ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku
  • Call for Paper JP108

Seruan Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Pembahasan dan Pengesahan RUU PKS

3/10/2020

 
Kamis (1/10), Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke Prolegnas Prioritas 2021--yang akan dibahas pada Oktober ini.   Dalam penyampaian seruan tersebut masing-masing perwakilan masyarakat sipil memaparkan fakta persoalan kekerasan seksual dan mendesak pembahasan RUU ini di DPR.
 
Hingga saat ini, korban kekerasan seksual masih menghadapi jalan buntu karena berbagai kendala dalam sistem hukum, baik substansi, struktur, dan budaya hukum yang belum mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban kekerasan seksual. Sistem pencegahan, penanganan, dan ketersediaan layanan dukungan lainnya belum optimal melindungi perempuan dan kelompok yang rentan menjadi korban karena tidak ada payung hukum yang memadai. Di sisi lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 DPR-RI. Hal inimenimbulkan kekecewaan bagi masyarakat sipil karena makin tertundanya payung hukum yang sangat dibutuhkan korban.
 
 
Fauzi (perwakilan Forum Pengada Layanan/FPL)  menyatakan bahwa RUU PKS penting bagi seluruh warga negara Indonesia.  Fauzi menambahkan, berdasarkan Catatan FPL tahun 2017-2020 dari 5167 Kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima FPL,  sekitar 2000 kasus adalah kasus  kekerasan seksual. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 9 jenis kekerasan yang telah dirumuskan dalam RUU PKS--yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual-- dialami oleh kelompok perempuan. “Hingga saat ini para korban sulit mendapatkan keadilan dan  tidak jarang di antara mereka (para korban) malah dipersekusi, distigma, didenda, dan dikriminalisasi,” pungkas Fauzi.
 
Revita Alvi (Sekretaris HWDI Nasional), memparkan berbagai bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pemaksaan kontrasepsi yang dialami kelompok disabilitas. “Kelompok difabel tidak mendapatkan perlindungan hukum, saat ini akses layanan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas masih sangat terbatas, ini yang membuat semakin lemahnya perlindungan hukum bagi mereka,” jelasnya.
 
Haryanto (perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI) menyatakan bahwa RUU PKS sangat dibutuhkan perempuan PRT migran dan perlu dijadikan prioritas legislasi saat ini. Dari hasil pemetaan SBMI, Haryanto menjelaskan bahwa ada 3 kluster kekerasan seksual yang dialami oleh PRT migran, yakni kekerasan sebelum keberangkatan, saat bekerja, dan saat kembali ke negara asal.
 
Menurut Haryanto, PRT migran yang mayoritas adalah perempuan ini mengalami beragam bentuk kekerasan saat pengurusan dokumen dan di bandara. Lebih jauh, berdasarkan data dampingan SBMI masih terjadi kekerasan fisik dan seksual seperti perkosaan--baik oleh majikan maupun warga negara asing di tempat kerja PRT migran. Tragisnya korban perkosaan justru mendapatkan stigma dari keluarga, petugas desa, dan masyarakatt.  Saat kembali ke negara asal perempuan PRT migran juga sering mengalami kekerasan  di perjalanan. “Oleh sebab itu  SBMI melihat bahwa RUU PKS akan memberikan keadilan bagi korban, adanya perspektif penangan yang baik, adanya layanan khusus korban KS di luar negeri,” tutur Haryanto.  
 
Nur Khasanah (Perwakilan JALA PRT), menyatakan bahwa perempuan PRT juga banyak yang mengalami KS di tempat kerja--baik oleh majikan laki-laki dan anak laki-laki. “Banyak ditemui kasus bahwa  kawan PRT mendapatkan pelecehan seksual dari majikan tetapi ia tidak berani mengadukan adanya relasi kuasa dan takut mengadukan karena tidak adanya saksi,” jelas Nur.
 
Mery Christin (wakil Perempuan AMAN, Sulawesi Tengah), menyatakan bahwa penanganan kekerasan seksual  di Sulawesi Tengah masih mengalami jalan buntu sebab penyelesaian kasus hanya pada tahap lembaga adat. Sementara menurutnya, penyelesaian adat tidak memberikan keadilan bagi korban.  Tantangan lain yang dihadapi oleh kelompok Perempuan AMAN adalah keterhambatan untuk akses hukum dan informasi seputar kekerasan seksual.
 
Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), melihat bahwa penting agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini segera dibahas dan disahkan sebab angka kekerasan seksual terus meningkat begitu juga modus kekerasannya yang terus berkembang.  Dalam kesempatan tersebut Mike mengajak kita  semua untuk membuat narasi tandingan bagi gagasan-gagasan yang menolak RUU ini. “Kehadiran RUU ini penting untuk menjamin rasa keamanan bagi semua,” tegas Mike.
 
Fanda Puspitasari (wakil organisasi anak muda), menyatakan bahwa  kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja. Pada kelompok muda,  kekerasan banyak terjadi di media sosial, salah satunya berupa komentar cabul. Fanda memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan tingkat cyber crime meningkat dari tahun 2018 -2019, yaitu 257 kasus kekerasan siberdi tahun 2019. Kekerasan berbasis siber adalah model baru yang belum memiliki penanganan yang jelas.
 
Lebih jauh, Fanda memaparkan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi juga dialami kelompok muda. Namun sayangnya,  relasi kuasa dan ketidakberpihakan kampus pada korban, membuat banyak kasus KS yang tidak direspons secara serius.  “Persoalan lain yang banyak dihadapi oleh kalangan muda adalah kekerasan dalam pacaran. Melihat realitas yang ada maka kehadiran RUU PKS ini sangat penting bagi generasi muda,” tuturnya.
 
Valentina Sagala (Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan pendiri Institut Perempuan) mengatakan bahwa basis dari RUU ini adalah menuntut negara hadir untuk mencegah, mengatasi, dan memulihkan dampak kekerasan seksual, baik kepada korban, pelaku maupun masyarakat. Dengan demikian pengesahan RUU ini penting untuk menjamin keadilan bagi korban.
 
Dalam kesempatan tersebut, seluruh perwakilan kelompok menyatakan desakannya  agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan.  Menurut kelompok jaringan, selama RUU ini tidak disahkan, maka pelanggaran HAM terutama bagi korban kekerasan seksual akan terus terjadi dan angka kasus akan terus meningkat. RUU ini penting untuk semua sebab  tidak hanya perempuan yang bisa menjadi korban, tetapi juga anak  laki-laki dan semua orang. (Abby Gina)

RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah, dan Islam

3/10/2020

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Jumat (02/10) Cakra Wikara Indonesia (CWI) menyelenggarakan diskusi dengan tema "Membincangkan Urgensi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah, dan Islam" via aplikasi zoom. Acara ini menghadirkan Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena), dan KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) sebagai pembicara dan Dirga Ardiansa (Cakra Wikara Indonesia) sebagai moderator.
​
Anna Margret, selaku Direktur CWI dalam pengantarnya menyampaikan bahwa RUU Ketahanan Keluarga telah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk organsiasi masyarakat sipil, gerakan perempuan, dan pegiat HAM. Meski demikian, RUU Ketahanan Keluarga terus dibahas di legislatif.

“Dalam RUU ini, pembangunan ketahanan keluarga dibutuhkan untuk menghindari kerentanan keluarga yang disusun dalam rencana induk pemerintah pusat. Artinya dalam konteks ini negara diposisikan sebagai penanggung jawab secara hierarkis terhadap tata kelola keluarga,” jelas Anna.

Anna melanjutkan bahwa dalam sejumlah riset CWI sejak tahun 2017 tentang partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan di ranah legislatif, pemerintahan daerah, dan birokrasi ada persamaan pola terkait keluarga.  “Dari hasil wawancara dengan perempuan potensial di tiga ranah politik, kata ‘keluarga’ muncul sebagai sumber dukungan utama bagi perempuan, sementara lainnya merasa keluarga menjadi sumber tantangan dalam alokasi kerja domestik di dalam rumah,” jelas Anna.

Dengan demikian menurut Anna, dinamika yang terjadi di dalam keluarga memengaruhi perempuan dalam keputusan-keputusannya di ruang publik. Sebagai sebuah lembaga riset yang bergerak di isu hak asasi perempuan dan politik, CWI melihat ada urgensi untuk mengupas tuntas urgensi RUU Ketahanan Keluarga ini dalam tiga perspektif yakni hukum, sejarah, dan islam.

Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dalam paparannya menjelaskan secara detail persoalan pasal per pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga dengan lensa hukum kritis. Lensa tersebut memeriksa sekaligus menguji RUU tersebut dengan beberapa pertanyaan kritis yakni: Apa filosofi yang dipakai saat pembentukan suatu produk hukum? Apakah produk hukum mengakomodir prinsip-prinsip HAM? Bagaimana negara memposisikan perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat (jenis kelamin, ras, gender, ekonomi, budaya)? Apakah peletakan posisi hukum merugikan kelompok tertentu? Apakah produk hukum mengakomodir pengalaman yang beragam? Implikasi apa yang akan dialami perempuan Indonesia jika RUU ini disahkan?

Berangkat dari lensa hukum kritis, Lidwina Inge Nurtjahyo menemukan beberapa masalah dalam aspek pertimbangan. Pertama, RUU ini tidak merujuk pada peraturan sebelumnya  tentang keluarga. Kedua, RUU ini tidak menyebutkan salah satu persoalan kerentanan keluarga yakni kekerasan domestik. Ketiga, RUU ini tidak merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang perlindungan HAM yang mengusung anti diskriminasi dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW.

Pada pasal 1 butir 2 RUU Ketahanan Keluarga, menurut Inge ada kekeliruan logika bahasa hukum yakni dalam kata “perkawinan” dan “keluarga sedarah”. Menurut Inge, dalam konteks Indonesia, konsep ini tidak bisa diterapkan. Contohnya: 1) ketika seorang paman atau bibi yang mengasuh keponakannya dan menjadikannya keluarga; 2) banyak keluarga yang tidak lengkap (tidak terdiri dari ayah, ibu, dan anak). “Keragaman bentuk keluarga di Indonesia dinafikan dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, ada logika hukum yang locat,” jelas Inge.

Pada pasal 1 butir 5, terdapat inkonsistensi konsep keluarga dan adanya penyempitan makna keluarga yang sudah disebutkan pasal 1 butir 2. Dalam butir 5 disebutkan bahwa keluarga berkualitas dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah. Inge mengkritisi teks tersebut, sebab menurutnya ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan sangat beragam di Indonesia, yakni negara, agama, dan adat.

Lebih jauh, catatan kritis Inge yakni pada pasal 2 butir c yang menggunakan kata pencegahan sebagai asas. “Asas pencegahan adalah bahwa pembangunan ketahanan keluarga harus mengutamakan upaya pencegahan munculnya kerentanan keluarga. Hukum yang mengikat secara luas tidak boleh didasarkan pada asumsi,” jelas Dosen Fakultas Hukum UI tersebut.

Pasal-pasal lainnya yang dikritik oleh Inge yakni: 1) Pasal 9 tentang pengaturan psikologis dan emosi yang tidak dikaitkan dengan UU Kesehatan, UU PKDRT, dan UU Perlindungan Anak; 2) Konsep kemampuan anggota keluarga dalam pasal 9 yang hanya melingkupi perempuan, anak, dan lansia, tetapi tidak pada laki-laki yang diposisikan sebagai kepala keluarga. 3) Pasal 14 huruf c dinilai ambigu dan seharusnya ada pengaturan khusus terkait kekerasan seksual di ruang domestik secara umum.

Lebih jauh menurutnya, guna membangun ketahanan keluarga diperlukan pendidikan hak reproduksi dan pendidikan anti kekerasan seksual. Namun sayangnya konsep-konsep tersebut tidak termuat dalam RUU Ketahanan Keluarga. Menurut Inge, RUU tersebut juga terlalu ambisius mengatur semua hal termasuk menyoal data privasi keluarga yang memungkinkan dapat diakses pihak ketiga. Baginya, RUU tersebut bermasalah secara konseptual dan tidak mengakomodir keberagaman konteks kelaurga di Indonesia.

Dalam simpulannya, Inge menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan pengaturan ke ranah privat atas dasar asumsi kerentanan keluarga karena justru akan melahirkan pelanggaran HAM. “Kalau ada pelanggaran HAM seperti KDRT ya negara boleh masuk,” tegas Inge.

Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena) dalam pemaparannya menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga melanjutkan kembali ideologi pengibuan pasca orde baru. Menurutnya, kontrol negara terhadap keluarga dan tubuh perempuan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah dunia maupun Indonesia. “Pengaturan keluarga erat kaitannya dengan kekuasaan politik,” tegas Ruth.

Ruth menjelaskan bahwa kontrol negara terhadap keluarga bisa ditemukan dalam sejarah, khususnya di abad 20 pada masa fasisme Mussolini Italia dan Hitler di Jerman. Pada saat partai fasis tegak di italia, yang ditata paling pertama adalah keluarga--dengan menggunakan terminologi keluarga inti tradisional. Pada masa itu, perempuan dijadikan mesin untuk memperbanyak generasi baru partai fasis. Dengan memperbanyak populasi maka akan ada kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Pada masa itu negara juga membatasi pekerjaan perempuan dan dipaksa menikah cepat—jika pada umur tertentu perempuan belum menikah maka akan didenda.  

Tidak jauh berbeda dengan fasisme Italia, Ketika Hitler berkuasa di Jerman yang paling pertama ia lakukan adalah mempromosikan konsep keluarga tradisional, menerapkan pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Perempuan diharuskan melayani laki-laki dan memproduksi keturunan untuk mengamankan masa depan ras Arya.

Ruth menambahkan bahwa militer Jepang juga memobilisasi keluarga pada masa penjajahan di Indonesia. Mereka menerapkan ideologi pengibuan di tanah jajahan dengan melakukan pembagian kerja seksual yang eksploitatif terhadap perempuan. Laki-laki Indonesia berperan menyiapkan logistik perang dan perempuan membuat pakaian tentara Jepang. Sedangkan perempuan yang berlum menikah dijadikan Jugun Ianfu (sistem perbudakan seksual masa penjajahan Jepang).

Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan zaman penjajahan Jepang tersebut diadopsi oleh rezim otoritarian Orde Baru dalam rangka membangun kekuasaannya. Rezim Orde Baru melakukan depolitisasi partai politik dan organsiasi massa serta menata organisasi perempuan agar tidak aktif berpolitik. “Pada masa Orba perempuan diarahkan untuk mengatasi perkembangan populasi melalui program keluarga berencana dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS),” ungkapnya.

Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan di masa fasisme Italia, fasisme Jerman, penjajahan Jepang, dan Orde Baru berakar pada mitos adam hawa sebagai asal mula penciptaan manusia--yang kemudian melahirkan ideologi patriarki. Menurut Ruth, RUU Ketahanan Keluarga adalah wujud nyata dari ideologi pengibuan yang meletakkan segala akar permasalahan keluarga pada perempuan bukan pada fakta adanya ketimpangan gender.

Pada simpulannya, Ruth menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga: 1) sasarannya adalah mengontrol perempuan dalam praktik sebagai ibu untuk tugas-tugas pengasuhan; 2) tidak mengakui adanya sistem patriarki dan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam keluarga, termasuk kekerasan terhadap perempuan; 3) adanya regulasi penataan keluarga/perempuan menunjukkan adanya gejala fasisme yang akan bertarung dalam kekuasaan negara; 4) keluarga tidak perlu menjadi regulasi negara, apalagi menjadikannya pengarustamaan dalam kebijakan.

KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) dalam paparannya menjelaskan bahwa dalam konteks islam prinsip membangun ketahanan keluarga telah dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Secara umum, ia juga menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga juga menuai kritik dari para feminis muslim karena dinilai akan mengembalikan perempuan dalam ruang domestik. “Ada ideologi yang dipaksakan masuk di tengah-tengah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia dan dibangun atas dasar norma agama tertentu,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan tersebut.

Menurut Imam Nahe’I ada penyimpitan makna keluarga, pembakuan tugas-tugas domestik, potensi kriminalisasi anggota keluarga dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam islam, keluarga tidak dimaknai secara sempit. Ia menceritakan bahwa di masa Nabi, warga anshor dan muhajirin bagaikan sebuah keluarga besar yang saling mewarisi. “Di dalam islam juga dikenal adopsi. Misalnya ada seseorang yang menemukan anak di jalan, lalu diambil sebagai keluarga. Ini bagian dari keluarga juga yang diakui dalam islam,” pungkasnya.

Lebih jauh, Imam Nahe’I menjelaskan bahwa bangunan keluarga pada masa jahiliyah pra islam sangat diskriminatif dan eksploitatif terhadap perempuan. Pada masa itu: 1) perempuan dipilih; 2) perempuan dipaksa dinikahkan; 3) dalam perkawinan perempuan mirip seorang budak, ia harus tunduk suami tanpa batas; 4) istri diceraikan dan dirujuk tanpa batas dan tanpa persetujuan; 5) perkawinan adalah bentuk eksploitasi kemerdekaan perempuan.

“Sedangkan jika dilihat bangunan keluarga dalam perspektif islam, hal ini sangat jauh berbeda dan justru menjadikan pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh,” ungkap Imam Nahe’I. Pada masa setelah islam datang: 1) perempuan boleh memilih dan menentukan kapan dan dengan siapa menikah; 2) perempuan tidak boleh dipaksa menikah; 3) suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang adil/seimbang; 4) perceraian harus dengan alasan yang kuat dan rujuk harus dengan persetujuan istri; 5) perkawinan bertujuan membangun ketentraman jiwa dengan bekal cinta kasih, bebas dari perbudakaan, dan eksploitasi/kekerasan.

“Islam mengubah relasi kuasa perkawinan menjadi relasi kesalingan dan keseimbangan. Islam mengubah tujuan perkawinan dari eksploitasi menjadi sakinah dengan bekal kasih sayang, bahagia membahagiakan,” jelas Imam. Dalam ajaran islam, sebuah perkawinan harus meletakkan pilar-pilar mu’asyarah bil ma’ruf, taradhin, tasyawurin, husnu at-tafahum, tasamuh dan meletakkan prinsip-prinsip al-’adalah, at-tawazun al-mubadalah.

Imam Nahe’I menegaskan bahwa di dalam islam bukan hanya ridho laki-laki yang diutamakan tetapi justru ridho kedua belah pihak yakni laki-laki dan perempuan. “Dalam konteks Islam jika RUU Ketahanan Keluarga tidak menggunakan prinsip kebaikan, musyawarah, kesalingan, maka hanya akan melahirkan keluarga yang semu dan hakikatnya rapuh,” tutupnya. (Andi Misbahul Pratiwi)


Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Lingkungan yang Berkelanjutan

4/8/2020

 
Jakarta (30/7), INFID menyelanggarakan webinar dengan tema Perlindungan Hak Bagi Pekerja Perempuan dan Lingkungan yang Berkelanjutan. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi perempuan di tengah situasi perubahan iklim. Diskusi tersebut menghadirkan  Mualimin Abdi (Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM), Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), Masnuah (Ketua Puspita Bahari Demak), dan Andi Muttaqien (Deputi Direktur Advokasi Elsam) sebagai narasumber.  Diskusi tersebut dimoderatori oleh Listyowati (Ketua Kalyanamitra).
 
Dalam kesempatan tersebut Masnuah memaparkan tentang pengalamannya dan komunitas nelayan perempuan terkait diskriminasi yang dialaminya dalam kerja-kerja sektor perikanan. Menurutnya, perempuan nelayan terlibat dalam seluruh rangkaian produksi di sektor perikanan mulai dari persiapan sebelum melaut, melaut, penangkapan, penjualan, pengolahan dan lain sebagainya. Dalam kerja-kerja tersebut perempuan nelayan mengalami kerentanan, salah satu di antaranya adalah kecelakaan kerja yang mengakibatkan luka-luka dan bahkan berisiko kematian di laut.  Mengingat besarnya keterlibatan perempuan dalam sektor ini menurut Masnuah penting agar kerja perempuan diakui dan dilindungi baik oleh negara dan oleh masyarakat. Salah satu bentuk pengakuan adalah dengan pemberian kartu nelayan bagi perempuan nelayan. Menurutnya, dengan adanya kartu tersebut, nelayan perempuan seperti halnya nelayan laki-laki mendapatkan jaminan dan perlindungan sosial dari negara.  
 
Masnuah memaparkan bahwa kerja perempuan nelayan hari-hari ini menjadi semakin sulit dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Menurutnya perubahan cuaca secara ekstrem mengakibatkan ombak besar tak terprediksi sehingga berdampak langsung pada berkurangnya hasil tangkapan. Implikasinya pada perempuan adalah keluarga nelayan semakin terlilit hutang, banyak anak nelayan putus sekolah, beban perempuan semakin berlapis dan lain sebagainya. Menurut Masnuah saat ini banjir rob menjadi semakin tinggi dan bahkan ada dua desa pemukiman nelayan di Demak telah rata dengan lautan.

Atnike Sigiro dalam kesempatan tersebut memaparkan sejumlah temuan dari riset-riset Jurnal Perempuan terkait dampak perubahan iklim terhadap perempuan.  Atnike menyatakan bahwa bila kita membahas tentang perubahan iklim penting untuk membicarakan juga soal tanggung jawab korporasi. Atnike mengungkapkan, “Operasi besar korporasi yang melibatkan pembakaran hutan, residu pabrik, dan lainnya, menyumbang produksi karbon secara besar-besaran dan membawa dampak perubahan iklim yang lebih cepat.” Seperti yang diungkapkan Masnuah, Atnike menyatakan bahwa perubahan iklim menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, rusaknya lahan pertanian, hilangnya keragaman hayati dan lain sebagainya.  Atnike menuturkan bahwa setidaknya ada tiga dampak perubahan iklim bagi perempuan yaitu: tanggung jawab pengasuhan semakin berat sementara penghasilan keluarga semakin sulit;  perempuan semakin rentan terhadap kemiskinan yang disebabkan oleh minimnya hasil produksi dan hilangnya lapangan kerja berbasis pertanian/perikanan; dan meningkatnya kerentanan peremuan terhadap kekerasan di dunia kerja.   Atnike melihat bahwa isu ketidakadilan gender semakin diperparah dengan kondisi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.  

Bisnis berbasis HAM sudah menjadi perhatian global saat ini, hal ini terbukti dari adanya berbagai konvensi internasional yang mengatur tentang bagaimana bisnis harus memerhatikan aspek HAM dan kelestarian  lingkungan hidup.  Guna memastikan berjalannya bisnis yang bertanggungjawab pada hak asasi manusia, pemerintah mendukung pengimplementasian UNGPs on BHR di Indonesia. Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyatakan bahwa dalam upaya meningkatkan pemahaman bisnis dan HAM, Kemenkumham melakukan sejumlah pelatihan dan membuat modul tentang bisnis dan HAM bagi aparatur pemerintah (lintas kementerian).  Tujuannya adalah agar bisnis berbasis hak asasi manusia semakin dipahami dan diimplementasikan.

Lebih jauh, menurut Mualimin, Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang melakukan pembahasan rancangan Aksi HAM untuk RANHAM 2020-2024, yang memiliki empat kelompok sasaran, yakni perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas. Pembahasan ini dilakukan bersama dengan berbagai kementerian/lembaga terkait dan juga Sekretariat Bersama Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.  Ia memaparkan bahwa Rancangan Aksi HAM akan memasukan pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai salah satu sasaran strategisnya, yaitu meningkatnya akses perempuan dalam situasi khusus terhadap pelayanan publik dan penghidupan yang layak, seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan peluang usaha. Selain itu, saat ini juga sedang didiskusikan mengenai posibilitas bantuan keuangan mandiri bagi perempuan kepala keluarga pelaku UMKM atau mengembangkan kebijakan untuk mempromosikan dan mendorong kewirausahaan perempuan. (Abby Gina)

Perjuangan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Korban

4/8/2020

 
Jakarta (30/7), Rumah Kebangsaan bekerja sama dengan Magdalene mengadakan diskusi dengan tema “Perjuangkan RUU PKS, Demi Korban!”. Diskusi yang dilakukan secara daring ini menghadirkan empat pembicara yaitu; GKR. Hemas (Kaukus Perempuan Parlemen), Lengga Pradipta (Peneliti Kependudukan LIPI), Rena Herdiyani (Wakil Ketua Bidang Keorganisasian Kalyanamitra), dan Dewi Komalasari (Koordinator Penelitian dan Pengembangan Jurnal Perempuan).
​
Dalam pemaparannya, GKR. Hemas menyatakan bahwa Kaukus Perempuan dalam merespons situasi terkini advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tetap memiliki komitmen tinggi untuk mendorong pembahasan RUU PKS. Ia menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual yang kian meningkat harus menjadi dorongan untuk setiap anggota dewan, tidak hanya perempuan, untuk melakukan pembahasan RUU ini segera. Masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan agar RUU PKS menjadi perhatian banyak orang dan dapat dibahas secepat mungkin. Kaukus Perempuan juga berharap masyarakat sipil harus terus memberikan tekanan kepada pemerintah maupun DPR agar RUU yang melindungi setiap orang dari kekerasan seksual segera dibahas dan disahkan.

Lengga Pradipta menjelaskan bahwa struktur peran laki-laki dan perempuan pada masa sekarang telah mengalami pergeseran ke arah yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan perempuan yang berkiprah di ranah global atau nasional dan tidak selalu terkait urusan domestik. Dengan berbagi peran, menjadi kunci untuk mendapatkan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menerus melakukan advokasi bahwa berbagi peran bukan berarti “merebut” tanggung jawab dan mengubah perspektif masyarakat bahwa berbagi peran antara laki-laki dan perempuan bukan hal yang tabu atau dilarang. Menurut Lengga, mandeknya pembahasan RUU PKS diakibatkan karena kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen yang berada dalam posisi-posisi yang strategis pengambil keputusan. “Padahal dilihat dari proporsi jumlah penduduk Indonesia hampir mecapai 270 juta, dan penduduk perempuan persentasenya adalah sekitar 49,75%, yang jumlahnya hampir sama dengan laki-laki,” jelasnya. Sehingga penting untuk mengakomodir kepentingan perempuan, khususnya terkait pemenuhan kesetaraan dan keadilan gender.  

Selanjutnya, Rena Herdiyani menyatakan bahwa RUU PKS harus segera disahkan, mengingat kasus kekerasan seksual semakin banyak dan beragam bentuknya. Ia menyebutkan bahwa menurut data SIMFONI pada Januari 2020 sampai 19 Juni 2020, tercatat ada 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki. Kemudian, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019.

Lebih jauh menurut Rena, masih ada kesenjangan hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual secara substansi, struktur, dan kultur. Ia berkaca pada pengaturan terkait kekerasan seksual yang tercantum dalam aturan perundang-undangan di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam tataran penanganan kasus, Rena menjelaskan bahwa sistem pembuktian masih berlum berpihak pada korban, tidak sensitif, dan tidak memperhitungkan pengalaman korban. Ditambah lagi dengan sikap aparat penegak hukum terhadap korban dipengaruhi oleh budaya patriarki, sehingga dalam berbagai kasus kekerasan seksual, korban kerap kali disalahkan kembali atau reviktimisasi.  Sebagai rekomendasinya, Reni Herdiyani menyampaikan bahwa Badan Legislatif harus memastikan RUU PKS masuk program legislasi nasional 2021, memastikan prinsip dan substansi yang diusulkan oleh masyarakat sipil dapat diakomodir, dan menyosialisasikan RUU PKS yang mengedepankan kepentingan korban ke masyarakat agar bersama-sama mendukung dan mengawal pembahasan RUU tersebut. (Octania Wynn)

Seruan Menghapuskan Kekerasan Seksual Di Tengah Pengukuhan Kaukus Perempuan Parlemen RI

27/7/2020

 
Pada Kamis (23/7) bertempat di Ruang Delegasi MPR RI, Jakarta, Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani memimpin pengucapan sumpah bagi Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) periode 2020-2024. Kegiatan dihadiri oleh Presidium KPPRI periode 2014-2019, Koordinator Maju Perempuan Indonesia dan juga Ketua Komnas Perempuan serta Presidium dan Pengurus KPPRI Periode 2020-2024. Selain disiarkan secara langsung melalui platform kanal Youtube Nusantara TV dan juga Kaukus Perempuan Parlemen. Kegiatan tersebut juga dihadiri sekitar 100 orang undangan secara daring melalui platform digital Zoom. Undangan yang hadir mewakili berbagai kalangan yakni perwakilan negara sahabat seperti Singapore dan Myanmar; Duta Besar RI di berbagai negara seperti Argentina, Polandia, Slovakia dan Italia/Siprus/Malta; perwakilan Kementerian/Lembaga, seperti KPPPA, Komnas Perempuan, KPAI; organisasi masyarakat sipil seperti KOWANI, Aisyiyah; perwakilan partai politik seperti KPPI, KPPG; dan pegiat di isu perempuan dan juga pemilu serta dari kalangan media.

Kepengurusan KPPRI dipimpin oleh Presidium yang merupakan perwakilan dari dua institusi parlemen DPR dan DPD. Presidium KPPRI Periode 2020-2024 terdiri dari Diah Pitaloka S.Sos, MSi (FPDIP), Dewi Asmara S.H, M.H (FPG), Susi Marleni Bachsin S.E, M.M (FGERINDRA), Dr. Badikenita Sitepu S.E, M.Si (DPD/Sumut) dan Prof. Dr. Sylviana Murni S.H., M.Si (DPD/DKI Jakarta). Dalam pengukuhan tersebut, berbagai pihak yang hadir secara fisik maupun yang menghadiri secara daring memberikan ucapan selamat dan juga dukungan mereka terhadap KPPRI, khususnya dalam mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), termasuk salah satunya yang disampaikan oleh GKR. Hemas, yang menyampaikan pentingnya bagi KPPRI untuk mengawal RUU PKS dan RUU Pemilu yang kembali dibahas.

Dalam pidato sambutannya, Ketua Presidium KPPRI Diah Pitaloka menyampaikan bahwa sejak Kongres Perempuan I hingga saat ini perempuan Indonesia masih mengalami persoalan yang sama; tingginya angka kematian ibu, persoalan gizi, perkawinan paksa, dan kekerasan terhadap perempuan. Di bidang pendidikan, ekonomi dan keterwakilan, perempuan juga masih banyak mengalami kendala. Untuk itu, menurut Diah KPPRI perlu mendorong terjadinya sinergi dalam pembuatan kebijakan dan menyatukan semangat untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berkeadilan. Pada akhir sambutannya, Diah juga menyerukan ajakan kepada segenap anggota KPPRI untuk berjuang mengesahkan RUU PKS.

Pengukuhan KPPRI yang dilakukan bertepatan dengan Hari Anak Nasional juga menjadi pengingat untuk menunjukkan komitmen dalam melindungi anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan.  Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan bahwa KPPPA siap untuk memantau dan bersama-sama mewujudkan RUU PKS untuk melindungi perempuan dan anak Indonesia dari kekerasan. Seruan serupa juga disampaikan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani.

Ucapan selamat dan dukungan juga disampaikan oleh menteri-menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam ucapan selamatnya yang disampaikan melalui rekaman video menyebutkan bahwa dalam Laporan Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis dalam Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati peringkat ke 85 dari 153 negara. “Kementerian Keuangan selama ini telah mendukung kesetaraan gender, salah satunya melalui pengarusutamaan gender dalam penganggaran negara,” ujarnya. Sri Mulyani juga menyampaikan harapannya agar pengukuhan KPPRI dapat memberi tambahan energi dan inspirasi bagi  perempuan di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. “Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dapat memperkaya dan mewarnai pembuatan kebijakan. Kaukus perempuan berperan sebagai motor penggerak di parlemen,” ujar Sri Mulyani.  

Harapan senada juga disampaikan Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah, yang berpesan agar KPPRI menjaga komitmen sebagai wadah PUG di parlemen. “Tiada demokrasi sejati tanpa perwakilan perempuan,” pungkasnya.
​
KPPRI yang didirikan pada 19 Juli 2001 merupakan wadah konsolidasi lintas fraksi dan lintas komisi bagi perempuan anggota parlemen Indonesia baik yang berada di DPR RI maupun DPD RI. KPPRI memiliki visi untuk akselerasi demokrasi di Indonesia yang diimplementasikan dalam misi meningkatkan partisipasi perempuan dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik; mengupayakan agar seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan pembangunan mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan serta permasalahan perempuan dan laki-laki secara seimbang dan adil. Misi KPPRI adalah untuk meningkatkan akses dan partisipasi perempuan dalam setiap tahapan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang berwawasan gender, termasuk kebijakan anggaran yang berwawasan gender. Selain presidium, terdapat pula struktur lain seperti sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal, dewan pertimbangan, dewan pakar dan divisi-divisi yang menaungi bidang-bidang tertentu. (Dewi Komalasari).

Orasi Terbuka dan Pembacaan Surat Dukungan Terhadap RUU P-KS

22/7/2020

 
Picture
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) lahir sebagai respons  atas tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia.  Keberadaan RUU P-KS adalah sebuah pembaruan hukum yang sangat penting sebab memiliki ketentuan yang melindungi korban. RUU ini menjadi sangat penting untuk diundangkan sebab berdasarkan fakta dan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan terlihat bahwa dalam 12 tahun terakhir angka kasus kekerasan seksual yang terus meningkat hingga 792% atau hampir delapan kali lipat. Angka ini bahkan masih merupakan fenomena gungung es, artinya masih jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan, salah satu alasannya adalah belum adanya payung hukum yang mengakomodasi perlindungan dan pemulihan bagi korban. RUU P-KS sendiri telah masuk prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Akhir bulan Juni lalu, RUU P-KS malah dikeluarkan  dari Daftar Prolegnas RUU Prioritas 2020 dengan alasan bahwa pembahasan RUU P-KS “agak sulit dibahas”. Padahal berbagai pengalaman sulitnya proses hukum bagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa RUU ini sangat penting untuk segera diundangkan.

Sebagai respons atas dikeluarkannya RUU P-KS dari daftar prolegnas prioritas tahun 2020, Infid bersama dengan berbagai kelompok masyarakat mengajukan surat terbuka untuk presiden dan ketua DPR untuk menuntut tanggung jawab negara dalam memastikan terpenuhinya perlindungan korban dan keadilan bagi korban. Menindaklanjuti surat terbuka untuk Presiden RI dan Ketua DPR-RI, Infid menginisiasi kegiatan Orasi Terbuka Pembacaan Surat dukungan terhadap RUU P-KS. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Atnike Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dan orasi disampaikan oleh perwakilan kelompok masyarakat yaitu; Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil, Perwakilan Sineas, Perwakilan Musisi, Perwakilan Komika, Perwakilan Jurnalis, Perwakilan Akademisi, Perwakilan Tokoh Agama, Perwakilan Mahasiswa Indonesia di Australia.

Dalam kesempatan tersebut Alissa Wahid selaku Koordinator Jaringan Gusdurian membuka orasi dengan menarasikan beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi dan menimpa anak perempuan di Indonesia, dalam kasus tersebut para korban tidak dapat mengakses keadilan sebab tidak ada payung hukum yang mengatur pemulihan dan memberi keadilan bagi mereka. Alissa menyatakan bahwa RUU P-KS ini penting bagi kita semua khususnya bagi anak perempuan.
Ati Nurbaiti, perwakilan jurnalis menyatakan bahwa untuk kepentingan masyarakat luas dan terutama jurnalis yang sering menerima kekerasan seksual saat bekerja. Ia menambahkan bahwa, AJI (Asosiasi Jurnalis Indonesia) juga mendukung percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS, sebab keberadaan RUU ini  penting untuk memberi perlindungan bagi jurnalis yang rentan terhadap kekerasan seksual saat melakukan pekerjaannya.  Menurut Ati, jika RUU P-KS disahkan, RUU ini dapat menjadi bentuk komitmen pemerintah untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia.

Melani Subono perwakilan artis dan juga penyintas kekerasan seksual menyatakan bahwa ia berkomitmen untuk terus mendukung proses percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS ini. Bagi Melanie, ia tidak akan mendapat rasa tenang dan terlindungi jika pemerintah tidak kunjung mengesahkan regulasi yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual .

Anggia Erma Rini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU, sebagai perwakilan tokoh agama dalam orasnya menyampaikan dukungan terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS. Anggia menyampaikan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual sangat merugikan korban, bahkan biasanya diselesaikan melalui jalan damai yang sangat tidak berkeadilan. Dalam Munas PBNU Tahun 2019 dinyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan kegiatan yang menyalahi syariat karena didasarkan pada pemaksaan.

Nur Iman Subono selaku pengajar di FISIP Universitas Indonesia dan sekaligus perwakilan dari akademisi menyampaikan kekecewaan dan kemarahannya pada pernyataan pejabat publik yang menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari prolegnas karena pembahasannya agak sulit. Menurut Boni pernyataan tersebut menandakan tidak adanya empati terhadap pengalaman korban kekersan seksual. Boni juga menyayangkan berbagai pandangan umum di masyarakat yang melihat perjuangan pengesahan RUU P-KS sebagai perjuangan untuk kepentingan perempuan semata. RUU P-KS bukan tentang pertempuran kepentingan antara laki-laki dan perempuan dan bukan pula gerakan anti laki-laki.  Boni menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki juga. Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan RUU P-KS merupakan kepentingan bersama dan harus diperjuangkan dan dikawal bersama. Pada akhir orasinya Boni menyatakan bahwa dalam melihat keberadaan RUU ini tidak ada posisi netral, menjadi bagian dari silent majority adalah sebuah sikap pengkhianatan.

Terakhir, orasi disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Indonesia di Australia yaitu Irine H Gayatri yang sedang belajar di Monash University. Baginya pengundangan RUU PKS sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud komitmen negara untuk menghapuskan kekerasan seksual. 
​
Acara ditutup dengan pembacaan surat terbuka lintas generasi yang diwakili oleh Siti Musdah, Mulia sebagai Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace. Selanjutnya surat terbuka dibacakan oleh Olin Monteiro selaku perwakilan Arts for Women dan Lintas Feminis Jakarta. (Abby Gina)

Jubaedah 13: Bagaimana Kabar RUU P-KS Kini dan Nanti?

13/7/2020

 
Picture
Jubaedah merupakan acara yang diinisiasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai beragam isu kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat serta mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Diskusi kali ini mengangkat tema “Bagaimana Kabar RUU P-KS Kini dan Nanti?”. Diskusi ini menghadirkan dua pembicara yaitu; Neng Eem Marhamah Zulfa, S.Th.I, MM (Anggota Badan Legislatif), dan Asnifriyanti Damanik, SH. (LBH Apik). Diskusi ini dilakukan mengingat kasus kekerasan seksual makin marak terjadi, namun RUU P-KS ditarik dari Prolegnas Prioritas oleh Komisi 8 DPR RI.

Dalam pemaparannya, Asnifriyanti Damanik selaku perwakilan dari LBH Apik, memaparkan bahwa RUU ini sudah melalui perjalanan yang lumayan panjang. “Proses sudah dimulai sejak tahun 2012 untuk mengumpulkan data kekerasan seksual dan kajian yang menghasilkan 15 bentuk kekerasan seksual yang baru, jauh berbeda dengan rumusan KUHP yang hanya mengenal 2 bentuk kekerasan seksual,” jelas Asnifriyanti. Namun RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas pada tahun 2017 ini harus ditarik dari pembahasan Prolegnas Prioritas pada 30 Juni 2020 lalu.
 
Lebih lanjut, Asnifriyanti Damanik menjelaskan bahwa RUU ini harus segera dibahas dan disahkan mengingat tiga urgensi yang melatarbelakanginya yakni; landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam landasan filosofis, RUU P-KS selaras dengan Pancasila di mana Negara dan Agama sejatinya memberikan pelindungan bagi orang-orang yang lemah. Ditinjau dari landasan sosiologis, kasus kekerasan seksual mucul setiap harinya dan Negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi. Berbeda dengan dua landasan di atas, dari sisi yuridis, belum ada satupun peraturan yang komperhensif dan berprespektif pada korban kekerasan seksual.
 
“Setelah dikeluarkannya RUU P-KS dari Prolegnas Prioritas, Koalisi masyarakat sipil sedang menyuusn kembali Naskah Akademik dan draft RUU walaupun tidak mengubah secara keseluruhan, agar dalam proses advokasinya lebih memudahkan,” ungkap Asnifriyanti. Dalam kesimpulannya, Asnifriyanti Damanik mengatakan bahwa pengesahan RUU P-KS adalah kebutuhan yang mendesak, sebab kasus kekerasan seksual semakin banyak.
 
Neng Eem Marhamah Zulfa dari Badan Legislatif melanjutkan bahwa dalam pembahasan RUU P-KS ada beberapa persoalan. “Secara keseluruhan DPR RI dan Baleg bukannya tidak setuju dengan substansinya, namun hal ini disebabkan oleh situasi yang terjadi sekarang, dan terbenturnya soal judul, definisi kekerasan seksual, dan aturan mengenai pemidanaan. Dengan dikeluarkannya dari Prolegnas Prioritas, koalisi masyarakat sipil yang memiliki concern harus mulai lagi berkonsolidasi dan membentuk satu pemahaman bersama dengan seluruh pihak pengambil keputusan. Tidak hanya Komisi 8, tetapi dalam cakupan yang lebih luas,” jelas Neng Eem Zulfa.
 
Ia menjelaskan bahwa pada dasarnya RUU ini tidak hanya untuk memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, tetapi juga untuk memberikan kesadaran hukum dan budaya bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan kemanusiaan. (Octania Wynn)


Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

30/6/2020

 
Picture
Jakarta (26/7), International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengadakan diskusi yang mengangkat tema “Bentuk Tanggung Jawab Negara terhadap Perlindungan Perempuan dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri telah masuk Prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Di tahun 2020, RUU PKS ini juga masuk dalam agenda Prolegnas periode ini.  Diskusi ini adalah sebuah respons atas kebutuhan akan hadirnya regulasi hukum yang responsif terhadap persoalan isu kekerasan seksual, khsususnya bagi perempuan. Diharapkan agar pembahasan dan pengesahan RUU PKS dapat segera terlaksana.
 
Dalam pidato kuncinya, Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA, per awal Januari 2020 hingga 19 Juni 2020 terdapat 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan maupun laki-laki. Sejalan dengan data SIMFONI PPA, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2019 memperlihatkan tingginya jumlah KS yang terjadi pada perempuan di Indonesia.  Menteri PPPA menyatakan keprihatinannya, sebab tingginya angka tersebut adalah fenomena gunung es, artinya angka actual kekerasan seksual terhadap perempuan dapat jauh lebih besar daripada yang terlaporkan.  
 
Menteri PPPA menyatakan bahwa korban Kekerasan Seksual (KS) masih sering mendapatkan stigma dan perlakuan tidak adil dari masyarakat sehingga banyak di antara mereka enggan melaporkan dan/atau menyelesaikan persoalannya tanpa melalui jalur hukum. Padahal dampak KS terhadap perempuan amatlah kompleks sehingga membutuhkan penanganan dan respons yang serius.  
 
“Kekerasan Seksual memiliki karakteristik dan kekhususan secara normatif sehingga tidak dapat disamakan dengan tindak pidana lainnya. Tidak hanya itu dari sisi penegakan hukum, perlu adanya mekanisme pendampingan khusus bagi korban KS mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, persidangan hingga pasca-persidangan agar tidak menimbulkan trauma bagi korban,” tutur I Gusti Ayu Bintang Darmawati. 
 
Berdasarkan fakta dan data tersebut, menurut Menteri PPPA penting agar ada optimalisasi pencegahan dan penanganan terhadap KS perlu dilakukan. Ia menegaskan bahwa penting adanya sistem yang menjamin hak korban, mengedepankan kebenaran, keadilan dan pemulihan serta mencegah keberulangan kasus. Dalam pidato kuncinya, Menteri PPPA menyatakan komitmennya pada segala bentuk pencegahan dan penangan KS terhadap perempuan dan anak.
 
Diksusi tersebut menghadirkan empat pembicara yaitu; Vennetia R Danes (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA), Taufik Basari (Anggota DPR RI Fraksi Nasdem), Valentina Sagala (Founder Institut Perempuan) dan Wiendy Hapsari (Kepala Litbang SINDO Media Moderator: Rizka Antika (INFID).
 
 
Vennetia Danes  menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) merupakan terobosan hukum dalam mengakomodir kebutuhan dan kepentingan korban. Menurut dia, hukum acara pidana yang ada saat ini hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP masih terbatas. Sehingga banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum.
 
“Konstruksi sosial masyarakat Indonesia sebagian besar masih menggunakan paradigma patriarki, perempuan sering kali tidak didengar yang berimplikasi bagi perempuan korban kekerasan seksual justru direviktimisasi masyarakat,” tutur Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA.
 
Vennetia menyatakan bahwa kekerasan seksual yang selalu dikaitkan dengan wacana moralitas menjadi salah satu hambatan terbesar dalam upaya korban memperoleh hak atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. Kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidak banyak masyarakat yang memahami dan peka persoalan ini, karena dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Oleh sebab itu, perlu adanya pembaruan hukum. Vennetia menambahkan bahwa diusulkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya perombakan sistem hukum untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan.
 
Taufik Basari, anggota DPR RI Fraksi Nasdem juga menyampaikan bahwa RUU PKS merupakan produk hukum yang sangat dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual. Sayangnya, pengusulan RUU ini memang menghadapi banyak tantangan. Pasalnya  tidak banyak partai yang mau mengusung RUU PKS saat ini. Taufik menungungkapkan bahwa pada periode sebelumnya, RUU PKS menjadi komoditias politik sehingga ia tergeser dan gagal diundangkan pada periode tersebut. Pada periode ini ia mendorong agar RUU ini menjadi inisiatif dari DPR dan menjadikan RUU ini sebagai isu Prolegnas prioritas.  Saat ini,  Menurut Taufik, RUU P-KS masih menggantung, karena Komisi VIII yang semula menjadikan RUU P-KS sebagai usulan komisi, menyatakan keberatan. Ia menyatakan harapannya agar pembahasan RUU ini dapat dilakukan di Baleg atau di PANSUS, karena menurutnya RUU ini merupakan lintas isu yang berbicara tentang perempuan, hukum dan kesehatan.
 
Dalam kesempatan tersebut, Valentina Sagala, Pendiri Institut Perempuan memberikan refleksi dan menyoroti tantangan proses pembahasan RUU PKS. Valentina menyampaikan, bahwa tahun lalu sempat terjadi kompleksitas isu pada substansi RUU PKS, dimana ada beberapa terminologi yang sengaja dipolitisir oleh pihak kontra. Menurut Valentina, pada substansi RUU PKS seringkali isu gender dikaitkan dengan muatan luar negeri yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia. Padahal sejak 24 Juli 1984, Indonesia telah mengadopsi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan /CEDAW.
 
Valentina juga menjelaskan, bahwa kehadiran negara dalam pencegahan kekerasan seksual terlihat melalui pasal-pasal pemidanaan yang terdapat dalam RUU PKS. Sebagai penutup Valentina menegaskan, bahwa tantangan untuk pengesahan RUU PKS juga datang dari kasus-kasus kekerasan seksual yang berasal dari adat budaya masyarakat serta kasus online.
 
Pembicara terakhir pada diskusi ini adalah Wiendy Hapsari, Kepala Litbang SINDO Media. Wiendy menyampaikan bahwa media memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku masyarakat lewat informasi dan edukasi. Menurut Wiendy, Media juga dapat berperan dalam pencegahan kekerasan seksual dengan memberikan porsi besar bagi pemberitaan yang mengangkat tentang isu pencegahan kekerasan seksual.
 
Diskusi ini dengan demikian mendorong untuk segera diundangkannya RUU PKS  sebagai wujud tanggung jawab negara terhadap Perlindungan Perempuan. RUU ini menjadi amat penting sebab diharapkan mampu melindungi perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang. (Abby Gina)

Pemerintah Harus Fokus Melindungi Kelompok Rentan di Tengah Pandemi Covid-19

15/4/2020

 
PictureSumber: shutterstock.com
Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19) pada Selasa (14/4) mengadakan kegiatan siaran pers yang dilakukan melalui kanal media Zoom. Koalisi Pekad terdiri dari sejumlah organisasi seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Pamflet Generasi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Satu Visi (ASV), Arus Pelangi, SEJUK, Purple Code Collective, LBH Masyarakat dan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC). Kegiatan tatap muka secara daring tersebut diikuti oleh sekitar 50 orang peserta. Baik dari kalangan pegiat HAM maupun media.

Mengutip data dari WHO (2019), jumlah perempuan sebagai tenaga kesehatan secara global mencapai 70% dari total keseluruhan tenaga kesehatan. Di Asia Tenggara, mayoritas tenaga kesehatan adalah perempuan. Perawat misalnya, ada 79% perempuan yang berprofesi sebagai perawat. Sementara dari seluruh dokter di Asia Tenggara, 61% adalah perempuan. Di Indonesia, ada 71% atau 259.326 orang dokter perempuan (PPNI, 2017).

Fakta ini menunjukkan, bahwa tenaga kesehatan perempuan berada di garda terdepan yang berisiko terinfeksi virus. Salah satu kendala yang dihadapi tenaga kesehatan berada di garis terdepan penanggulangan Covid-19 adalah kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD). Hal ini menyebabkan beberapa tenaga kesehatan, termasuk tenaga medis perempuan memberikan layanan tanpa APD yang sesuai dengan standar. “Pemerintah perlu mengatur harga jual dan ketersediaan APD bagi tenaga kesehatan karena banyak fasilitas kesehatan yang tidak menyediakan APD bagi petugas tenaga kesehatan, padahal harganya tidak murah,” ungkap dr. Teza Farida yang merupakan dokter dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).

Lebih lanjut, dr. Teza juga menyampaikan bahwa beberapa tenaga kesehatan perempuan memberikan layanan konsultasi daring dan tidak membuka layanan konsultasi tatap muka langsung--yang berdampak pada kualitas layanan, khususnya pada layanan terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Layanan pemeriksaan kehamilan yang berkurang karena dianjurkan untuk mendatangi fasilitas kesehatan hanya dalam kondisi darurat medis, hal ini berakibat perempuan hamil sulit mengetahui perkembangan kesehatan diri dan janinnya. Di sisi lain, pembatasan layanan kesehatan juga berdampak dalam penanganan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) berbasis konseling. Dengan usia kehamilan yang semakin membesar namun tidak selaras dengan pemberian layanan konseling yang komprehensif, akan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu sendiri baik secara fisik, psikis dan sosialnya.

Layanan lain yang juga terdampak adalah layanan PMTCT (Penularan HIV pada perempuan hamil ke bayinya), hal ini disebabkan karena beberapa pusat layanan kesehatan tidak lagi memberikan layanan sehingga pencegahan HIV/AIDS terhadap perempuan hamil ke bayinya lambat untuk terdeteksi. Di beberapa klinik ataupun puskesmas, klien sulit mengakses layanan pemeriksaan VCT-HIV, dan belum bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk terlibat dalam pengurangan dampak dan resiko penularan.

Selain persoalan layanan kesehatan, aspek pemenuhan kebutuhan juga menjadi isu kelompok rentan yang perlu diperhatikan, salah satunya LGBTIQ, khususnya transgender perempuan. Khanza Vina dari Sanggar SWARA menggambarkan kondisi kondisi LGBTIQ--yang sebelumnya sudah termarginalkan--semakin sulit di tengah pandemi. Physical distancing sebagai usaha preventif untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19 membuat penghasilan sebagian besar komunitas transgender perempuan berkurang drastis. Dari asesmen cepat yang dilakukan oleh Sanggar SWARA, ada lebih dari 640 transgender di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaannya. Banyak dari mereka yang sulit mengakses bantuan sembako yang dibagikan oleh pemerintah hanya karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi diri, termasuk untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

“Sudah banyak (LGBTIQ) yang kesulitan bertahan hidup, terutama yang tidak punya cukup simpanan tabungan. Selain kebutuhan hidup keseharian, biaya sewa tempat tinggal juga menjadi persoalan. Penggalangan bantuan yang dilakukan terbatas untuk kebutuhan primer tersebut serta untuk ARV bagi yang memerlukan,” ujar Khanza. Khanza tidak yakin kelompok LGBTIQ yang dimiskinkan, dimarginalisasi, dan distigmatisasi ini bisa bertahan dalam beberapa bulan ke depan.

Di tengah situasi bencana nasional pandemi yang berdampak pada seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, DPR tetap melanjutkan proses legislasi membahas sejumlah RUU. Bahkan sempat beredar kabar bahwa DPR akan mengesahkan RKUHP dalam tempo sepekan memasuki masa tanggap darurat Covid-19. RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja juga akan dilanjutkan pembahasannya. Hal tersebut sangat disesalkan Maidina Rahmwati, peneliti dari ICJR. Menurut Mai, DPR seharusnya lebih memperkuat peran dan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah dalam merespons Covid-19 serta memastikan anggaran yang tersedia sudah sesuai. Ia menambahkan, “Pilihan PSBB dan bukan karantina wilayah, seharusnya menjadi bahasan serius oleh DPR dan Pemerintah”.

Dalam kesempatan tersebut, Mai juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap PSBB bukanlah merupakan tindak pidana. Tindakan pemerintah yang mengedepankan pemberian sanksi terhadap pelangar PSBB justru bertolak belakang dengan penanganan Covid-19. Menurutnya yang terpenting untuk situasi saat ini bukanlah penegakan ancaman saksi terhadap pelanggaran, tetapi mitigasi, solusi dan jaring pengaman sosial. Maidina menggarisbawahi perlunya memastikan pertimbangan gender dalam setiap kebijakan dan tindakan penanganan Covid-19. “Pemerintah harus punya instrumen yang kuat untuk mendata kelompok rentan,” imbuhnya.

Perlunya memasukkan perspektif gender dalam respons pandemi Covid-19 juga disampaikan Sri Nurhayati Handayani, Konselor Trauma dari Yayasan Pulih. Perempuan yang biasa disapa Handa ini menjelaskan pandemi yang terjadi saat ini terjadi sangat khas, karena berbentuk virus yang dapat menginfeksi siapapun. Tidak seperti bencana alam dimana sumber daya manusia bisa didatangkan ke daerah lokasi bencana, pandemi ini mengharuskan semua orang untuk menjaga jarak sehingga konselor ataupun relawan tidak bisa turun langsung dan berhadapan dengan korban. “Negara bisa melakukan inovasi dengan membuat panduan yang lebih praktis dalam memasukkan perspektif gender dalam respon bencana ini,” pungkas paparnya.

Dalam rilis yang dikeluarkan, semua pihak dalam Koalisi Pekad sepakat bahwa dalam konteks saat ini yang terpenting adalah mendorong Pemerintah untuk menangani Covid-19 dan agar DPR menghentikan pembahasan RUU yang bermasalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis dengan memperhatikan perspektif gender dan perlindungan terhadap kelompok rentan. (Dewi Komalasari)
 


Peringati Hari Perempuan Internasional, Gojek Hadirkan Layanan #AmanBersamaGojek

16/3/2020

 
PictureDok. Jurnal Perempuan
Jakarta, 11 Maret 2020, peningkatan standar keamanan merupakan salah satu prioritas utama Gojek, sebuah superapp terdepan di Asia Tenggara ini. Melalui inisiatif #AmanBersamaGojek yang diluncurkan dua pekan lalu, dan bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional, Gojek mempertegas komitmennya dalam menghadirkan layanan transportasi daring paling aman melalui pilar teknologi, proteksi, dan edukasi.
 
“Keamanan dan keselamatan adalah prioritas utama, khususnya bagi perempuan. Gojek dalam mewujudkan hal itu melakukan beberapa cara yakni melalui pilar teknologi, proteksi, dan edukasi,” ungkap Monita Moerdani, SVP Transport Marketing Gojek.
 
Pilar teknologi adalah berupa teknologi Gojek SHIELD yang mampu memastikan keamanan dari sebelum memulai perjalanan, selama perjalanan, dan pada saat darurat dengan cara 1) penyamaran nomor telepon, 2) bagikan perjalanan dengan orang atau kerabat terdekat yang dipercaya, 3) tombol darurat yang terhubung dengan unit darurat 24 jam dan layanan ambulans.
 
Pilar proteksi berupa sistem zona aman bersama Gojek. Zona Aman bersama Gojek merupakan ruang ramah perempuan yang memanfaatkan ratusan shelter atau titik jemput yang yang tersedia di berbagai lokasi. Zona Aman bersama Gojek memiliki fasilitas penerangan dan tempat duduk yang memadai untuk menunggu dan berlokasi di area keramaian yang dekat dengan titik transportasi publik serta dilengkapi materi edukasi publik untuk mensosialisasikan ruang publik aman bagi perempuan. Selain itu, sejak tahun 2019, Gojek telah melatih mitranya sebagai active bystander untuk melawan kekerasan seksual di ruang publik. Mitra Gojek didorong bersikap aktif untuk membantu jika mereka melihat ada pelecehan atau kejahatan yang terjadi terutama di tempat umum.
 
Hal ini diapresiasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KPPPA). “Sejak awal penandatanganan Nota Kesepahaman antara Gojek dan KPPPA di tahun 2019, kami mengapresiasi pendekatan Gojek yang lengkap dalam meningkatkan keamanan bagi perempuan, seperti menyediakan Zona Aman Bersama Gojek untuk perempuan menunggu serta menjadi mitra kami dalam mensosialisasikan pencegahan kekerasan seksual di ruang publik. Kami berharap langkah Gojek untuk terus berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan demi menciptakan budaya aman, dapat menginspirasi pelaku usaha lain,” jelas Indra Gunawan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA.
 
Lalu, masih di dalam pilar proteksi, Gojek membangun layanan Customer Care & Unit Darurat siaga 24 jam yang mengadopsi perspektif korban. Kemudian, Gojek menyediakan jaminan asuransi perjalanan untuk mitra dan pelanggan.
 
Di pilar edukasi, Gojek berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi internasional, dan LSM, seperti Kementerian KPPPA, Hollaback! Jakarta, serta LSM tingkat lokal seperti LBH Apik Kota Medan, LBH Manado, Rifka Annisa, Women Crisis Center Yogyakarta, serta Resister Indonesia Kota Malang untuk  melakukan edukasi kepada masyarakat guna menciptakan ruang publik yang semakin ramah terhadap perempuan.
 
“Di setiap ruang perempuan memiliki hak untuk merasa aman. Namun faktanya, rasa takut akan pelecehan dan kekerasan seksual, seringkali menghambat mobilitas dan membatasi akses perempuan dan anak perempuan di ruang publik. Infrastruktur publik yang berkualitas dan efisiensi dari layanan transportasi memainkan peran penting dalam memastikan transit yang aman bagi perempuan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur harus berbasis gender dan dirancang dengan mempertimbangkan keamanan dan kebutuhan mobilitas perempuan,” ungkap Lily Puspasari, UN Women Indonesia. (Octania Wynn)
 


<<Previous
Forward>>
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Tanah Manisan No. 72 RT.07/RW.03, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur| +62812-1098-3075 | yjp@jurnalperempuan.com