Sidang Paripurna DPR Senin 16 September 2019 menyetujui Perubahan Terbatas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan-perubahan penting yang dilakukan atas pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut diantaranya adalah menaikkan batas umur minimal perkawinan yang sama bagi perempuan dan laki-laki menjadi usia 19 tahun. Perubahan pasal 7 ini juga memberikan aturan pengecualian jika perkawinan dibawah umur harus dilakukan maka pengecualian harus dilengkapi dengan alasan yang sangat mendesak dan bukti-bukti yang cukup. Pembahasan perubahan terhadap UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan kelanjutan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menerima sebagian permohonan pihak pemohon untuk diubahnya pasal 7 ayat (1). Permohonan Judicial Review (JR) tersebut merupakan upaya yang kedua setelah permohonan sebelumnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2014. Belajar dari pengalaman pada tahun 2014, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan individu-individu yang tergabung dalam Koalisi 18+ / Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak (diantaranya End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children For Sexual Purposes (ECPAT Indonesia), Aliansi Remaja Independen/ARI, Institute for Criminal Justice System/ ICJR, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi/KPI, Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia/PKBI, Hukumonline), tidak gentar maupun patah semangat dan bersikukuh untuk kembali melakukan JR dengan strategi yang berbeda. Pada April 2017, 3 (tiga) orang pemohon yang merupakan perwakilan penyintas perkawinan anak: Endang Wasrinah, Maryanti, dan Rasminah, diwakili oleh Tim Kuasa Hukum dari Koalisi 18+ memasukkan permohonan JR UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan ini kemudian dicatat sebagai perkara nomor 22/PUU-XV/2017 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun pasal yang diujikan dalam permohonan tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Setelah melalui beberapa kali persidangan dan sempat mengalami penundaan tanpa alasan yang jelas, pada Desember 2018 Mahkamah Konstitusi melalui amar putusannya menyatakan mengabulkan sebagian permohonan pemohon. Kutipan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sepanjang frasa “usia 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) adalah bertentangan dengan UUD 1974 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan MK tersebut juga termasuk “Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan”. Berdasarkan hasil putusan MK pada Desember 2018 kelompok masyarakat sipil melanjutkan upaya advokasi kepada pembuat kebijakan agar menjalankan amanat putusan MK terkait usia perkawinan tersebut. Upaya advokasi saat itu diarahkan kepada pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) agar dapat menghasilkan draft perubahan UU Perkawinan tahun 1974 yang akan dimasukkan sebagai RUU Inisiatif Pemerintah. Beberapa diskusi yang dilakukan dengan KPPA tidak mencapai titik temu, bahkan pembahasan justru semakin melebar ke pasal-pasal lain yang berisiko dapat ditolak seluruhnya oleh Dewan. Maka koalisi masyarakat sipil kemudian menggunakan strategi lain. Kali ini dengan melobi anggota legislatif perempuan yang ada di dalam Badan Legislasi (Baleg) untuk memasukkan usulan perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka. Dengan dukungan dari 24 (dua puluh empat) orang anggota, maka diusulkanlah RUU tersebut untuk dibahas di Baleg, pada pertengahan Agustus 2019. Dalam kesempatan hearing dengan Badan Legislasi, organisasi-organisasi perempuan menyatakan pentingnya menindaklanjuti putusan MK tersebut dan mendukung DPR untuk mengubah kebijakan terkait batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Sidang Badan Legislasi (Baleg) selanjutnya menyepakati pembentukan Panitia Kerja (PANJA) yang bertugas untuk melakukan pembahasan lebih lanjut. Pembentukan PANJA merupakan strategi yang dipilih bersama agar proses pembahasan dapat dilakukan lebih cepat jika dibandingkan dengan mengembalikan inisiatif tersebut kepada Komisi VIII, mengingat pada saat yang bersamaan Komisi VIII sedang membahas dua RUU lain yang juga tidak kalah pentingnya yaitu RUU Pekerja Sosial dan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual. Dalam rapat-rapat PANJA, sempat muncul perdebatan atas batas minimal usia perkawinan bagi perempuan. Berbagai usulan diajukan, mulai dari 17 (tujuh belas), 18 (delapan belas) dan 19 (sembilan belas) dengan argumennya masing-masing. Namun diputuskan kemudian dalam Rapat Kerja dengan Pemerintah pada tanggal 12 September 2019 bahwa minimal usia perkawinan untuk perempuan dan laki-laki adalah 19 (sembilan belas) tahun. Dari 10 (sepuluh) fraksi di DPR, 8 (delapan) fraksi menyetujui perubahan tersebut, sementara 2 (dua) fraksi lainnya yaitu F-PKS dan F-PPP tetap bertahan pada usia 18 tahun. Selain pasal 7 ayat (1), disepakati juga perubahan pada ayat 2, 3 dan 4 pasal yang sama serta penambahan pasal baru yang disisipkan di antara pasal 65 dan 66. Dalam rapat tersebut PANJA juga berpendapat bahwa RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dilanjutkan pembahasannya dalam Pembicaraan Tingkat II yakni pengambilan keputusan agar RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan sebagai Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Persetujuan DPR untuk melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan yang sudah berusia 45 (empat puluh lima) tahun merupakan angin segar bagi upaya menghapuskan perkawinan anak di Indonesia. Keberadaan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan (sebelum perubahan) yang menyebutkan bahwa perkawinan diizinkan jika perempuan sudah mencapai usia 16 tahun merupakan bentuk legalisasi terhadap terjadinya perkawinan anak, khususnya anak perempuan; karena UU Perlindungan Anak secara jelas menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Tidak berhenti di situ, UU Perkawinan pun masih menyisakan ruang untuk terjadinya perkawinan bagi anak-anak yang berusia di bawah ketentuan UU (16 tahun bagi perempuan, dan 19 tahun bagi laki-laki) melalui ketentuan pemberian dispensasi. Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan yang komplit, secara fisik, seksual, mental dan sosial. Pejuang hak-hak anak bahkan merujuk perkawinan anak sebagai bentuk legalisasi perkosaan terhadap anak atas nama perkawinan, karena sesungguhnya segala bentuk hubungan seksual dengan anak-anak adalah pemerkosaan. Oleh karena itu, perubahan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki diharapkan dapat menghentikan terjadinya perkawinan anak. Ditambah dengan diperketatnya aturan terkait pemberian dispensasi yang diharapkan dapat menekan angka perkawinan anak. Jika sebelum perubahan, orang tua dapat mengajukan dispensasi (dalam hal usia calon mempelai di bawah batas minimal yang ditetapkan UU) ke pengadilan atau pejabat lain; maka dalam perubahan yang baru disahkan dispensasi hanya dapat diajukan kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Selain itu, pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut juga wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Tambahan ayat terakhir adalah guna menghindari terjadinya perkawinan paksa dimana anak-anak dikawinkan tanpa dimintai persetujuannya. Masih terbukanya ruang dispensasi, terutama tanpa aturan yang ketat, dinilai masih akan kontraproduktif terhadap upaya menghentikan perkawinan anak. Dalam pernyataan pers-nya, Koalisi 18+ menilai bahwa rumusan dispensasi dalam perubahan yang diusulkan masih belum cukup ketat untuk menghindari terjadinya penggunaan ketentuan ini oleh kelompok pelaku kekerasan seksual terhadap anak maupun pedofil. Ketiadaan deskripsi mengenai apa yang dimaksud dengan “alasan mendesak” dan “bukti yang cukup” dapat kembali menjadi akar permasalahan dari dispensasi sebagaimana yang ada saat ini. Koalisi 18+ menyampaikan bahwa frasa “bukti yang cukup” harus dapat dijabarkan secara lebih jelas, bahwa dalam hal pemberian dispensasi oleh pengadilan maka hakim harus mempertimbangkan kesiapan seluruh aspek yang ada pada subyek dispensasi. Frasa tersebut harus pula dibuktikan di persidangan dengan bukti-bukti ilmiah, diantaranya adalah aspek kesehatan baik fisik maupun psikologis. Menanggapi hal tersebut, Ketua PANJA Drs. Sudiro Asno, Ak menyampaikan adanya tarik ulur antar fraksi di dalam proses pembahasan rancangan perubahan undang-undang perkawinan tersebut. Disampaikan oleh Sudiro bahwa “kalau dispensasi tidak diatur, dikhawatirkan akan banyak memunculkan perkawinan-perkawinan ilegal (tak tercatat)”. Pengesahan perubahan Undang – undang Perkawinan tahun 1974 tentu bukan satu-satunya solusi untuk sepenuhnya menghapus persoalan perkawinan anak di Indonesia. Persoalan perkawinan anak juga berjalin-kelindan dengan persoalan lain seperti kekerasan seksual terhadap anak, perilaku seks remaja yang tidak aman, kehamilan tidak dikehendaki. Persoalan-persoalan tersebut membutuhkan solusi yang berbeda seperti kebijakan yang mengatur mengenai penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS), kebijakan yang mengatur pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja, juga kebijakan yang menjamin tersedianya layanan aborsi yang aman. Karena tidak tak dapat dipungkiri, persoalan-persoalan tersebut sering dijadikan alasan oleh para orang tua untuk mengawinkan anak-anaknya. Selain minimnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual bagi anak dan remaja, persoalan kemiskinan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perkawinan anak di Indonesia. Namun dengan adanya perubahan batas minimal usia dalam UU Perkawinan menjadi 19 tahun, maka perjuangan gerakan perempuan telah menghasilkan buah, yaitu Indonesia tidak lagi melegalkan perkawinan anak. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |