Kamis, 1 Maret 2018, Yayasan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Pusat Studi Gender dan Kependudukan LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Universitas Hasanuddin Makassar menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 96 Feminisme dan Cinta dalam rangka Hari Perempuan Internasional 2018. Acara yang didukung Kedutaan Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste dan Ford Foundation ini dihadiri oleh 207 peserta dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi, mulai dari mahasiswa, dosen, aktivis perempuan, wartawan, pegiat HAM, ibu rumah tangga hingga birokrat. Cinta memang topik yang tak pernah selesai untuk diperbincangkan baik di dalam ranah akademis maupun personal. Dalam kajian feminisme justru yang personal adalah sesuatu yang politis, karena itu Jurnal Perempuan memandang bahwa cinta adalah topik yang perlu didiskusikan oleh publik. Pendidikan Publik JP 96 ini dibuka dengan sambutan dari Prof. Dr. Armin Arsyad (Sekretaris LP2M Universitas Hasanuddin). Dalam sambutannya Prof. Armin Arsyad mengungkapkan bahwa tema diskusi yang dipilih adalah tema yang menarik yaitu feminisme dan cinta. Menurutnya topik cinta tidak pernah usang untuk didiskusikan oleh semua kelompok umur. “Keputusan untuk menikah dengan siapa dan kapan adalah keputusan yang strategis, namun sayangnya laki-laki yang selalu mengambil keputusan tersebut”, tutur Prof. Armin. Dalam sambutannya Sekretaris LP2M Universitas Hasanuddin itu mengungkapkan bahwa ada budaya ketidaksetaraan yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia, yaitu dalam hal pengambilan keputusan untuk menikah yang jarang sekali melibatkan perempuan di dalamnya. Menurutnya praktik-praktik tersebut sangat merugikan perempuan dan perlu direvisi. Setelah sambutan dari Prof. Dr. Armin Arsyad, acara dilanjutkan dengan penyampaian keynote speech dari Atnike Nova Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan). Atnike mengungkapkan bahwa topik yang diangkat jurnal perempuan pada edisi 96 ini adalah topik yang sering menjadi kontroversi di dalam masyarakat, yaitu feminisme dan cinta. "Feminisme dan cinta sebagai sebuah konsep selalu diperdebatkan, namun justru kedua topik ini memprovokasi kami untuk mendiskusikannya lebih dalam", tutur Atnike. Lebih jauh ia menjelaskan bawah dalam relasi romantik, cinta tak melulu mendatangkan kebahagiaan dan suka cita, sebaliknya cinta juga berpotensi menjadi sumber kekerasan. “Dalam kajian JP 96, cinta romantik mengandung dimensi penindasan, subordinasi, kekerasan dan ketidaksetaraan. Namun hal itulah yang kemudian dikritik oleh para pemikir feminis, mereka justru memandang cinta dengan lebih positif, cinta dimungkinkan untuk menjadi sesuatu yang membebaskan”, Tutur Atnike. Selanjutnya, Atnike menjelaskan bahwa Jurnal Perempuan melalui terbitan JP 96 Feminisme dan Cinta hendak memperluas wacana cinta yang tak melulu menyoal relasi romantik sepasang kekasih. Ia menceritakan pertemuannya dengan seorang buruh migran dalam perjalanan dari Hong Kong menuju Indonesia, dalam pertemuan itu ia sempat berbincang-bincang dengan perempuan buruh migran tersebut yang ternyata sangat bahagia karena dapat pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan keluarga. Dari pertemuan tersebut Atnike berefleksi bahwa cinta yang menggebu-gebu bukan hanya dimiliki oleh sepasang kekasih, namun bisa juga dimiliki oleh siapapun bahkan seorang perempuan buruh migran. Mempercakapkan tentang cinta memang tak akan habisnya, cinta selalu hadir sepanjang hidup manusia. Menurut Atnike, cinta dapat berwujud dalam berbagai dimensi kehidupan, bukan hanya kehidupan personal seperti cinta romantik, cinta ibu kepada anak, cinta bapak kepada anak atau sebaliknya, namun juga kehidupan berbangsa dan bernegera. “JP 96 Feminisme dan Cinta memuat profil ibu Sumarsih, seorang ibu yang kehilangan anaknya saat tragedi 1998. Cinta kasih seorang ibu tersebut akhirnya bertransformasi menjadi cinta kepada kemanusiaan”, ungkap Atnike. Menurut Atnike, mendiskusikan tentang cinta tak cukup hanya sebatas relasi romantik. Kajian feminisme tentang cinta pada akhirnya membuka peluang untuk menafsirkan cinta dengan lebih setara, berkeadilan dan humanis. “Kesetaraan dan penghargaan yang mutual antara laki-laki, perempuan, orang tua, anak, negara, warga negara adalah prasyarat kelanggengan suatu hubungan dan konsep cinta yang membebaskan”, tegas Atnike. Setelah penyampaian keynote speech dari Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Duta Besar Kanada untuk Indonesian dan Timor Leste pun memberikan pidato singkatnya dalam bentuk video. Setelah pemutaran video dari Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste, para peserta diskusi disambut oleh tarian Paduppa duppa yang merupakan tarian khas suku Bugis Makassar. Tari Paduppa duppa adalah tarian untuk menyambut tamu kehormatan dan sebagai perwujudan doa untuk para tamu agar selamat. Setelah itu acara dilanjutkan dengan diskusi dengan topik yang mengacu pada tema JP edisi 96 yaitu Feminisme dan Cinta. Jurnal Perempuan menghadirkan Ery Iswary (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin), Naufaludin Ismail (Penulis JP 96) dan Rosmiati Sain (LBH APIK Makassar) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Diskusi tersebut berlangsung interaktif, para peserta antusias untuk bertanya dan berpendapat. Acara ditutup dengan penampilan kesenian Sulawesi Selatan yaitu Sinrilik yang keberadaannya hampir ditinggalkan oleh masyarakat. Sinrilik adalah kesenian tutur, sebuah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat musik. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |