Rabu (19/9) bertempat di Gedung Femina, Setiabudi, Jakarta Selatan, Majalah Femina merayakan ulang tahun yang ke-46. Perayaan ini diisi dengan berbagai acara salah satunya diskusi "Bahaya Radikalisme dan Keluarga Kita" bersama Alissa Wahid, Koordinator Nasional GusDurian. Dalam presentasinya Alissa menyampaikan beberapa informasi penting terkait maraknya radikalisme agama. Menurtnya, menguatnya politik populisme di dunia mengundang munculnya paham radikal di berbagai negara termasuk Indonesia. “Kemunculan politik populisme bukan hanya menyerang satu kelompok spesifik, melainkan menyerang kelompok minoritas yang ada pada suatu tempat” tutur Alissa. Alissa menyebutkan ada empat tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini yaitu fenomena global radikalisme agama, kondisi masyarakat Indonesia yang cenderung fokus pada satu kelompok tertentu, pengaruh besar agama, dan penggunaan sentimen agama dalam politik. Menurutnya, demokrasi yang sehat sulit terwujud karena tantangan di atas menjadi lebih kompleks dengan konteks Indonesia yang memiliki keragaman suku, etnis, dan agama. Terlebih lagi saat ini banyak ditemukan sentimen agama dalam kampanye politik yang menyumbang paham anti toleransi dalam praktik demokrasi. Usai paparan dari Alissa, Hera Diani (penggagas Magdalene) mengajukan sebuah pertanyaan tentang pendidikan di sekolah yang belakangan ini justru sering mempromosikan konservatisme agama. Hera bercerita bahwa tidak jarang ditemukan pemaksaan ekspresi keberagamaan pada murid perempuan, seperti pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah. Menanggapi pertanyaan tersebut, Alissa menyampaikan tiga poin penting yang perlu dimiliki anak agar dapat bersosialisasi dan menerapkan nilai-nilai toleransi yaitu, nilai dan rasa toleransi, kecakapan hidup dan pengetahuan tentang keberagaman. Bagi Alissa, anak mungkin saja mendapatkan nilai dan pengetahuan yang berbeda dari luar lingkungan rumahnya, karena itu kemampuan kecakapan hidup atau lifeskills dibutuhkan untuk mengambil keputusan dan mempraktikan cara komunikasi yang baik. Alissa menambahkan, “Menetapkan garis batas ajaran keagamaan perlu diberikan kepada anak, agar anak memiliki pemahaman tentang aturan yang diterapkan di rumah dan di sekolah itu berbeda.” Sementara itu, Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan menambahkan bahwa JP 98 Perempuan dan Kebangsaan mendokumentasikan sejarah dan peran perempuan dalam menyusun martabat kebangsaan Indonesia melalui Kongres Perempuan Indonesia II 1928 yang seringkali dilupakan. Atnike menjelaskan bahwa di era Orde Baru peran perempuan dalam pembangunan bangsa diminimalisir, perempuan hanya dijadikan sebagai pendamping. Padahal pada era tersebut banyak terbentuknya organisasi perempuan yang bertujuan untuk pembangunan bangsa. "Beberapa tahun belakangan perempuan mengalami politisasi yang memperbesar rasa intoleransi dan menimbulkan segregasi di masyarakat dan itu adalah tantangan kita sebagai bangsa dan sebagai perempuan” tutur Atnike. Bagi Alissa perempuan di Indonesia seharusnya tidak kekurangan kisah tentang perjuangan perempuan sebab pahlawan perempuan dan para Nyai tidak hanya berdiam di dapur. Lebih jauh Alissa menjelaskan bahwa sentimen tentang pemimpin perempuan seringkali hadir untuk membuat perempuan menjadi pasif di ruang publik. Menurutnya, seharusnya pilihan yang tersedia bagi perempuan bukan hanya menjadi pasif tetapi juga aktif, termasuk aktif dalam mempromosikan keadilan dan membuat perubahan di ruang domestik dan publik. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |