Pada Kamis (6/6/2024) lalu, @america, pusat kebudayaan milik Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) yang terletak di Jakarta menyelenggarakan forum diskusi yang bertajuk, “Women in Finance: Financial Inclusion for Everyone”. Kegiatan yang diselenggarakan secara daring dan luring tersebut menjadi wadah bagi para perempuan yang ahli di bidangnya untuk mentransmisikan pengetahuan perihal literasi keuangan. Mengundang tiga pembicara perempuan, yakni Sekar Putih Djarot (Director Public Communication Group dari Otoritas Jasa Keuangan – OJK), Veronica Colondam (Founder & CEO Yayasan Cinta Anak Bangsa – YCAB), dan Melissa Marszalek (Commercial Attaché of FCS, U.S. Embassy Jakarta), diskusi yang dihadirkan kali ini memiliki urgensinya dalam mendukung perempuan untuk mengasah kemampuan pengelolaan keuangan sehingga mereka mampu berdiri secara independen tanpa bergantung dengan pihak lain. Sekar Putih Djarot membuka diskusi kali ini dengan memaparkan survei dari OJK perihal tingkat literasi keuangan. Datanya menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan pada perempuan mengalami peningkatan dan cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yakni 50,3 persen. Sekar mengemukakan bahwa hal ini disebabkan pada tahun 2019 hingga 2022, OJK memprioritaskan perempuan dalam strategi kebijakannya untuk program literasi keuangan bagi perempuan. Meskipun indeks literasi keuangan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, pada sisi inklusi, data menunjukkan keterlibatan perempuan dalam sektor keuangan masih rendah. Hasilnya menunjukkan tingkat keterlibatan perempuan berada pada 83,8 persen. Sementara itu, keterlibatan laki-laki dalam sektor keuangan mencapai 86 persen.
Meskipun jarak keterlibatan perempuan dan laki-laki tidak terlalu jauh, bagi Sekar terdapat beberapa hambatan kultural sebagai faktor yang berkelindan dalam kehidupan perempuan. Norma gender tradisional masih memandang perempuan tidak perlu untuk mengakses sumber daya keuangan sehingga seluruh kontrol akan pengelolaannya seringkali bertumpu pada laki-laki sebagai kepala keluarga. Perempuan pada konteks ini akhirnya memiliki otonomi yang lebih rendah pada keputusan finansial. Nilai-nilai yang patriarkal tersebut secara beruntun juga dipengaruhi oleh banyaknya pekerjaan perempuan yang masih berada pada ranah informal–penghasilan mereka cenderung tidak stabil–sehingga tidak tersisa uang untuk ditabung ataupun diinvestasikan. Kondisi sosial ini mengalami hambatan yang berlapis ketika merujuk pada perempuan-perempuan yang tinggal pada pelosok negeri. Keterbatasan akses terhadap institusi keuangan formal seperti bank menjadi faktor lainnya yang menghambat mereka memiliki keterlibatan pada konteks ini. Beberapa dari mereka yang berasal dari pedalaman juga seringkali tidak memiliki kelengkapan dokumen identitas diri, seperti KTP, sehingga hal ini menyulitkannya untuk membuka rekening ataupun meminjam kredit di bank. Pada gilirannya, Melissa Marszalek berdasarkan pengalamannya mengakui bahwa pengetahuan mengenai pengelolaan keuangan sangat sarat hubungannya dengan kondisi sosial budaya, tempat seseorang bertumbuh dan berkembang. Dirinya memberikan komparasi melalui pengalamannya di Amerika Serikat dan Maroko. Pada negara seperti Amerika Serikat, anak-anak telah diajarkan perihal pentingnya mengelola keuangan sejak masih sekolah melalui keterbukaan akses pekerjaan bagi mereka. Hal ini merupakan bentuk manifestasi dari budaya di negara Amerika sendiri. Namun, hal ini berbeda dengan Maroko dengan budayanya yang tidak terlalu memberikan anak remaja ruang untuk mencari penghasilan sendiri. Dengannya, keterbatasan kesempatan ini menghalangi perkembangan pengetahuan finansial mereka dibandingkan dengan anak-anak di Amerika Serikat. Veronica Colondam mengemukakan bahwa meskipun terdapat perbedaan kondisi budaya yang menyebabkan perbedaan peluang dalam mengakses pengetahuan finansial, upaya mengkatalisasi keterlibatan semua pihak termasuk perempuan pada posisi rentan dalam sektor finansial dapat dilakukan senapas dengan perkembangan teknologi. Sebagai cerminannya, pada pandemi COVID-19 lalu, Veronica dan timnya menciptakan chatbot berbasis aplikasi WhatsApp yang dirancang sebagai instrumen untuk meningkatkan literasi keuangan. Melalui instrumen ini, pengguna dapat mengakses banyak modul yang berkelindan dalam ranah edukasi keuangan. Hasilnya, banyak pengguna yang mengakses dan menyelesaikan modul-modul ini karena sifatnya yang fleksibel sehingga mudah diakses kapan saja dan di mana saja. Inisiatif semacam ini menjadi salah satu gebrakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran seluruh pihak mengenai literasi keuangan. Akses pengetahuan keuangan yang inklusif akan membuat individu memiliki kemampuan untuk mengelola uangnya secara efektif hingga memikirkan banyaknya utang yang ia ambil. Melalui pengetahuan keuangan yang baik, semua pihak pada akhirnya akan mampu memiliki otonomi yang setara pada sektor ini. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |