
Julius Mauhere, Perwakilan Pekerja Freeport meminta publik untuk memberikan perhatian atas segala ketidakadilan di tanah Papua. Audiensi yang dilakukan para pekerja Freeport kepada PGI bertujuan untuk menginformasikan bahwa banyak pendeta tidak memberikan perlindungan pada umat kristiani di tanah Papua. Julius juga mengaku bahwa diskriminasi ini bukanlah permasalahan satu-satunya sebab PT. Freeport Indonesia mengambil keputusan sepihak. Keputusan sepihak tersebut antara lain, diputusnya BPJS dan diblokirnya akun rekening bank pekerja, yang berdampak pada perceraian dan angka putus sekolah anak-anak Papua. Kasus tersebut adalah masalah yang timbul dari tercabutnya hak mereka sebagai pekerja. Audiensi yang dilakukan oleh Pekerja Freeport kepada PGI membuat mereka merasa ada tempat mengadu selain kepada pihak pemerintahan yang sudah mereka coba sebelumnya.
Selain itu Marten Mote, Koordinator Tim Mogok Kerja (Moker) menyatakan bahwa PT. Freeport Indonesia bukan hanya menyalahi aturan tentang isu ketenagakerjaan tetapi mereka juga melakukan pelanggaran HAM lewat beberapa kriminalisasi pekerja. “Para pekerja yang selama 1 tahun 4 bulan hidup tanpa bayaran dibuat tidak tahu harus melakukan upaya apalagi, sebab kami semua sudah menjajaki komunikasi dengan pemerintah maupun organisasi masyarakat” tutur Marten. Ia mengaku bahwa PT. Freeport Indonesia dikenal sebagai perusahaan yang menguntungkan masyarakat disekitarnya padahal faktanya masyarakat Papua jauh dari kata sejahtera. Menurutnya, PT. Freeport Indonesia juga tidak bertanggungjawab atas kerusakan alam yang disebabkan oleh limbah pabrik.
Pekerja PT. Freeport Indonesia bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan, walaupun dengan jumlah yang sedikit. PT. Freeport Indonesia bukan hanya mencederai hak pekerja, tetapi juga memunculkan efek domino bagi perempuan dan anak-anak. Tri Puspita, Perwakilan Pekerja menyatakan bahwa Perempuan di Papua mengalami ketertindasan ganda. “Perempuan dan anak-anak di Papua mengalami ketertindasan baik yang diceraikan hingga anak-anak yang putus sekolah. Salah satu sahabat kami ada yang rela menggorok istrinya karena keributan dalam rumah tangga, setelah itu ia menyusul dengan gantung diri, hal ini dipengaruhi oleh psikologi keluarga yang berantakan, ketidakmampuan menghidupi keluarga saya rasa menjadi faktor utama” tutur Tri Puspita. (Iqraa Runi)