Penggeledahan Paksa Kantor LBH APIK Jakarta, Bukti Lemahnya Perlindungan Hukum Perempuan Pembela HAM20/2/2020
Jakarta (19/2), Jaringan Solidaritas LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jakarta mengadakan konferensi pers guna menyampaikan perkembangan kasus penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan paksa yang dialami LBH APIK Jakarta pada 3 Februari 2020. Dalam kronologi kasus yang dibagikan terungkap bahwa kantor LBH APIK didatangi segerombolan orang yang mengaku berasal dari Komunitas Islam Maluku dan terjadi tindakan maladministrasi serta pembiaran oleh anggota kepolisian Polsek Matraman. Kejadian tersebut dilatarbelakangi oleh penanganan pendampingan hukum yang dilakukan oleh LBH APIK Jakarta terhadap DW atas rujukan Komnas Perempuan. Segerombolan orang tersebut memaksa untuk bertemu korban, dan bahkan menuduh LBH APIK telah menyembunyikan korban. Kuasa hukum LBH APIK Jakarta, R.R. Sri Agustine menyatakan pihaknya telah melaporkan kasus penggerebekan dan intimidasi yang dilakukan gerombolan tadi kepada Polres Jakarta Timur. Selain itu pihaknya juga mendatangi Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Polres Jakarta Timur untuk melaporkan 4 anggota kepolisian dengan kasus maladministrasi dan pembiaran terhadap tindakan penggerebekan, intimidasi, dan penggeledahan paksa yang tidak sesuai prosedur dan tata cara penggeledahan yang diatur. LBH APIK merupakan lembaga penyedia layanan bantuan dan konsultasi hukum bagi perempuan yang berusaha memperoleh keadilan. Sebagian besar kasus yang ditangani merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan baik dalam ranah privat (rumah tangga) maupun ranah publik. Perlindungan terhadap LBH APIK sebagai lembaga bantuan hukum dijamin oleh UU Bantuan Hukum. Sementara itu, dalam menjalankan profesinya, advokat di LBH APIK juga dilindungi oleh hak imunitas sebagaimana diatur dalam UU Advokat. Sekjen PERADI, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan bahwa peristiwa yang dialami LBH APIK merupakan serangan terhadap profesi hukum (advokat)—yang juga merupakan penegak hukum. Sugeng juga menegaskan bahwa negara/aparat keamanan diwajibkan memberi perlindungan ketika advokat sedang menjalankan tugasnya. R.R. Sri Agustine dalam konferensi pers menjelaskan bahwa peristiwa intimidasi yang terjadi menimbulkan trauma bagi staf LBH APIK dan membuat mereka tidak bisa bekerja secara maksimal dalam memberi layanan bantuan hukum. Upaya perempuan korban yang mencari keadilan di LBH APIK juga menjadi terhambat. Lebih jauh, Tunggal Pawestri, pegiat HAM menyatakan bahwa LBH APIK seharusnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan korban kekerasan. “Kasus penyerangan yang terjadi, tidak hanya berdampak pada staf yang trauma tetapi juga membuat perempuan korban kekerasan takut mendatangi LBH APIK”, ungkap Tunggal Pawestri. Menurut Tunggal, kejadian yang dialami LBH APIK sering juga dialami perempuan pembela HAM di pelosok kabupaten dan desa. Tunggal menegaskan bahwa ancaman bagi perempuan pembela HAM akan semakin buruk bila negara dan masyarakat tindak memberikan dukungan penuh terhadap pemenuhan hak korban dan hak pendamping hukum. Hal senada juga disampaikan oleh Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), “LBH APIK sebagai organisasi pembela HAM, termasuk untuk kekerasan berbasis gender yang khas patriarkis. Secara global, intimidasi seperti yang dialami LBH APIK juga banyak dialami oleh perempuan pembela HAM, karenanya kasus ini harus kita persoalkan”. Usman juga menjelaskan bahwa negara berkewajiban melindungi setiap pembela HAM dengan menciptakan suasana yang kondusif dan lingkungan yang mendukung serta tidak boleh mengintervensi kerja-kerja pembela HAM, selain menyediakan mekanisme perlindungan yang efektif. Dalam konteks tersebut, peran kepolisian adalah wajib memfasilitasi kerja-kerja pembela HAM. Menurutnya, intervensi oleh kepolisian seharusnya mampu mencegah kejadian yang membuat terhambatnya kerja-kerja pembela HAM dengan secara aktif menindak pelaku penyerangan maupun intimidasi. “Masih terus terjadinya berbagai kasus teror, intimidasi sampai penyerangan terhadap pembela HAM menunjukkan lemahnya respons negara dalam perlindungan terhadap perempuan korban dan perempuan pembela HAM,” lanjut Usman. Meskipun sudah ada Deklarasi Pembela HAM PBB sejak 1998 namun secara nasional masih belum ada payung hukum kebijakan yang melindungi pekerja HAM. Kebijakan terkait perlindungan terhadap pembela HAM baru terbatas pada aturan internal di Komnas HAM maupun dalam aturan internal kepolisian. Era Purnamasari dari YLBHI menyebutkan, “sudah ada beberapa aturan di internal kepolisian yang mengatur tentang perlindungan HAM bagi warga negara dan pembela HAM”. Era mempertanyakan sejauhmana komitmen kepolisian terhadap perlindungan HAM yang termuat dalam berbagai peraturan tersebut, hingga kini belum ada tindak lanjut atas laporan LBH APIK. Menurut Era, langkah hukum yang ditempuh LBH APIK dengan melaporkan peristiwa tersebut merupakan bentuk kepercayaan terhadap proses hukum. Era juga menekankan bahwa perempuan lebih rentan dalam menjalankan kerja-kerja pelindungan HAM sehingga perlu perlindungan yang spesifik. “Sebelum peristiwa ini, LBH APIK sendiri sudah pernah beberapa kali mengalami berbagai bentuk teror, intimidasi maupun penyerangan oleh pihak yang terganggu dengan kerja-kerja LBH APIK, namun selama ini hal tersebut diabaikan karena dianggap sebagai bagian dari risiko perjuangan,” ungkap Ratna Batara Munti, salah seorang Dewan Pengawas LBH APIK Jakarta. Akan tetapi menurutnya, hal tersebut tidak bisa terus dibiarkan terjadi. Ia menegaskan perlu ada kebijakan khusus yang melindungi pekerja HAM. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |