“Perempuan adalah kelompok paling rentan terkena dampak kerusakan ekologi”, ungkap Siti Maimunah (Koordinator Program Perempuan dan Agraria Sajogyo Institute) dalam Konferensi Pers Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air di Sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional pada 11 Juli 2017. Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air merupakan ruang untuk bertukar pengetahuan antara perempuan daerah yang selama ini melakukan upaya-upaya pemertahanan ekologi. Acara yang akan diselenggarakan pada 14-16 Juli 2017 di Pesantren Ath-Thariq Garut merupakan hasil kerjasama Sajogyo Institute dan Pesantren Ath-Thariq Garut. Menurut Siti Maimunah Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air adalah upaya untuk mempertemukan perempuan-perempuan dari berbagai daerah agar dapat saling bertutur dan belajar bersama tentang aktivisme mereka di daerahnya. Lebih jauh Siti Maimunah menuturkan bahwa perempuan adalah korban paling pertama akibat kerusakan tanar air, menurutnya tanah dan air adalah ruang hidup perempuan karena dekat dengan peran-peran domestiknya dan terkait fungsi reproduksi perempuan. Ia menceritakan bahwa di berbagai daerah perempuan menjadi aktor untuk mempertahankan lingkungannya dan hak atas tanah, seperti sosok Mama Aletta Baun yang berjuang di Mollo, Mbak Gunarti yang melawan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara dan Teh Nisa yang menjadi sosok sentral dalam merawat pengetahuan teologi ekologi di Pesantren Ath-Thariq Garut. Para perempuan-perempuan tersebut bagi Siti Maimunah sendiri adalah seorang pejuang yang tanggung, hal itu tentu tidak mudah, perempuan menghadapi berbagai tantangan dalam proses pemertahanan ruang hidupnya, stereotipe, stigma dan diskriminasi . Dalam pers rilisnya disebutkan bahwa Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air adalah ruang perjumpaan untuk merayakan, mensyukuri perjalanan, ruang belajar dan bertukar pengetahuan antar perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk ibu rumah tangga, petani, wirausaha, kepala dusun, penulis, pembuat film, pejabat pemerintahan dll. Lebih jauh, Jambore ini bertujuan untuk: (1) Menyediakan kesempatan bertukar cerita dan pengalaman dalam menghadapi krisis sosial ekologi di kampung; (2) Menyediakan pembelajaran, cerita-cerita, dan kesaksian pengalaman dari para perempuan kampung, dan perempuan peserta program Beasiswa Studi Agraria & Pemberdayaan Perempuan (SAPP); (3) Menyediakan tauladan yang menginspirasi dalam pengelolaan pertanian halaman, pangan mandiri, produk herbal, kerajinan, dan partisipasi perempuan pada pembangunan desa. Peserta Jambore ini meliputi penerima beasiswa SAPP, perwakilan perempuan dari desa-desa di Kapubaten Aceh Utara, Aceh Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), Tojo Una-una, Donggala, Sigi, Palu, Melawi, Kapuas Hulu, Kutai Kertanegara, Bulungan, Maluku Utara, Tabanan Bali, Bogor, Garut, Flores, Timor Tengah Selatan, Pati, Kota Samarinda dan Jakarta. Dalam konferensi ini Eko Cahyono, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute menyampaikan bahwa persoalan agraria tidak bisa dilepaskan dari persoalan perempuan dan agraria itu sendiri. Menurutnya percakapan tentang isu agraria masih didominasi oleh narasi besar laki-laki. Lebih jauh berdasarkan studi dan temuan Sajogyo Institute perempuan memiliki kedekatan dengan alam, Eko menjelaskan bahwa hilangnya sumber air bersih di perdesaan akan berdampak langsung pada perempuan, begitu juga dengan perampasan hak atas tanah, perempuanlah yang pertama-tama terkena dampaknya. Dengan demikian menurut Eko perbincangan tentang agraria juga harus mendengar suara-suara perempuan. Lebih jauh Direktur Sajogyo ini menjelaskan bahwa perempuan sebagai pejuang tanah air mengalami setidaknya tiga babak, yaitu perjuangan melawan penjajah, perjuangan melawan pembangunan dan perjuangan melawan neoliberalisme. Pada babak ketiga perempuan berjuang mempertahankan tanah air dari neoliberalisme, cirinya adalah perjuangan perempuan di perdesaan dihadapkan pada soal komodifikasi sumber-sumber agraria. Industri ekstraktif dan penambangan masif hingga ke desa-desa yang ruang hidup perempuan desa terancam. “Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mengalami kerentanan berlapis akibat kerusakan ekologi dan perampasan tanah”, ungkap Melani Abdulkadir Sunito, Pengajar di Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Ia mengungkapkan bahwa perampasan tanah bisa dilakukan dalam lingkup yang paling kecil, tentangga, komunitas, bahkan suami, misalnya akta tanah atas nama suami, kemudian laki-laki menjual tanah pada perusahaan. Menurutnya pola pembangunan sudah berubah, berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan hambatan untuk mempertahankan tanah airnya, mulai dari keluarga, komunitas, agama, hingga negara. Konferensi Pers menjadi menarik karena Sajogyo Institute mengundang Nyai Nissa Wargadipura Garut untuk menuturkan cerita dan pengalamannya mengelola Pesantren Ath-Thariq. Nissa yang terhubung melalui video call mengungkapkan bahwa pesantren Ath-Thariq disebut dengan pesantren ekologi selain karena menanam sendiri bahan pangannya, namun juga karena memberikan pengetahuan atau ajaran tentang teologi ekologi kepada santri-santrinya. Nissa mengungkapkan bahwa ia menggarap lahan pesantren untuk menjaga keseimbangan alam, kemandirian pangan, dan guna memperlambat perubahan iklim. Lahan pertanian dan perkebunan yang digarap tidak menggunakan pupuk kimia. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penting adanya Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, yaitu untuk saling bertutur dan bercerita tentang merawat alam antara perempuan di daerah. Narasi perempuan pejuang tanah air kerap kali tidak dimunculkan sehingga semakin tidak tampak persoalan yang dihadapi perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi)
Marcel Manek
14/7/2017 09:25:44 pm
Bicara dampak ekologi terhadap peremluan khususnya, tentu membutuhkan kerja advokasi yang panjang terlebih di tingkat lokal. Mengapa, karena rata-rata kebijakan di Daerah yang dibuat belum peka terhadap isu-isu perempuan. Banyak instrumen pemerintah sebenarnya yang mesti menjadi alat yang baik untuk menyuarakan hak perempuan namun masih terbentur dengan banyak hal seperti minde-set dessicion-maker, budaya birokrasi dan aspek lain yang ikut memperparah kondisi terkait isu-isu perempuan di daerah. Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |