Universitas PTIQ Jakarta menggandeng lima kampus lainnya untuk menyelenggarakan kegiatan Launch and Discussion di Grand Sahid Hotel, Jakarta pada Jumat (12/7) lalu. Kegiatan yang dilaksanakan pada Prambanan Room lantai 2 tersebut mengangkat “Dinamika Perdamaian Berkelanjutan di Indonesia” sebagai tajuk untuk menguak keterikatan hidup perempuan pada implikasi sosial pascakonflik. Ketika berbicara mengenai konflik, budaya yang patriarki masih melekatkan perempuan dengan rangkaian diskriminasinya sehingga peran mereka seringkali terpinggirkan pada konteks ini. Nasaruddin Umar (Rektor Universitas PTIQ Jakarta) melalui pidatonya telah menyinggung bahwa diskriminasi tersebut semakin diperparah dengan adanya hasil tafsir agama yang misoginis sehingga menyebabkan perempuan menjadi korban. Sebagai upaya menguak kompleksitas dan ketajaman isu perempuan dalam dinamika perdamaian, kegiatan ini turut mengundang Rizki Amalia Affiat (Integral Knowledge Asia), penulis yang penelitiannya dikupas sebagai bahan diskusi. Adapun beberapa penanggap yang berkompeten di bidang ini, seperti Diah Pitaloka (Anggota DPR RI & Ketua Kaukus Perempuan Parlemen RI), Agung Budi Santoso (Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan), Hosianna Rugun Anggreni (Governance/Women, Peace and Security Programme Analyst, UN Women Indonesia), Heru Susetyo (Dosen dan Peneliti Hukum & HAM, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia) turut hadir dalam memperkaya diskusi yang ada.
Pada sesi pertama, Diah Pitaloka menekankan bahwa perempuan lebih dekat dengan ide mengenai perdamaian. Baginya, ketika terjadi suatu konflik yang menimbulkan kekerasan, peran sosial yang melekatkan perempuan pada ranah domestik akan membuat mereka cenderung mengalami beban ganda dibandingkan laki-laki. Tidak hanya melanjutkan kerja-kerja domestik untuk mengurus rumah tangga, perempuan juga menjadi orang yang memastikan anak-anaknya berada pada kondisi yang aman dan nyaman terhindar dari berbagai macam ancaman. Dengannya, kedudukan perempuan sebenarnya menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas keluarga dan komunitas di tengah-tengah konflik. Pada sisi lainnya, Rizki Amalia Affiat memaparkan penelitiannya yang menyasar dinamika gender setelah konflik di Aceh, Maluku, dan Bangsamoro Mindanao. Salah satu hasil penelitiannya mengungkap bahwa telah banyak kontribusi yang perempuan sumbangkan untuk menjaga perdamaian. Namun, hal ini tidak diikuti oleh langkah-langkah penyebaran pengaruh dan perubahan persepsi mengenai kepemimpinan mereka. Sebagai contoh aktualnya, meskipun kelompok perempuan telah memegang peran kepemimpinan dalam upaya pembangunan perdamaian, seperti Kongres Perempuan Aceh, jaringan antaragama di Maluku, hingga jaringan perdamaian di seluruh Bangsamoro, mayoritas masyarakat masih percaya bahwa laki-laki yang seharusnya memegang kekuasaan di ruang publik. Dengan demikian, perempuan berakhir menyalurkan kerja-kerjanya di belakang “panggung” semata. Agung Budi Santoso pada gilirannya memberikan tanggapan terkait dengan penelitian sentral yang diangkat pada diskusi kali ini. Dirinya menambahkan bahwa memang faktor budaya dan norma sosial berkelindan dalam kehidupan perempuan sehingga mereka menjadi lebih rentan terhadap risiko-risiko dalam konflik sosial. Tanggapan ini tidak hanya mengamini temuan bahwa perempuan sering menghadapi tantangan dalam menjalankan peran publik mereka, tetapi juga menyoroti perlunya perubahan dalam persepsi dan pengakuan terhadap kepemimpinan perempuan dalam membangun perdamaian yang berkelanjutan. Pada gilirannya di sesi kedua, Hosianna Rugun Anggreni mengingatkan bahwa Indonesia telah mengambil komitmen dalam memanifestasikan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (RAN P3AKS) sebagai upaya mengatasi tantangan berlapis untuk mencegah kekerasan dan memperkuat sistem perlindungan. Melalui konteks yang lebih luas, Hosianna turut menekankan bahwa aktualisasi dari RAN P3AKS juga melingkupi transformasi norma-norma sosial yang mendukung kesetaraan gender bagi perempuan sebagai kelompok rentan dalam suatu konflik. Heru Susetyo sebagai penanggap terakhir mengeksplisitkan bahwa kekerasan yang bersifat konflik justru diperparah oleh ketidaksetaraan gender yang terinternalisasi dalam budaya dan masyarakat. Dirinya menganggap kekerasan budaya ini mungkin tidak langsung memberikan dampak yang terlihat secara jelas, tetapi sedikit demi sedikit. Pada akhirnya, ada relasi kompleks antara kesetaraan gender dan dinamika kekerasan dalam konteks konflik. Ketika terdapat kekosongan sumber daya, kekuasaan, dan kesempatan yang setara di tangan perempuan, maka mereka jauh akan lebih rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan baik di dalam maupun di luar konflik. Dengannya, langkah-langkah dalam mengkatalisis kesetaraan gender tidak hanya berperan dalam menanggulangi kekerasan kepada mereka dalam posisi yang rentan, tetapi juga melahirkan fondasi yang solid bagi perdamaian secara berkelanjutan. (Ni Putu Putri Wahyu Cahyani) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |