Pada Sabtu (26/10/24) yang lalu, Komnas Perempuan bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia meluncurkan Modul Dukungan Psikologis Awal (DPA) secara daring melalui platform Zoom dan YouTube. Peluncuran ini menjadi momentum penting dalam meningkatkan kapasitas layanan dukungan psikologis bagi penyintas kekerasan berbasis gender dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan gender. Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dari lembaga layanan, organisasi masyarakat sipil, dan kementerian terkait. Modul DPA dihadirkan sebagai solusi atas kebutuhan mendesak dalam memberikan dukungan psikologis awal bagi korban kekerasan yang kerap mengalami dampak psikis serius. Trauma berkepanjangan hingga gangguan mental berat sering dialami oleh korban kekerasan jika tidak mendapat penanganan yang tepat dan cepat. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023 mencatat bahwa kekerasan psikis merupakan jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di Indonesia dengan 6.978.719 kasus atau 48 persen dari total kekerasan yang terdata.
Retno Kumolohadi, Ketua Umum IPK Indonesia, menyampaikan bahwa modul ini bertujuan untuk memperluas akses masyarakat dalam memberikan pertolongan pertama psikologis. Dalam sambutannya, Retno menekankan, "Modul yang diperuntukkan untuk membekali para psikolog klinis untuk melatihkan DPA sebanyak-banyak kepada komunitas atau masyarakat, agar semakin banyak masyarakat yang mampu melakukan DPA kepada orang yang disekitarnya." Retno juga menjelaskan bahwa penanganan kekerasan tidak boleh hanya berfokus pada dampak fisik, tetapi juga dampak psikologis korban. Modul DPA, menurutnya, akan menjadi langkah awal untuk optimalisasi pendampingan psikologis sehingga korban dapat merasa aman. Dengan hadirnya modul ini, diharapkan lebih banyak psikolog klinis dan masyarakat umum yang mampu mengimplementasikan DPA dalam kehidupan sehari-hari. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, secara resmi membuka peluncuran modul ini. Ia menggarisbawahi dua alasan mendasar yang melatarbelakangi penyusunan modul DPA. "Inisiatif ini berangkat dari dua hal, yang pertama adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi pemulihan korban dari aspek psikologinya dan yang kedua bahwa kondisi layanan psikologi belum ideal tersedia di Indonesia, karenanya korban masih sangat sulit untuk mengakses layanan yang sangat dia butuhkan,” ujarnya. Modul DPA merupakan hasil kolaborasi Komnas Perempuan dan IPK Indonesia yang disusun selama lebih dari satu tahun. Dalam paparannya, Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan) menjelaskan bahwa CATAHU selama dua dekade (2001-2021) mencatat lebih dari 2,7 juta kasus kekerasan berbasis gender, dengan kekerasan psikis mencapai 38 persen, kekerasan seksual 37 persen, kekerasan fisik 20 persen, dan kekerasan ekonomi 3 persen. Hampir semua korban kekerasan mengalami dampak psikologis berlapis yang seringkali terabaikan, terutama saat mereka menempuh jalur hukum. Anna Surti Ariani (IPK Indonesia), atau yang biasa disapa Nina, menjelaskan bahwa DPA merupakan bentuk dukungan psikologis dasar yang bertujuan untuk menstabilkan emosi negatif, memberikan rasa aman, serta menenangkan korban. Ia menegaskan, "Orang yang memberikan DPA tidak harus memiliki latar belakang psikologi atau konseling. Maka, DPA dapat dilakukan oleh siapa saja yang punya kepedulian untuk membantu." Modul ini dirancang bukan hanya untuk psikolog klinis, tetapi juga untuk pendamping korban, petugas layanan, hingga masyarakat umum yang peduli terhadap penyintas kekerasan berbasis gender. Tujuan utamanya adalah mengisi kekosongan layanan psikologis yang sering terjadi, terutama di lembaga-lembaga layanan yang tidak memiliki konselor atau psikolog klinis. Melalui modul ini, para pendamping dan petugas layanan dapat mengenali tanda-tanda krisis psikis pada korban dan memberikan pertolongan pertama psikologis dengan segera. Novita Sari dari Forum Pengada Layanan (FPL) turut menyambut positif peluncuran modul DPA. "Yang menarik adalah di sini sudah dikunci bahwa modul ini berperspektif HAM dan keadilan gender, dan ini sejalan dengan UU TPKS, UU penghapusan kekerasan terhadap perempuan, UU TPPO, serta UU perlindungan anak," ujarnya. Modul DPA juga diharapkan tidak hanya melindungi hak korban, tetapi juga mendukung pendamping sebagai penyedia layanan yang berperan penting dalam proses pemulihan korban. Tanggapan serupa disampaikan oleh Sari Sulistiawati Suwardari dari Kementerian Hukum dan HAM RI. Ia menegaskan bahwa Modul DPA sejalan dengan mandat Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2022. "Dalam UU tersebut, pemerintah pusat dan daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum (APH), tenaga layanan pemerintah, dan tenaga layanan di lembaga berbasis masyarakat," ujarnya. Modul DPA akan menjadi pedoman penting dalam menjalankan amanat ini. Theresia Iswarini dari Komnas Perempuan menutup acara dengan menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan peluncuran modul ini. "Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada FPL, IPK, dan seluruh pihak yang telah membersamai dari awal pembentukan modul hingga peluncuran kali ini,” ujarnya. Modul DPA ini dapat diakses secara terbuka melalui situs resmi Komnas Perempuan dan IPK Indonesia. Dengan adanya modul ini, diharapkan semakin banyak individu dan lembaga yang dapat memberikan pertolongan pertama psikologis kepada korban kekerasan. Peluncuran Modul Dukungan Psikologis Awal (DPA) berperspektif HAM dan gender ini menandai komitmen bersama Komnas Perempuan dan IPK Indonesia untuk memastikan setiap korban kekerasan mendapatkan dukungan psikologis yang layak. Inisiatif ini diharapkan dapat memperkuat layanan pemulihan korban dan menciptakan masyarakat yang lebih peduli terhadap dampak psikologis yang dialami penyintas kekerasan berbasis gender. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |