Pada Senin (29/7/2024) hingga Selasa (30/7/2024), telah diadakan Simposium Nasional bertemakan “Hukum yang Hidup di Masyarakat" Pasca KUHP Baru yang diinisiasi oleh Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN), Pusat Studi Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Dari lima perhelatan diskusi, yang menjadi pembuka dan satu-satunya diskusi pleno dalam simposium kali ini mengusung topik “Peluang dan Risiko Inkorporasi ‘Hukum Hidup’ (Hukum Adat) ke dalam Hukum Negara”. Narasumber dalam diskusi pleno ini hadir dari berbagai ahli hukum, di antaranya Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. selaku Guru Besar Hukum Pidana UI, Linda Dewi Rahayu, S.H., M.H. selaku peneliti hukum adat, Muhammad Arman selaku Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Tody Sasmitha Jiwa Utama, S.H., LL.M. dari Then Van Vollenhoven Institute, Muhammad Waliyadin selaku Koordinator Bidang Pembahasan Rancangan Undang-Undang dari Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkumham RI), yang dimoderatori oleh Gina Sabrina selaku Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI).
Pada pembukaan simposium, Albert Wiriya selaku Direktur LBHM, mengungkapkan tujuan simposium kali ini adalah untuk mendiskusikan rancangan pemerintah dalam menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Selain itu juga untuk mengeksplorasi dan mendiskusikan interpretasi alternatif atas ketentuan living law atau hukum yang hidup di masyarakat dalam KUHP baru melalui perspektif pluralisme hukum. Diharapkan mampu mengeksplorasi alternatif atas tindak lanjut regulasi pidana hukum yang berlaku, serta berdiskusi terkait perspektif dan pengalaman mengenai implementasi dan keberlanjutan living law. Pengesahan Undang-Undang (UU) Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi momentum penggantian Wetboek van Strafrecht sebagai KUHP yang ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1946. KUHP baru akan berlaku tiga tahun kemudian dihitung sejak tanggal perundangan pada 2 Januari 2023. Pada KUHP baru terdapat perkembangan legalitas yang mengatur ketentuan hukum yang hidup di masyarakat atau living law, yang tegas diatur dalam Pasal 2 UU 1/2023. Hukum yang hidup di masyarakat ini dijelaskan sebagai hukum adat yang kemudian diinkorporasikan dengan hukum nasional sebagai upaya pemerintah dalam merekognisi hukum adat yang plural di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat (3) di KUHP baru mengatur ketentuan tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui Peraturan Pemerintah, lebih khususnya pada Peraturan Daerah (Perda). Menurut Topo Santoso selaku salah satu anggota tim perumus KUHP baru, perkembangan legalitas living law dalam KUHP baru yang diatur kemudian dalam Perda ini dianggap memiliki urgensi terhadap rekognisi hukum pidana adat, melalui pembukuan atau unifikasi hukum adat pidana dalam kesatuan hukum pidana nasional. Terdapat inkonsistensi antara mandat KUHP yang menyatakan pengaturan tata cara dan kriteria penetapan living law, dengan RPP yang mengatur hukum adat dengan mengkodifiksikannya pada Perda. Tody Sasmitha Jiwa Utama sebagai akademisi hukum adat menyatakan, tujuan diaturnya living law secara teleologis adalah untuk menjaga kepastian hukum dan menjaga pengakuan hukum adat agar tidak ada sikap arbitrer dalam hukum berbasis hukum adat. Demikian juga tindak lanjut living law pada KUHP baru mesti dimaknai secara teleologis, yakni pada tujuan utama diaturnya living law dan bukan dimaknai semata pada gramatikal pasal 2 dalam KUHP baru. Tody Sasmitha mengusulkan adanya alternatif dalam mengatur living law pada tataran pengelolaan sistem hukum yang plural, yang dioperasionalisasi dalam sistem aparat penegak hukum agar memiliki pedoman dalam menggali dan menggunakan living law. Proses inkorporasi hukum adat dalam Perda mengandung potensi obesitas regulasi, waktu, dan pembiayaan, sebab pembuatan satu perda saja dapat memakan minimal 1,5 tahun dan biaya minimal 500 juta sampai 1 milyar. Catatan dari AMAN pada Juni 2024, ada sebanyak 2568 komunitas masyarakat adat yang tersebar di Indonesia. Mandat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Pasal 52 tahun 2014 tentang pedoman, pengakuan, dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat, hanya dijalankan oleh tiga belas Pemda dari seluruh daerah di Indonesia. Bahkan, tercatat hanya ada 320 produk hukum daerah masyarakat adat dari ribuan masyarakat adat yang tersebar. “Produk hukum tersebut juga hasil jerih payah sendiri komunitas masyarakat adat dan bukan inisiatif kerja pemerintah daerah,” ungkap Muhammad Arman selaku perwakilan AMAN. Pada saat KUHP baru dalam masa perancangan, audiensi antara pihak tim perumus dan perwakilan komunitas masyarakat adat didampingi organisasi AMAN, terjadi ketidaksepakatan atas pasal 2 yang mengatur hukum adat. Hakim adat pada audiensi menyatakan, tidak akan bisa hakim negara memahami proses ritual adat sebagai bagian membuka persidangan adat yang melibatkan mantra dan leluhur. Masyarakat adat hanya ingin negara menghormati hukum adat yang berlaku, tidak perlu mengambil alih hukum adat sebagai hukum negara yang merampas kedinamisan hukum adat sebagai hukum yang hidup turun temurun. Audiensi saat itu menghasilkan kesimpulan untuk mencabut pasal 2 yang mengatur living law di dalam KUHP, tetapi hasilnya nihil hingga KUHP disahkan dan RPP sudah kadung dibuat. Tujuan pembuatan KUHP baru pada dekolonisasi, demokratisasi, harmonisasi, konsolidasi, dan organisasi pun patut dipertanyakan dan digugat. Kodifikasi hukum adat dalam hukum negara tidak pernah melibatkan suara masyarakat sipil, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya. Pemaksaan keberadaan living law dan peraturan turunannya pada perda seakan hanyalah projek konsolidasi antara kepentingan elit penguasa dan elit bisnis. Masyarakat adat dipaksa menelan ‘kadung’ RPP yang bahkan tidak melibatkan subjek hukum adat itu sendiri, dan kepentingan terjadi di antara penguasa saja. Formalisasi hukum yang hidup dalam masyarakat bahkan secara besar akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan pada implementasinya, terlebih bagi kelompok marginal—masyarakat adat, perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, kelompok penghayat, kelompok keragaman seksual dan identitas gender (KSIG), orang dengan HIV (ODHIV) dan populasi kunci, serta kelompok rentan lainnya. Risiko kriminalisasi dan diskriminasi begitu besar, apalagi menguatnya hegemoni elit politik dan bisnis sehingga regulatoristik ini hanya untuk projek yang tidak berkeadilan. Dalam pemaparan akhir, Linda Dewi Rahayu menyatakan, pendekatan hukum pidana elit politik dan bisnis ini dapat mengekspansi ekstraksi sumber agraria di wilayah yang dikuasai masyarakat adat petani, nelayan, juga mendiskriminasi dan mengintimidasi perempuan, penyandang disabilitas, kelompok penghayat, KSIG, ODHIV dan populasi kunci, dan kelompok marginal dan rentan lainnya. Perlu pengawalan dalam proses perancangan PP ini agar dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat sipil, dan menghasilkan hukum yang berkeadilan. Inkorporasi hukum adat dalam KUHP terjebak dalam pandangan pikir hukum yang kaku dan terbatas, yang justru akan mematikan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Perspektif mesti dibangun bersama agar tidak pincang dalam menegakkan keadilan seperti tujuan hukum itu sendiri. Perlu ada kerangka kerja yang mengelola pluralisme hukum antara hukum negara dan hukum adat dengan sebaik-baiknya sistem hukum dan pengelolaan aparat penegak hukum. Demikian, KUHP baru, RPP, Perda, bukan menjadi alat penguasa untuk melakukan kolonial itu sendiri pada masyarakat sipil dan masyarakat rentan. (Panca Lintang Dyah Paramitha) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |