Selain R.A Kartini, apakah anda pernah mendengar nama R.A Sutartinah, R.A Sri Sulandari, dan Nyi Siti Sukaptinah? Mungkin nama-nama tersebut terdengar asing di telinga banyak orang, tetapi siapa yang tidak mengenal Ki Hajar Dewantara dan sekolah Taman Siswa yang didirikan olehnya? Ketiga nama perempuan yang disebut di atas merupakan tiga tokoh penting dalam sekolah Taman Siswa. R.A Sutartinah merupakan nama asli dari Nyi Hajar Dewantara, istri dari Ki Hajar Dewantara yang juga mengurus dan meneruskan perjuangan Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa. Selama ini perjuangan dari R.A Sutartinah luput dalam sejarah kebangsaan Indonesia, tidak hanya beliau, perempuan-perempuan lain selain R.A Kartini pun luput dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia. Diskusi mengenai sejarah perempuan dalam konteks kebangsaan menjadi topik utama dalam Pendidikan Publik Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan yang berlangsung pada hari Kamis, 11 Oktober 2018 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Diskusi publik hasil kerjasama Yayasan Jurnal Perempuan dan Departemen Sejarah UGM tersebut terdiri dari dua sesi. Diskusi sesi pertama memiliki tema "Perempuan dalam Sejarah Awal Kebangsaan Indonesia" dan diskusi sesi kedua memiliki tema "Sejarah Perempuan dan Tantangan Kebangsaan Saat ini". Pada diskusi sesi kedua, Iqraa Runi (Redaksi Jurnal Perempuan), Meike Lusye Karolus (Peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM), dan Galuh Ambar Sasi (Alumnus Program Studi S2 Ilmu Sejarah FIB UGM) hadir sebagai pembicara. Acara diskusi yang berlangsung interaktif tersebut dipandu oleh Makrus Ali (Alumnus Program Studi Ilmu Sejarah FIB UGM) sebagai moderator. Pada sesi kedua ini, ketiga pembicara menyampaikan hasil penelitian mereka yang berupaya mengisi ruang kosong dalam sejarah yang selama ini melupakan narasi perempuan. Para pembicara membahas perempuan dalam konteks kebangsaan saat ini dengan perspektif dan juga topik yang berbeda satu dengan lainnya. Iqraa Runi membuka presentasinya dengan menyampaikan pertanyaan dari Virginia Woolf mengenai kebangsaan, "What does our country mean to me, an outsider? In fact, as a women, I have no country. As a women I want no country. As a women my country is the whole word.". Pernyataan dari Virginia Woolf tersebut menurut Iqraa menjadi pengingat bagi para feminis masa kini yang belum memiliki pertanyaan tentang kebangsaan. Lebih jauh Iqraa menjelaskan bahwa perempuan sesungguhnya telah mengintegrasikan diri dalam konteks kebangsaan yang dapat dibuktikan melalui jejak-jejak sejarah seperti Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1926, Kongres Sumpah Pemuda 1928, dan Kongres Perempuan 22 Desember 1928. Meski demikian, momen integrasi kepentingan politik perempuan dalam konteks kebangsaan yang ada saat ini sangat bersifat maskulin. Iqraa menjelaskan bahwa kepentingan perempuan yang dibicarakan masih dilihat dari sudut pandang maskulin dan melihat perempuan dalam posisi subordinat sehingga wacana kebangsaan belum mengutamakan kepentingan perempuan seutuhnya. Padahal bagi Iqraa, konsep kebangsaan yang dibutuhkan oleh perempuan sangatlah sederhana yakni untuk berjuang dan berkembang menjadi warga negara seutuhnya. Setelah paparan dari Iqraa, Meike Lusye Karolus, menyampaikan hasil risetnya yang merupakan hasil dari kajian budaya populer yakni analisis film yang mengkaji perempuan dalam film-film Indonesia yang bertemakan Indonesia Timur. Menurut Meike, definisi Indonesia Timur dalam film-film Indonesia masih kabur, artinya belum ada definisi yang jelas, apakah itu definisi geografis, ras atau level pembangunan. Dalam risetnya, Meike menggunakan perspektif dan teori feminis dalam mengkaji film Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara (2016) karya Herwin Novianto, Salawaku karya Pritagita Arianegara (2016), dan Marlina: Si Pembunuh dalam 4 Babakkarya Mouly Surya (2017).Meike menyampaikan analisanya terhadap film Marlina. Ia menceritakan bagaimana Marlina yang merupakan korban kekerasan seksual berusaha untuk mendapatkan keadilan. Meike menjelaskan bahwa cerita film Marlina sangat feminis, namun pembuatnya masih menggunakan bahasa patriarki yakni kekerasan. Meike melihat bahwa film-film tentang Indonesia Timur yang ada masih belum dapat merepresentasikan perempuan dan juga keseluruhan Indonesia Timur dalam kerangka yang setara dan adil. Kemudian, Galuh Ambar Sasi menyampaikan hasil penelitiannya yang melihat bagaimana para sejarawan hanya berfokus pada perempuan sebagai subjek penelitian, tanpa melihat relasi perempuan dengan kehidupan sekitarnya pada masa itu seperti konteks masa itu, ideologi yang berkembang, hingga kedudukan perempuan tersebut dalam keluarganya. Konsep keberagaman dalam kebangsaan di Indonesia dinilai Galuh sudah memudar bahkan tidak pernah terdengar lagi. "Saat ini konteks kebangsaan sangat lekat dengan agama, dalam hubungannya dengan perempuan, seringkali perempuan hanya dijadikan tempelan saja dalam dunia politik yang kerap dikaitkan dengan kebangsaan", tutur Galuh. Lebih jauh, Galuh menggarisbawahi pentingnya literasi untuk mengubah citra perempuan yang kini hanya sekadar 'tempelan' dalam kepentingan politik semata sehingga keterlibatan perempuan pada konteks perempuan tidak lagi terlupakan atau ditulis dengan konteks yang salah dalam narasi sejarah. Galuh juga mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal penting dalam menulis sejarah perempuan yaitu sebagai upaya untuk merayakan kebhinekaan sehingga keberagaman perlu diperhatikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah diksi ialah posisi perempuan dalam kaitannya dengan konteks masa itu dan sensitivitas sejarawan dalam melihat permasalahan perempuan. Setelah ketiga paparan dari pembicara, acara dilanjutkan dengan diskusi antara peserta dengan pembicara. Moderator memberikan ruang bagi peserta untuk memberikan komentar, masukan dan pertanyaan. Hasil paparan pembicara, riset dan diskusi pada sesi kedua ini menunjukkan bahwa perempuan dalam konteks kebangsaan masa kini masih menghadapi tantangan yang sama dalam konteks sejarah masa lalu, yaitu bagaimana perempuan dapat hadir dan dihadirkan dalam isu dan persoalan kebangsaan sehingga dapat menciptakan suatu narasi sejarah baru bangsa Indonesia yang tidak lagi melihat perempuan sebagai penghias belaka. (Bella Sandiata) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |