Praktik Baik di Lapangan: Inspirasi Pencegahan Perkawinan Anak dari Desa hingga Pengadilan5/11/2024
Pada Jumat (1/11/24) yang lalu, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menggelar diskusi daring bertajuk “Praktik-Praktik Inspiratif Mencegah Perkawinan Anak” dalam upaya mempercepat penghapusan praktik perkawinan anak di Indonesia. Diskusi ini menampilkan berbagai pengalaman, praktik baik, dan strategi yang dilakukan oleh pengadilan agama, pemerintah desa, forum anak, kaum muda, serta masyarakat sipil dalam mengatasi tantangan perkawinan usia anak di berbagai daerah. Dalam sambutannya, Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal KPI, menekankan meskipun Indonesia telah melampaui target Sustainable Development Goals (SDGs) terkait penurunan angka perkawinan anak, namun tantangan masih ada. Ia menyoroti fenomena perkawinan anak yang tidak tercatat, serta kasus kawin adat di beberapa daerah seperti Sumba yang masih melibatkan anak-anak. “Kita punya beragam masalah di luar indikator SDGs, salah satunya adalah perkawinan anak yang tidak tercatat,” ujar Mike. Ia juga mengajak peserta diskusi untuk mempelajari praktik-praktik yang telah diterapkan oleh berbagai pihak dalam mencegah perkawinan anak, baik melalui pendekatan hukum, budaya, maupun kampanye sosial.
Setelah sambutan, peserta menyaksikan video dari Forum Anak Desa Harjomulyo, Kabupaten Jember, yang memperlihatkan kontribusi organisasi anak di desa tersebut dalam pembangunan desa dan pemenuhan hak anak. Forum Anak Desa ini aktif mengembangkan minat dan bakat anak-anak serta melibatkan mereka dalam kegiatan pembangunan yang ramah anak. Diskusi dipandu oleh Luviana dari Konde.co, yang menyatakan bahwa acara ini akan fokus pada praktik baik dan pendekatan persuasif dalam mencegah perkawinan anak. Pemaparan pertama oleh Kartono, Kepala Desa Harjomulyo, yang berbagi pengalamannya dalam membangun komunitas yang mendukung hak-hak anak di Desa Harjomulyo, termasuk melalui pendirian Forum Anak Desa (FAD) dan Gugus Tugas Desa Layak Anak (GTDLA). Melalui forum ini, anak muda dilibatkan dalam berbagai kegiatan edukasi, sosialisasi kepada orang tua, serta diskusi terkait bahaya perkawinan anak. Desa Harjomulyo bahkan telah membangun Rumah Peduli Perempuan dan Anak (RIPA) sebagai wadah perlindungan. “Insya Allah, Desa Harjomulyo sudah zero perkawinan dini,” ujarnya, seraya menjelaskan faktor-faktor pemicu perkawinan anak yang mereka hadapi, seperti persepsi orang tua, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Selanjutnya pemaparan oleh Achmad Cholil, Wakil Ketua Pengadilan Agama (PA) Cibinong kelas 1A, yang sebelumnya merupakan Ketua PA Cirebon kelas 1B. Cholil menjelaskan inisiatifnya dalam mendirikan Help Centre di pengadilan untuk kasus dispensasi nikah. Program ini melibatkan edukasi dan konseling gratis dari para profesional, termasuk dokter dan psikolog. Ia berharap pusat bantuan ini dapat diterapkan di pengadilan-pengadilan lain yang juga menghadapi banyak kasus perkawinan anak. "Saya yakin kalau help center ini diterapkan di pengadilan-pengadilan agama lainnya, terutama yang perkaranya banyak, seperti Cibinong, Tasikmalaya, Sumba, atau Indramayu ini efeknya akan luar biasa ini untuk mencegah perkawinan anak", tegas Cholil. Revian, Perwakilan dari Youth Force Indonesia, berbagi pengalaman dalam kampanye pencegahan perkawinan anak dengan memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan empati dan kesadaran tentang dampak negatif perkawinan dini. Mereka juga bekerja sama dengan komunitas offline dan terlibat dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh BAPPENAS, menunjukkan kolaborasi strategis antara kaum muda, pemerintah, dan organisasi masyarakat. Pemaparan terakhir oleh Narty, Presidium Wilayah Pemuda Pelajar dan Mahasiswa KPI Sulawesi Selatan, menjelaskan pendekatan KPI Sulawesi Selatan dalam menyosialisasikan pencegahan perkawinan anak, terutama melalui sosialisasi yang melibatkan orang tua dan pemerintah desa. “Kami di Sulawesi Selatan, khususnya teman-teman di KPI yang pertama mendorong perspektif perlindungan anak kepada orang tua terlebih dahulu. Orang tua, pemerintah desa maupun kelurahan, melalui sosialisasi, koordinasi, dan komunikasi dalam ruang-ruang yang ada di masyarakat," ujar Narty. Mereka juga menggunakan media sosial untuk kampanye yang menarik dan berkolaborasi dengan forum anak serta komunitas remaja. Narty menegaskan pentingnya pelibatan anak dalam pencegahan perkawinan anak dan menggunakan analisis gender dalam setiap materi publikasi. Dalam sesi tanya jawab, Siti Balqis dari Aceh bertanya tentang bagaimana menghadapi kasus pergaulan bebas anak yang tetap harus menjaga nama baik keluarga. Narty menanggapi bahwa kasus ini sering terjadi, dan ia menyarankan pentingnya pendekatan dialog dengan anak dan orang tua. "Mengawinkan anak tidak akan membebaskan stigma negatif,” tegasnya, menyarankan pendekatan yang lebih mendukung perkembangan anak tanpa terburu-buru ke solusi perkawinan anak. Diskusi ini menekankan pentingnya berbagai pendekatan kolaboratif dalam mencegah perkawinan anak. Dari pemanfaatan hukum, peran masyarakat lokal, hingga partisipasi aktif kaum muda dan anak-anak, semua upaya ini diharapkan dapat membangun kesadaran yang lebih luas tentang buruknya perkawinan anak, serta mendorong terciptanya generasi muda yang berdaya. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |