yang menentang penghukuman, Iqrak menyorot adanya kritik terhadap potensi hukuman dalam menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan (misal stigmatisasi dan hilangnya masa depan pelaku), adanya dampak pada lingkungan sekolah atau kerja, serta kurangnya fokus pada rehabilitasi. Kendati demikian Iqrak mencatat bahwa hukuman nyatanya penting karena memang ada akar masalah yang perlu direspons. Dalam beberapa kasus, ada kelompok usia anak atau remaja yang memerlukan penanganan non-punitif, dan diperlukan pemahaman akan konteks serta motif tiap-tiap kasus. Penting, menurut Iqrak, untuk melihat perundungan bukan sebagai kejahatan, tapi delinkuensi, bahwa anak-anak melakukan tindakan karena faktor di luar dirinya. Kebijakan represif tidak dapat menyelesaikan masalah dan hanya dapat memperburuk delinkuensi. Di sisi lain, dalam konteks dewasa, diperlukan ketegasan, dan perundungan yang berulang-ulang dalam konteks orang dewasa dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kekerasan. Pada materi keempat sekaligus terakhir dalam rangkaian acara, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim dari Fakultas Psikologi menyorot kekurangan pada penanganan perundungan saat ini yang cenderung terlalu punitif dan kurang rehabilitatif, seperti mengeluarkan pelaku dari sekolah, membuat pelaku menandatangani surat pernyataan, atau menjebloskan pelaku ke dalam penjara anak. Ia mengatakan bahwa sering kali penanganan kasus perundungan terlalu berfokus pada korban, sehingga melupakan bahwa pelaku juga merupakan anak-anak yang masih memiliki masa depan. Mini juga menyebutkan bahwa nyatanya perundungan dapat terjadi di mana saja, termasuk di rumah oleh orang tua. Untuk itu, diperlukan pendekatakan menyeluruh antara anak, guru, sekolah, dan orang tua. Mini menekankan pentingnya stimulasi kebajikan (virtue) moral pada anak melalui nilai-nilai empati, nurani, kendali diri, penghargaan, kebaikan, toleransi, dan keadilan. Selain orang tua, guru juga perlu membuat aturan yang tegas. Bukannya sekadar menghukum, tetapi juga mengajarkan kerja sama dalam aktivitas belajar. Semua pihak diharapkan dapat memberikan contoh yang baik bagi anak. Sesi diskusi yang menyusul sebelum istirahat makan siang diajukan pada Inge, Iqrak, dan Mini, menyinggung isu antara lain terkait perundungan dari murid ke guru, serta kasus korban yang memiliki trauma yang belum pulih dan termanipulasi persetujuannya. Setelah makan siang, aktivitas terakhir dalam sesi pelatihan ini adalah simulasi permainan peran atau roleplay terkait pencegahan sistemik perundungan. Peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok, di mana tiap kelompok diberikan satu skenario kasus perundungan. Peserta lantas diajak untuk berlatih menerapkan berbagai teknik pencegahan perundungan secara nyata. Kelompok penulis sendiri mendapatkan skenario perundungan fisik dan verbal dalam konteks sekolah setaraf SMP dengan asrama, di mana korban mendapatkan kekerasan dari teman sebayanya akibat adanya perebutan di kalangan siswa untuk mengakses ketersediaan kamar mandi dan sarapan di pagi hari. Sementara itu, kelompok-kelompok lain juga mendapatkan skenario berbeda, antara lain terkait perundungan psikososial dalam konteks perkuliahan di fakultas dan perundungan cyberbullying dalam konteks penyebarluasan video. Setelah berdiskusi dan berlatih, setiap kelompok memeragakan skenario yang telah diberikan sekaligus menunjukkan resolusi yang ditawarkan untuk menangani komplikasi yang ada. Kegiatan pelatihan ditutup oleh review dan kesimpulan dari penampilan tiap-tiap kelompok oleh Dr. Agustin Kusumayati (Fakultas Kesehatan Masyarakat—FKM), Dr. Junaedi Saibih (Fakultas Hukum--FH), dan Dr. Ratna Djuwita (Fakultas Psikologi--FPsi) selaku fasilitator kegiatan permainan peran. Mereka menekankan adanya pengetahuan akan konteks tiap-tiap kasus serta pendekatan komunitas dalam pencegahan sekaligus penanganan kasus perundungan. Ratna menunjukkan bahwa saksi atau bystander dapat berperan penting dalam mencegah terjadinya perundungan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk cepat tanggap melapor, melerai, mencegah sekiranya kita melihat adanya kasus kekerasan atau perundungan terjadi. Perlu dibangun komunitas yang ramah, saling menghargai, dan membangun jalinan pertemanan antar orang tua dalam konteks sekolah. Meskipun orang tua dapat membantu sekolah, orang tua juga tidak seharusnya ikut campur secara pribadi dalam kebijakan sekolah. Penanganan hanya pada korban dan pelaku tidak dapat menyelesaikan perundungan--hanya kita bersama dapat menghentikan budaya dan kondisi yang memungkinkan terjadinya perundungan. Pusat Forensik sendiri telah dua kali mengadakan pelatihan terkait bullying sebelum kesempatan ini, yaitu berupa pelatihan daring pada Maret 2023 dan diskusi strategis pada Februari 2024. Melalui inisiasi pelatihan-pelatihan terkait isu perundungan ini diharapkan para guru, dosen, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam lembaga pendidikan dapat memahami urgensi kasus perundungan serta, pada saatnya, menerapkan penangannya dengan layak dalam lingkungan masing-masing. Diperlukan pendekatan proaktif dalam pencegahan dan penanganan perundungan di lingkungan pendidikan, sehingga keterlibatan semua pihak sangat penting untuk memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi siswa agar mereka dapat berkembang secara akademis, non-akademis, dan memaksimalkan potensinya masing-masing secara ideal. (Faiz Abimanyu Wiguna) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |