Jumat, 13 Desember 2019, dalam rangka memperingati hari jadi ke-29, Solidaritas Perempuan merefleksikan dan memproyeksikan agenda politik gerakan perempuan di Indonesia dalam acara media brieifing bersama dengan JKP3 (Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan), Kalyanamitra, Sanggar Swara, Perempuan Mahardika, Koalisi Perempuan Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Kapal Perempuan. Dinda Nur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, dalam acara yang dilaksanakan di kantor Solidaritas Perempuan tersebut mengatakan bahwa agenda politik perempuan melampaui agenda politik elektoral, meskipun menurutnya turut penting juga melihat momen politik di tahun 2019 dan 2020. Menurutnya, merefleksikan agenda politik perempuan harus dan penting dilakukan, sehingga ke depan gerakan perempuan mampu menyusun strategi agar isu keadilan gender bisa menjadi agenda gerakan sosial dan prioritas pemerintah. Ratna Batara Munti (JKP3) menyatakan bahwa setelah otonomi daerah mulai bermunculan peraturan daerah/perda diskriminatif yang menyasar tubuh perempuan dan kelompok minoritas seperti LGBT. “Apa yang terjadi di daerah ini juga tidak terlepas dari konteks nasional. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga kencang ditolak,” ungkapnya. Menurut Ratna, gagal disahkannya kebijakan pro gender juga dipengaruhi oleh menguatnya radikalisme di Indonesia. Koordinator JKP3 itu melanjutkan, bahwa sosialisasi dan advokasi RUU PKS secara substantif terhambat sebab selalu diserang dengan fitnah dan hoax. “Di tahun 2020 ada semangat baru, kita berhasil memasukkan RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Prolegnas. Perlu ada kerjasama lintas sektor termasuk menggerakan kelompok muda,” jelas Ratna. Menurutnya, ke depan masih ada harapan terkait kebijakan pro gender. Ia menyarankan agar gerakan perempuan berfokus pada hal-hal yang bersifat substansi seperti memperbaiki naskah akademis maupun pasal-pasal dalam RUU dan saling berkolaborasi. Yohana Tantria Wardani (Kalyanamitra) menyatakan bahwa kultur di masyarakat masih bias terhadap perempuan. Dari pengalaman pengorganisiran, pendampingan, dan advokasi perempuan di berbagai daerah, Kalayanmitra menemukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual anak perempuan dan perempuan dari keluarga miskin, mereka kerap kali tidak mendapatkan pelayanan dan hak yang semestinya sebagai korban. “Di Kulonprogo, ada kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah perempuan dengan disabilitas, komunitas justru menikahkan paksa, korban tidak memiliki hak untuk bersuara,” ujarnya. Lebih jauh ia menegaskan bahwa hukum harus berjalan lebih maju dalam melihat kompleksitas situasi perempuan korban. Dian Kartika (Koalisi Perempuan Indonesia) menyebutkan bahwa setelah 20 tahun reformasi Indonesia telah banyak kemajuan terkait kebijakan pro gender. Dian juga mengakui meski gerakan perempuan telah mencapai banyak hal tetapi juga kini semakin semakin besar tantangannya. Serupa dengan Ratna Batara Munti, Dian juga menyebutkan menguatnya radikalisme yang mendomestifikasi perempuan dan mengkriminalisasi kelompok minoritas adalah tantangan yang perlu dihadapi gerakan perempuan hari-hari ini. “Semua isu adalah isu perempuan adalah isu politik. Tidak banyak organisasi perempuan yang bekerja di isu sumber daya alam, padahal perubahan iklim berdampak pada semua bentuk kekerasan terhadap perempuan,” tutur Dian. Menurutnya, selain berfokus pada isu pemberdayaan perempuan, gerakan perempuan juga perlu terlibat pada isu arus utama seperti isu lingkungan dan pemerintahan. Isu pemerintahan yang perlu menjadi perhatian ialah soal ancaman pemilu kembali ke parlemen atau tidak lagi dipilih oleh raykat secara langsung. Ia mengungkapkan bila #ReformasiDikorupsi akan berdampak pada representasi, agenda politik, dan kehidupan perempuan. “Politik elektoral akan sebatas politik transaksional, izin tambang dan privatisasi air akan marak terjadi, semuanya berdampak pada perempuan,” pungkasnya. Lebih jauh, Dinda Nur Annisaa Yura (Solidaritas Perempuan) memandang bahwa fundamentalisme agama dan pasar menjadi ancaman bagi kehidupan perempuan. Fundamentaslime agama mengontrol tubuh dan diri perempuan, sedangkan fundamentalisme pasar mengancam pengetahuan dan kehidupan perempuan. Menurut Dinda fundamentaslime pasar terjadi ketika argumen investasi selalu dijadikan satu-satunya jalan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang mana hal tersebut justru menghilangkan pengetahuan lokal, pengetahuan perempuan, dan kehidupan perempuan. “Solidaritas perempuan yang selama ini berkerja dan mendampingi perempuan miskin kota, nelayan, petani menemukan bahwa pengetahuan perempuan dalam mengolah benih, hutan, rumah, komunitas sanga luar biasa,” jelas Dinda. Lebih jauh, menurutnya solidaritas dan aksi kolektif perempuan hanya bisa terwujud bila ada pengharagaan terhadap keberagaman pengetahuan dan identitas. Ulfah Kasim (Kapal Perempuan) memaparkan bahwa di bidang pendidikan formal dan non-formal, perempuan masih tertinggal daripada laki-laki. “Masih ada ketimpangan akses pendidikan. Angka rata-rata lama sekolah perempuan 7,5 tahun, sedangkan laki-laki 8,4 tahun. Di pedesaan gap pendidikan anak perempuan dan laki-laki lebih besar,” jelas Ulfah. Ia melanjutkan bahwa wajah pendidikan Indonesia masih bias gender, terbukti dengan konten pembelajaran yang masih melanggengkan peran gender. Sedangkan menyoal pendidikan non-formal, menurut Ulfah hal ini mendapatkan ancaman dari radikalisme. Sebab, menurutnya Direktorat Paud dan Pendidikan masyarakat yang mengelola program pendidikan perempuan kini diganti menjadi pendidikan keluarga. Konten pendidikan keluarga tersebut melanggengkan ketimpangan gender dan hanya memuat pola pengasuhan anak secara islam. Kanza Vina (Sanggar Swara) menuturkan pentingnya aksi kolaboratif antar gerakan perempuan untuk mewujudkan agenda politik perempuan. Mewakili kelompok transpuan, Kanza menceritakan bahwa penggunaan isu LGBT untuk melemahkan gerakan perempuan oleh negara dan masyarakat berdampak serius pada kondisi hidup kelompok LGBT sendiri. “Dalam 5 tahun terakhir, isu LGBT digunakan untuk menutupi atau mengalihkan isu tertentu. Ini isu sendiri, bukan hanya bumbu, dibalik itu banyak teman2 yang mengalami kekerasan. Ada 1.800 lebih kekerasan terhadap LGBT di indonesia, mereka dipersekusi, diusir, dan kehilangan pekerjaan,” pungkasnya. Lebih jauh, Kanza menjelaskan bahwa narasi kebencian tersebut diadopsi negara melalui kebijakan dan perda yang secara eksplisit menyebutkan bahwa LGBT bentuk ancaman negara. Kanza mendorong gerakan perempuan juga turut melawan dan bergerak bersama untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan yang adil bagi semua identitas. Mutiara Ika (Perempuan Marhadika) pada gilirannya menjelaskan bahwa logika investasi yang digadang-gadang pemerintah sesungguhnya tidak pernah sejalan dengan pemenuhan hak dan kesejahteraan pekerja, khususnya pekerja perempuan. Iklim investasi pro kapital yang dilegitimasi oleh negara menciptakan sistem kerja fleksibel, dimana perempuan banyak dipekerjakan secara kontrak dan borongan. Sehingga menurutnya, melawan patriarki ialah juga melawan oligarki. “Dalam 5 tahun terakhir kebijakan investasi kawasan industri terutama garmen itu sangat massif di daera luar Jakarta, misalnya semarang. Di Kendal dibangun kawasan industri utnuk menarik investasi, masyarakat yang sebelumnya bertani kehilangan tanahnya dan harus bergantung hidup dengan pabrik,” jelas Ika. Di tengah-tengah masifnya investasi, relokasi pabrik garmen ke areal lokasi yang memiliki upah minimum lebih rendah pun terjadi. Menurut Ika, ada fenomena pabrik-pabrik yang sebelumnya di Jakarta, Bekasi, Karawang kini pindah ke daerah jawa tengah demi menekan biaya upah untuk buruh. Atnike Nova Sigiro (Jurnal Perempuan) merefleksikan bahwa telah ada capaian penting dalam gerakan perempuan yakni terciptanya ruang publik bagi perempuan melalui berbagai UU pro perempuan seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Pemilu yang mengafirmasi keterwakilan perempuan di politik. Atnike menegaskan bahwa adanya perlindungan bagi perempuan di dalam rumah dan afirmasi perempuan di politik bukanlah hadiah dari negara melainkan perjuangan politik perempuan. Meskipun demikian, ia juga tidak menyangkal bahwa di level daerah perda diskriminatif juga menjamur. “Sudah ada semangat pengarusutamaan gender secara umum, namun semangat itu tidak berlanjut pada hal-hal yang lebih positif sekarang, tapi justru kontradiktif khususnya di daerah. Ancaman di nasional misalnya RKUHP itu juga menjadi catatan,” jelasnya. Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan tersebut mengatakan bahwa negara memiliki peran dalam membiarkan keberlangsungan radikalisme—yang berusaha menghancurkan nilai-nilai kesetaraan dan keberagaman. Pembiaran negara juga terlihat dari banyaknya kasus kriminalisasi kelompok minoritas, masyarakat adat, aktivis lingkungan, petani dan pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan. Menurutnya, ada suasana yang dibangun di tengah-tengah masyarakat bahwa musuh gerakan perempuan dan HAM adalah radikalisme, sementara publik lupa bahwa negara tidak pernah sungguh-sungguh melindungi dan menjalankan amanat reformasi. “Kita juga lupa mengkritik negara agar konsisten setelah reformasi dan menegakkan prinsip HAM dan kesetaraan gender di dalam konstitusi kita. Kedua prinsip tersebut tidak diterapkan dalam konteks investasi juga. Akhrinya pembangunan justru mengeksploitasi desa, sementara perputaran ekonomi tetap masif terjadi di Jawa. Kita perlu mengawal negara agar segera melaksanakan pekerjaan rumah mereka,” jelas Atnike. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |