
Dalam pers rilisnya disebutkan bahwa Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air adalah ruang perjumpaan untuk merayakan, mensyukuri perjalanan, ruang belajar dan bertukar pengetahuan antar perempuan dari berbagai latar belakang, termasuk ibu rumah tangga, petani, wirausaha, kepala dusun, penulis, pembuat film, pejabat pemerintahan dll. Lebih jauh, Jambore ini bertujuan untuk: (1) Menyediakan kesempatan bertukar cerita dan pengalaman dalam menghadapi krisis sosial ekologi di kampung; (2) Menyediakan pembelajaran, cerita-cerita, dan kesaksian pengalaman dari para perempuan kampung, dan perempuan peserta program Beasiswa Studi Agraria & Pemberdayaan Perempuan (SAPP); (3) Menyediakan tauladan yang menginspirasi dalam pengelolaan pertanian halaman, pangan mandiri, produk herbal, kerajinan, dan partisipasi perempuan pada pembangunan desa. Peserta Jambore ini meliputi penerima beasiswa SAPP, perwakilan perempuan dari desa-desa di Kapubaten Aceh Utara, Aceh Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), Tojo Una-una, Donggala, Sigi, Palu, Melawi, Kapuas Hulu, Kutai Kertanegara, Bulungan, Maluku Utara, Tabanan Bali, Bogor, Garut, Flores, Timor Tengah Selatan, Pati, Kota Samarinda dan Jakarta.
Dalam konferensi ini Eko Cahyono, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute menyampaikan bahwa persoalan agraria tidak bisa dilepaskan dari persoalan perempuan dan agraria itu sendiri. Menurutnya percakapan tentang isu agraria masih didominasi oleh narasi besar laki-laki. Lebih jauh berdasarkan studi dan temuan Sajogyo Institute perempuan memiliki kedekatan dengan alam, Eko menjelaskan bahwa hilangnya sumber air bersih di perdesaan akan berdampak langsung pada perempuan, begitu juga dengan perampasan hak atas tanah, perempuanlah yang pertama-tama terkena dampaknya. Dengan demikian menurut Eko perbincangan tentang agraria juga harus mendengar suara-suara perempuan. Lebih jauh Direktur Sajogyo ini menjelaskan bahwa perempuan sebagai pejuang tanah air mengalami setidaknya tiga babak, yaitu perjuangan melawan penjajah, perjuangan melawan pembangunan dan perjuangan melawan neoliberalisme. Pada babak ketiga perempuan berjuang mempertahankan tanah air dari neoliberalisme, cirinya adalah perjuangan perempuan di perdesaan dihadapkan pada soal komodifikasi sumber-sumber agraria. Industri ekstraktif dan penambangan masif hingga ke desa-desa yang ruang hidup perempuan desa terancam.
“Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mengalami kerentanan berlapis akibat kerusakan ekologi dan perampasan tanah”, ungkap Melani Abdulkadir Sunito, Pengajar di Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Ia mengungkapkan bahwa perampasan tanah bisa dilakukan dalam lingkup yang paling kecil, tentangga, komunitas, bahkan suami, misalnya akta tanah atas nama suami, kemudian laki-laki menjual tanah pada perusahaan. Menurutnya pola pembangunan sudah berubah, berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan hambatan untuk mempertahankan tanah airnya, mulai dari keluarga, komunitas, agama, hingga negara.
Konferensi Pers menjadi menarik karena Sajogyo Institute mengundang Nyai Nissa Wargadipura Garut untuk menuturkan cerita dan pengalamannya mengelola Pesantren Ath-Thariq. Nissa yang terhubung melalui video call mengungkapkan bahwa pesantren Ath-Thariq disebut dengan pesantren ekologi selain karena menanam sendiri bahan pangannya, namun juga karena memberikan pengetahuan atau ajaran tentang teologi ekologi kepada santri-santrinya. Nissa mengungkapkan bahwa ia menggarap lahan pesantren untuk menjaga keseimbangan alam, kemandirian pangan, dan guna memperlambat perubahan iklim. Lahan pertanian dan perkebunan yang digarap tidak menggunakan pupuk kimia. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa penting adanya Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air, yaitu untuk saling bertutur dan bercerita tentang merawat alam antara perempuan di daerah. Narasi perempuan pejuang tanah air kerap kali tidak dimunculkan sehingga semakin tidak tampak persoalan yang dihadapi perempuan. (Andi Misbahul Pratiwi)