
“Saya menyukai batik, terlebih aromanya, itu seperti candu bagi saya, baunya itu enak sekali, nggak tahu kenapa”. Kalimat ini diucapkan Lenawati Pudjoastuti ketika membagi kisah tentang bisnis batik yang digelutinya di suatu siang di penghujung 2014. Sebagai seorang pengusaha, Lena kerap harus bolak-balik Jakarta-Semarang dan beberapa kota lain untuk mengurus usahanya. Di sela-sela jadwalnya yang padat, Jurnal Perempuan menemuinya di kantor sekaligus galeri yang beralamat di Jalan Bungur No. 20, Bangka, Jakarta Selatan. Di ruangan yang didominasi warna putih dengan dinding kaca di dua sisi, Lena menyambut Jurnal Perempuan dengan senyum ramah. Ruangan kerja tersebut bersebelahan dengan galeri batik yang menyediakan batik tulis yang diproduksi secara ramah lingkungan dengan menggunakan pewarna alam oleh kelompok perempuan di Salatiga dan Sragen. Rencananya galeri batik ini akan segera dibuka dalam waktu dekat.
Menurut perempuan yang lahir di Temanggung dan besar di Semarang ini dari dulu ia senang mengenakan batik, terlebih ketika hamil, karena membuat baju hamil dari kain batik sangat mudah. Perkenalannya dengan Arianti Ina Restiani Hunga, Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender Universitas Kristen Satya Wacana (PPSG-UKSW) membuka jalan bagi Lena untuk mengenal batik lebih jauh. Ina Hunga yang juga menjadi dosen Sosiologi di UKSW, memiliki kelompok dampingan, salah satunya kelompok perempuan pembatik. Perkenalan tersebut mendorong Lena untuk terjun ke lapangan, melihat dari dekat proses pembuatan batik, mengenal langsung siapa yang membatik, siapa yang menjual, dan mengetahui darimana kain juga ubo rampe lain untuk pembuatan batik diperoleh. Pengalaman ini menggerakkan Lena untuk berbuat lebih, hingga akhirnya terjalin kerjasama. Lena dan Ina sepakat untuk membuka Galeri Batik di kota Sragen guna memasarkan batik hasil kerajinan para pembatik tersebut. Lena menuturkan kebetulan Bupati Sragen memiliki rumah yang tidak terpakai dan bisa dijadikan galeri. Rumah yang tadinya digunakan sebagai klinik tersebut kemudian dirombak hingga menjadi sebuah galeri. Namun dalam perkembangannya galeri tersebut tidak terurus dengan baik sementara di sisi lain Lena pun sibuk dengan aktivitasnya yang lain sehingga akhirnya galeri tersebut ditutup. Ia menyayangkan hal tersebut, namun ia juga tidak memiliki banyak pilihan ketika itu.
Akhirnya mimpi untuk membuka galeri ini perlahan terwujud seiring dengan pengembangan bisnisnya di Jakarta. Sebuah galeri kini telah berdiri dan siap dibuka di atas lahan yang luas dan teduh dalam sebuah bangunan yang menyatu dengan garden bistro. Kecintaan pada batik pulalah yang menggerakkan Lena untuk mendokumentasikan jejak perkembangan batik. Dengan bantuan seorang wartawan, ia mendukung penulisan buku tentang sejarah batik. Rencananya buku ini akan diluncurkan bersamaan dengan pembukaan Galeri Batiknya. Secara garis besar buku ini antara lain menjelaskan mengapa batik menjadi sesuatu yang istimewa. Lena bercerita bahwa motif, warna dan ornamen yang menghiasi kain batik memiliki makna tertentu. Bahkan dahulu motif batik terkait erat dengan pemakaiannya, dimana motif tertentu hanya dapat digunakan dalam acara tertentu pula, semisal pada saat pernikahan, upacara midodareni, sungkeman, dlsb. Begitu juga dengan pemakainya, dimana jenis batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu, seperti keluarga raja. Lebih lanjut Lena menuturkan saat ini batik mengalami perkembangan yang sangat dinamis, dengan modifikasi yang beragam yang disebut sebagai batik kontemporer. Ia mengapresiasi perkembangan tersebut, namun menurut ibu dari enam orang anak ini, perkembangan tersebut hendaknya tidak melupakan motif-motif lama. Lena menambahkan adanya pengakuan dari UNESCO bahwa batik merupakan warisan budaya dari Indonesia semestinya mendorong kita semua untuk serius merawat dan menjaga kelestarian batik. Hal ini juga yang mendorongnya untuk berupaya membuat buku tentang sejarah batik, meskipun ia tidak turun langsung.
Sebelum membuka Galeri Batik, Lena dikenal sebagai seorang pengusaha kecap. Sukasari adalah merek kecap bikinannya. Usaha ini berawal dari industri rumahan yang dirintis oleh ayah mertuanya Hoo Hian Loang dengan memproduksi kecap manis di rumahnya di Semarang, Jawa Tengah pada 1930. Bersama suaminya, Hadisiswanto, ia meneruskan dan mengembangkan usaha keluarga tersebut, dari yang awalnya industri rumahan hingga kemudian menjadi industri pabrikan. Semula kecap yang diproduksi menggunakan merek Piring Lombok. Merek ini menguasai pasar Semarang. Bahkan Piring Lombok disebut sebagai salah satu merek lokal yang mampu bersaing dengan merek nasional di pasar setempat. Pada tahun 1990, Lena dan keluarga bekerja sama dengan Salim Group, perusahaan milik Liem Sioe Liong dengan niatan untuk ekspansi usaha. Namun ternyata dalam perjalanannya langkah kerjasama dengan konglomerat tersebut tidaklah mudah. Lena mengatakan cara berpikir antara usaha tradisional dengan usaha modern berbeda, sehingga pihaknya memutuskan “bercerai” dengan Salim Group pada 1991. Kecap Piring Lombok menjadi milik Indofood. Lena dan keluarga tetap melanjutkan usaha, dengan bendera PT Sukasari Mitra Mandiri memproduksi kecap dengan merek Sukasari. Dengan merek baru ini, perusahaan Lena tidak hanya memproduksi kecap saja, namun juga sirup, saos dan cuka.
Kini perusahaan kecapnya sudah berjalan sekitar 13 tahun, sudah runway, demikian Lena menyebut. Semua ini dilalui dengan naik turun dan babak belur, namun dari proses tersebut Lena mengaku memperoleh pengalaman hidup yang berharga karenanya ia merasa sangat bersyukur. Dalam menjalankan bisnisnya Lena melibatkan anak-anaknya. “Kalau dari keluarga keturunan Chinese biasanya begitu,” jelas Lena. Jadi bagaimana caranya supaya bisa bekerja sama di dalam lingkungan keluarga, supaya keluarga mempunyai bisnis yang sama, walaupun nanti berdiri sendiri-sendiri, supaya tidak kehilangan persaudaraannya, demikian urainya. Di satu sisi bisnis keluarga dapat menyatukan, meskipun di sisi lain kadang bisnis keluarga juga bisa membuat pecah. Karena itu Lena mengaku sangat berhati-hati, sehingga untuk pengelolaan usaha diserahkan pada anak-anak yang memang bisa mengelola, sedang yang tidak bisa, menyetorkan modal. Jadi, masing-masing mempunyai bagian sendiri-sendiri.
Lena mengungkapkan bisnisnya merambah pelan-pelan. Di Jakarta ia mengembangkan bisnis furnitur. Untuk keperluan display produk dan pemasaran, ia membutuhkan galeri sehingga para calon pembeli tidak perlu datang ke Semarang ke tempat workshop untuk melihat mebel-mebel produksinya. Galeri furniturnya ada di jalan Wijaya 1 dan di daerah Kemang. Dari yang awalnya menyewa tempat untuk membuka galeri, mendorong Lena untuk terjun ke bisnis properti mengingat harga sewa tempat untuk galeri dan biaya operasional lebih mahal dibandingkan jika dirinya membeli tanah dan membangun sendiri galerinya. Dari situ usaha propertinya berkembang, ia pun mulai membangun town house. Tanah dan bangunan dimana Galeri Batik saat ini berdiri awalnya dibeli untuk dikembangkan menjadi townhouse. Namun setelah melalui sejumlah pertimbangan rencana awal tersebut dibatalkan hingga akhirnya berdirilah Galeri Batik yang diikuti dengan restoran/garden bistro dan homestay.
Setelah bisnisnya berjalan, Lena mengaku ia sempat berpikir bahwa dirinya bisa menjadi seperti sekarang ini karena pertolongan masyarakat atau orang kebanyakan yakni kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah karena mereka adalah pengguna kecap, sirup dan sambel terbesar. Hingga akhirnya Lena berpikir untuk terjun ke bidang sosial. “Jadi apa yang saya dapat dari masyarakat, saya ingin mengembalikannya”. Lena pun tercatat mendirikan LSM KPPS (Kelompok Pengusaha Peduli Sosial) yang kegiatannya menolong sesama secara spontan dan tidak formal. Ia juga sempat duduk sebagai Dewan Pendidikan Kota Semarang (DPKS), Sekretaris Persatuan Organisasi Tionghoa Semarang (Porinti), Sekretaris Perkumpulan Etnis Fu Qing Semarang, anggota Dewan Pengawas Yayasan Sekolah Nusaputera Semarang. Ia juga tercatat menjadi anggota LSM IFC Semarang, Interfaith Semarang, dan Bendahara Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat Beragama (Forkhagama). Lena juga menjadi pengurus di Yayasan Parahita yang menaungi kelompok dampingan perempuan pembatik. Ia juga tidak keberatan meeting room di kantornya digunakan untuk kegiatan LSM. Lena menuturkan bahwa yang penting rasa sosial untuk mengembalikan sesuatu kepada orang lain terutama untuk perempuan itu terlaksana. Karena baginya hal ini seperti nazar, bahwa ia harus mengembalikan itu pada masyarakat, dengan ikhlas dan tanpa pamrih. ”Itu membuat hati rasanya plong,” ucap Lena.

Lantas bagaimana Lena menghadapi kendala dalam menjalankan bisnisnya? Ia mengaku baginya kendala itu ada, tetapi tidak dipikirnya sebagai sebuah kendala. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai sesuatu yang harus dipelajari dan dikalahkan untuk bisa menang. Menurutnya hal itu adalah patokan yang selalu ia pegang. Lebih jauh Lena menambahkan bahwa kuncinya adalah tidak usah melihat kanan kiri. Boleh saja mendengar omongan atau nasihat dari orang lain, namun sebaiknya ditimbang baik-baik karena kita yang menjalani sehingga kita yang lebih tahu. Lalu bagaimana pendapatnya terhadap para perempuan yang berminat terjun ke dunia bisnis? Lena melihat selama ini banyak perempuan yang masih terjajah, baik terjajah oleh pikiran maupun perasaannya sendiri karena merasa sungkan, entah sungkan kepada suami atau sungkan kepada mertua. Hal ini menurutnya perlu dipahami dan dipelajari sehingga budaya semacam ini tidak terus-menerus dipegang, agar pada akhirnya perempuan dapat berkembang. Ia menambahkan bahwa memang dibutuhkan pengorbanan untuk mencapai suatu hal, dan pengorbanan setiap orang tidaklah sama.
Ketika ditanya bagaimana relasinya dengan keluarga, dengan anak-anak, Lena menjelaskan bahwa yang namanya masalah tetap ada, karena semua orang mempunyai masalah. Namun poinnya adalah bagaimana menanggapi masalah tersebut. Jika bisa diperbaiki, maka sebaiknya diperbaiki, namun jika tidak bisa, maka diperlukan sikap tegas. Karena menurutnya kita tidak selalu harus menggunakan perasaan kita untuk menyiksa diri sendiri. Sementara dengan anak-anak karena selisih usianya tidak jauh—dengan anak pertama hanya berselisih 20 tahun—maka relasinya menjadi seperti layaknya teman.
Bagaimana Lena memandang kesuksesan? Menurut perempuan yang memiliki sejumlah cucu ini apa yang dijalaninya bukanlah sebuah kesuksesan karena hidup seharusnya seperti itu. Baginya kesuksesan tidak dapat dihitung dengan uang, dengan harta yang ia punya. Tidak dapat dilihat dari bangunan yang ia miliki, karena bangunan itu baginya adalah pinjaman yang diberikan Tuhan. Kesuksesan menurut Lena adalah keseluruhan pribadi, bahwa dirinya sehat, menikmati hidup, menjalaninya dengan mengalir karena baginya sukses itu dari Tuhan, bukan dari manusia. Yang penting menurutnya setiap pagi kita berdoa, setiap melangkah keluar bismillah, supaya apa yang kita lakukan berkenan. Jika berkenan pada Tuhan, maka apa yang ada di dalam hati, di lidah dan di pikiran akan menjadi enak. Ia menambahkan kalau kita keluar sudah merasa dengki dengan orang, sudah jengkel dengan orang, maka hari yang kita jalani akan menjadi kusut, melakukan apapun jadi nggak benar. Karena itu Lena mengaku dirinya selalu menjaga supaya bagaimana ia tetap berbahagia dengan diri sendiri, mencintai diri sendiri. Karena menurutnya jika kita tidak bisa mencintai diri sendiri, maka bagaimana kita hendak mencintai orang lain. (Anita Dhewy)