Oleh Abby Gina Yayasan Jurnal Perempuan bersama Yayasan Plan Internasional Indonesia pada tanggal 3 Juni, 2021, menyelenggarakan sebuah webinar dengan tema "Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia dari aspek Sosial, Agama dan Hukum Pasca Pengesahan UU Perkawinan No. 16 tahun 2019". Adapun pembicara yang diundang adalah Dra. Hj Badriah Fayumi, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Kupi); Shagiar Maulana, Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa Kabupaten Lombok (KAPAD); Drs. Ahmad Nur MH, Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan Prof. Alimatul Qibtiyah Sag. MSi, Komisioner Komnas Perempuan. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya melanjutkan perjuangan pencegahan dan penghapusan perkawinan anak di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut, Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, membuka kegiatan dan memoderatori kegiatan. Ia menyatakan bahwa Pengesahan UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 adalah babak penting bagi diskursus penghapusan perkawinan di Indonesia, sebab batas usai perkawinan telah diubah yang semula 16 tahun bagi anak perempuan dan 19 tahun bagi anak laki-laki, disamakan menjadi 19 tahun untuk keduanya, tetapi pada praktiknya perkawinan anak masih tetap tinggi di Indonesia, hal ini disebabkan oleh masih banyaknya tantangan dari aspek ekonomi, sosial, agama dan budaya. Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia, memberikan pengantar kegiatan. Menurutnya isu perkawinan anak adalah isu besar yang menghambat pemenuhan hak anak khususnya hak anak perempuan. Indonesia berada pada peringkat ke-2 di ASEAN dan ke 8-di dunia. Dengan demikian Indonesia termasuk tertinggi untuk kasus perkawinan anak. Menurut Dini, sejumlah persoalan yang dihasilkan dari perkawinan anak antara lain menimbulkan kerugian ekonomi, meningkatkan angka kematian ibu, kerentanan mengalami kematian bayi, stunting, anak perempuan rentan putus sekolah, kerentanan dalam menerima kekerasan dalam rumah tangga, dan risiko perceraian. Berdasarkan riset yang dilakukan Plan dengan KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) pasca pengesahan dan pemberlakuan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai revisi UU Perkawinan, penurunan angka perkawinan anak belum terlihat secara signifikan. Riset tersebut juga menemui bahwa permohonan dispensasi meningkat tajam di 4 tahun terakhir. Buruknya lagi, permohonan dispensasi mayoritas dikabulkan (>90% permohonan dispensasi kawin dikabulkan). Menurut Dini dispensasi bisa menjadi celah kanalisasi dan legalisasi perkawinan anak jika tidak benar-benar diperketat. Badriah Fayumi, Wakil Sekjen MUI dalam kegiatan webinar tersebut memaparkan mengenai pengalamannya melawan perkawinan anak melalui komunitas agama. Berdasarkan pendekatan agama, perkawinan anak lebih banyak menghasilkan mudarat daripada maslahatnya, sehingga dalam fatwa KUPI, mencegah perkawinan anak hukumnya wajib. Selain pencegahan, pemberian perlindungan bagi anak yang telah masuk dalam perkawinan anak juga perlu dilakukan. Artinya, ketika anak perempuan telah terlanjur terjerat dalam perkawinan anak, salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak mereka adalah dengan mendorong agar anak perempuan tetap dapat melanjutkan pendidikannya. Melalui advokasi pendidikan di pesantren, Badriah mendorong agar setidaknya anak perempuan menamatkan pendidikan hingga tingkat Aliyah (SLTA). Pesantren adalah salah satu garda terdepan pencegahan perkawinan anak. Para pengurus dana guru pesantren berupaya memastikan agar orang tua dari anak perempuan tidak menikahkan perempuan di usia anak. Selain itu pesantren yang progresif mendorong agar anak perempuan menempuh pendidikan yang tinggi dan berkualitas. Pesantren berupaya memastikan anak perempuan, sekalipun dari kalangan ekonomi rentan dapat menamatkan pendidikan yakni dengan mencarikan beasiswa dan orang tua asuh. Shagiar, Ketua KPAD Lombok Barat, sebagai salah satu anak muda membagikan pengalaman advokasi pemenuhan hak anak di wilayahnya bersama YPII dalam program “Yes I Do”. Menurut dia dalam lima tahun terakhir, bersama komunitasnya, Shagiar berusaha memberikan edukasi pada masyarakat di desanya tentang dampak buruk perkawinan anak. Menurut Agi, kesadaran tentang bahaya dari perkawinan anak telah mulai dipahami oleh komunitas desanya, tetapi sayangnya, di masa pandemi angka kasus perkawinan anak menjadi sangat meningkat. Berdasarkan advokasi yang dilakukannya, alasan peningkatan perkawinan anak di masa pandemi adalah karena anak tidak memiliki kegiatan selain belajar di rumah. Banyak anak merasa tidak nyaman dengan kondisi pandemi ini dan merasa bahwa hanya pasangannya yang dapat mendengarkan dan mengerti perasaan mereka, sehingga ketika pasangannya menawarkan pernikahan, anak perempuan mengiyakannya. Menurut Agi, salah satu tantangan yang dialaminya dalam mengadvokasi pencegahan perkawinan anak adalah banyak orang tua yang menggunakan celah pada dispensasi perkawinan, agar anak tetap dapat melakukan perkawinan secara legal. Menyambung tentang isu tantangan dispensasi kawin, Ahmad Nur, Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan, memaparkan pengalamannya. Menurut dia sebetulnya aturan tentang dispensasi kawin adalah perangkat yang dihadirkan dalam upaya memberikan perlindungan bagi anak. Artinya, dalam situasi sangat mendesak di mana perkawinan anak dilakukan, maka anak tetap mendapat perlindungan. Namun demikian di dalam masyarakat, tujuan normatif ini cenderung tidak dipahami dan disalah gunakan. Menurut Ahmad, pengadilan agama dan pengadilan negeri adalah garda terakhir untuk mencegah perkawinan anak. Secara normatif kebanyakan orang sudah mengetahui bahwa batas usia perkawinan adalah 19 tahun, tetapi aplikasinya tidak demikian. Dalam pengalaman Ahmad sebagai ketua pengadilan agama di suatu wilayah di Indonesia, dia menambahkan syarat untuk dispensasi perkawinan anak yakni dengan adanya surat keterangan dokter/puskesmas dan rekomendasi dari dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Tujuan penambahan syarat administratif ini adalah memastikan bahwa tujuan aturan dispensasi perkawinan tetap pada tujuan normatifnya yaitu mencegah perkawinan anak, namun sekalipun dengan kondisi mendesak perkawinan anak tetap terjadi, anak tetap mendapat perlindungan hukum. Hanya saja dalam tataran aplikasi dan kesadaran masyarakat, tujuan ini sering dikesampingkan. Maka untuk merespons situasi ini, menurut Ahmad, lembaga pemberdayaan anak dan perempuan, lembaga pemerintah dan penegakan hukum bersinergi agar dispensasi kawin perlu memastikan tujuan normatif dari peraturan itu sendiri. Panelis terakhir, Alimatul Qibtiah dari Komisioner Komnas Perempuan, menyatakan bahwa data BPS 2017, perkawinan anak di atas 10% merata berada di seluruh provinsi Indonesia dan sebaran angka perkawinan anak di atas 25% berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini berarti 67% wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak. Alim memaparkan bahwa data dari Mahkamah Agung dispensasi kawin meningkat sangat signifikan sekitar 228% dari tahun 2017 hingga Juli 2020 terdapat 29.876 kasus dispensasi kawin. Menurut Alim salah satu faktor meningkatnya perkawinan anak adalah adanya propaganda nikah muda di kalangan milenial. Alim mengatakan bahwa pencegahan perkawinan anak dapat dilakukan melalui pendidikan komprehensif dan melalui pendidikan HKSR. Bagi dia, peran tokoh agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Alim menuturkan bahwa tokoh agama, perlu menyadari bahwa perlindungan anak dari segi agama harus mengacu pada prinsip umum yakni kemuliaan manusia (al-karāmah alinsāniyyah), hubungan kesetaraan (al-musāwah), kasih sayang (almawaddah wa ar-raḥmah), serta pemenuhan kebutuhan hidup (taufīr al-ḥājāt). Menurut Alim, perlu memahami dan mengampanyekan bahwa perkawinan anak bertujuan mencapai rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Untuk mencapai tujuan itu, maka, setiap pihak dalam perkawinan perlu memiliki kematangan jiwa dan raga, sehingga tolak ukur kematangan perkawinan tidak bisa hanya mengacu pada kematangan fisik. Berdasarkan paparan para panelis dalam webinar dan berdasarkan praktik baik yang telah dilakukan berbagai komunitas, salah satu strategi pencegahan perkawinan anak adalah melalui kampanye dan edukasi publik yang menyasar pada orang tua, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan komunitas. Kampanye dan pendidikan publik harus efektif untuk mengubah mindset, budaya, dan tradisi yang berkontribusi pada praktik perkawinan anak dan mampu merespons propaganda perkawinan anak. Artinya, pendekatan formal belum cukup berdampak mengubah praktik perkawinan anak di Indonesia. Selain perubahan pada aspek formal, revitalisasi budaya dan tradisi perlu dilakukan. Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |