Dalam rangkaian acara pameran lukisan “Perempuan-Perempuan Menggugat”, diselenggarakan diskusi interaktif pertama pada 22 Agustus dengan tema “Perjuangan Perempuan dalam Berbagai Dimensi”. Hadir sebagai narasumber adalah Toeti Heraty, Thamrin Amal Tomagola, dan Saparinah Sadli, dengan Eka Budianta sebagai moderator. Diskusi ini membahas kiprah para perempuan pemimpin Indonesia dalam berbagai dimensi, mulai dari Rainha Boki Raja (Ratu Ternate) hingga perempuan lansia pada masa sekarang ini. “Kisahnya berawal karena pala dan cengkih,” ujar Toeti yang akan memulai ceritanya tentang Rainha Boki Raja, putri Sultan Tidore yang berani melawan Portugis yang datang ke tanah mereka demi eksploitasi rempah. Menurutnya, Rainha Boki Raja (yang bernama asli Nyai Cili Nukila) adalah salah satu sosok perempuan Indonesia yang hebat, bahkan mungkin paling hebat di antara yang lainnya ketika itu. Perjuangannnya dimulai ketika ia berusia 15 tahun. Atas nama politik, ia dinikahkan oleh sang ayah dengan Bayanullah (Sultan Ternate) yang usianya 35 tahun lebih tua darinya. Banyak intrik rumah tangga dan politik yang dihadapinya. Singkat cerita, pada akhir masa hidupnya, Rainha Boki Raja berhasil memenangkan pertempuran melawan Portugis dengan merebut benteng mereka, lalu menyelamatkan dua anaknya yang ditawan. Hingga kemudian ia pun mendapat gelar Boki Raja, yang artinya Putri (princess) yang menjadi Raja. Tragisnya, kisah hidup Rainha Boki Raja terlupakan sama sekali dalam sejarah Indonesia. Toeti menyayangkan hal ini. Namun, Seruni menghidupkannya kembali dalam karya lukisannya yang diberi judul “Balada Ratu Tanah Rempah”. Lanjut ke pembicara kedua, Thamrin mengisahkan perjuangan perempuan dari pulau yang sama, yaitu Ternate, dalam periode setelah 1900-an. Berdasarkan pengalamannya sebagai putra Ternate dan sosiolog, ia membenarkan bahwa perempuan-perempuan Ternate memang cenderung lebih kuat. Menurutnya, ada sisi kultural yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya adalah kegiatan melaut untuk mencari ikan dipimpin oleh perempuan sebagai nahkoda. Perempuan-perempuan Ternate sejak kecil sudah dididik untuk kuat dan bisa memimpin. Tanah-tanah di sana pun harus dimiliki atas nama perempuan, bukan laki-laki. “Karena itu, tak heran secara kultural memang perempuan Ternate ‘dikonstruksi’ untuk menjadi kuat dan berkuasa,” imbuhnya. Lintas zaman, Saparinah memaparkan kisahnya mewakili perempuan lansia. Menurutnya, lansia bukan berarti tak berdaya, bukan berarti menjadi beban keluarga, bukan berarti tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia menjelaskan bahwa, kita sebagai lansia masih bisa beraktivitas secara aktif dan berkarya. “Bahkan seharusnya, produktivitas para lansia ini didukung oleh pemerintah.” Di akhir, ia pun membagikan slogan yang dianutnya sebagai lansia, bahwa menjadi lansia itu harus SMART (Sehat, Mandiri, Aktif, Rajin, Teliti). Dedikasinya terhadap gerakan perempuan hingga kini terus dilakukannya dalam berbagai cara dan bentuk. Pendiri program studi Kajian Gender Universitas Indonesia ini bersama dengan teman dan koleganya mendirikan komunitas Sahabat Lansia Tangguh. (Shera Ferrawati) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |