
Setelah sambutan dari Prof. Hasanuddin, acara dilanjutkan dengan pidato kunci dari direktur eksekutif Jurnal Perempuan, Dr. Gadis Arivia. Gadis membuka pidatonya dengan mengungkapkan bahwa Aceh sangat istimewa dan dekat di hati. “Saat konflik DOM, Jurnal Perempuan ke Aceh untuk meliput situasi perempuan di wilayah konflik”, tutur Gadis. Ia juga mengungkapkan kebahagiaanya dapat bertemu dengan teman-teman perempuan yang berjuang untuk perdamaian dan kesetaraan perempuan Aceh. “Kita bisa lihat kasus Yuyun, bagaimana kekerasan seksual semakin sadis dan anak-anak perempuan kita menjadi korban. Saya rasa ini menjadi pemicu juga untuk para pejabat publik dan legislatif untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, ungkap Gadis dalam pidatonya. Gadis juga menyayangkan bahwa hukuman kebiri maupun hukuman mati untuk pelaku kekerasan seksual yang diajukan oleh pemerintah—sebagai bentuk reaksi—karena menurutnya itu tidak bisa dibenarkan sama sekali, perkosaan adalah bukan perihal seks tapi soal kuasa, power dan hasrat menaklukkan.
Dalam pidato kunci ini, Gadis Arivia menyebutkan bahwa keseluruhan artikel (8 topik empu) yang ada di JP 89 ini mengerucut pada 3 hal yang ingin Jurnal Perempuan angkat dan capai, pertama ialah mengajak publik untuk menghentikan kekerasan seksual. Kedua, menuntut disahkannya segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ketiga, memberikan pencerahan pengetahuan tentang apa sebenarnya kekerasan seksual itu. Gadis merasa masih banyak kesalahan paradigma mengenai kekerasan seksual itu sendiri, sehingga melahirkan kebijakan publik yang salah dan banyaknya statement pejabat publik yang tidak bertanggung jawab.

“Jadi sesungguhnya perempuan di bumi pertiwi ini sudah berdaya sejak dulu hanya budaya patriarki terus menggerus kekuasaan mereka, dihina dan dijadikan objek kekerasan. Saatnya untuk merebut kembali kemartabatan perempuan demi menyelamatkan generasi masa depan. Perempuan bersatu tak dapat dikalahkan!”, tegas Gadis di akhir pidatonya.
Setelah pidato kunci dari Gadis Arivia, acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Zubaidah Djohar, penyair perempuan Aceh yang sangat progresif. Zubaidah membawakan puisi yang berjudul “Puisi Mana Yang Akan Ku Bacakan”, merupakan karyanya sendiri yang dibuat khusus untuk acara ini dan sebagai kritik, kenang, dan rasa pilu perempuan, anak-anak, korban kekerasan seksual.
Setelah pembacaan puisi oleh Zubaidah Djohar yang menyita perhatian seluruh tamu undangan, acara dilanjutkan dengan diskusi. Jurnal Perempuan menghadirkan Samsidar (Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan), Amrina Habibi (Sekretaris P2TP2A Provinsi Aceh), Khairani Arifin (Dewan Pmbina PSG Universitas Syiah Kuala) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai moderator.
Anita Dhewy membacakan profil para pembicara serta pengalaman mereka memperjuangkan hak-hak perempuan di Aceh khususnya. Pembicara pertama yaitu Samsidar, merupakan seorang aktivis yang sudah lama berkiprah dan berkarya bukan hanya di Aceh tapi juga ditingkat nasional, Ia pernah menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan dan konsultan ahli gender untuk berbagai lembaga. Setelah memaparkan profil singkat pembicara pertama, Anita menyilakan Samsidar untuk memulai presentasinya perihal urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan bagaimana perkembangannya sekarang.

Setelah paparan dari Samsidar, Amrina Habibi yang menjabat sebagai sekretaris Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Aceh menyambung diskusi dengan presentasinya perihal upaya yang dilakukan pemerintah Aceh dalam penanganan korban kekerasan seksual. Pemerintah Aceh telah memberikan perhatian terhadap isu ini, seperti telah adanya Qanun nomor 6 tahun 2009 tentang pemberdayaan perempuan, dan Qanun nomor 11 tahun 2008 tentang perlindungan anak. Beberapa pasal disana menjelaskan tentang tanggung jawab dan kewajiban kepada pemerintah provinsi Aceh untuk memberikan dan mengembangkan pelayanan terpadu yang tentunya diharapkan dapat melayani, menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Secara spesifik ada satu Pergub yang menjadi panduan untuk pemerintah, yaitu Pergub nomor 109 tahun 2013 tentang standar pelayanan minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Aceh. Ini menegaskan bahwa Bupati, Gubernur, pemerintah daerah menetapkan anggaran dan kewajiban mengembangkan P2TP2A di seluruh kabupaten dan kota. Namun saat pelaksanaanya di lapangan, menurut Amrina masih banyak kendala teknis. “Kurangnya perspektif hakim terhadap korban dalam memeriksa perkara—seperti pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban dalam rangka memastikan bahwa korban dan pelaku tidak sama-sama menikmati—menjadi salah satu faktor yang akhirnya penyidikan kasus lagi-lagi menyudutkan korban”, ungkap Amrina.
Setelah paparan dari Amrina Habibi, Anita Dhewy selaku moderator menyilakan Khairani Arifin yang merupakan dewan pembina PSG Universitas Syiah Kuala untuk memaparkan presentasinya. Kahirani Arifin yang mengambil tema tentang sumbangan Feminist Legal Theory (FLT) terhadap kasus kekerasan seksual. Ia mengungkapkan bahwa hukum kekerasan seksual masih bekerja dengan menerapkan perspektif pelaku, sehingga dalam proses persidangan korban—yang tentu ada trauma—masih diragukan kesaksiannya. “Memasukkan pengalaman perempuan dalam proses substansi hukum amat penting untuk menciptakan hukum yang lebih adil”, ungkap Khairani. Ia juga mengungkapkan bahwa faktanya penyelesaian kasus kekerasan seksual banyak melalui mekanisme adat, sehingga jalur hukum formal tidak ditempuh dan yang lebih memprihatinkan lagi ialah kasus kekerasan seksual dianggap sebuah transaksi, pelaku diperbolehkan hanya membayarkan denda—yang berarti ini tentu tidak menggunakan perspektif korban. “Hukum disusun dan dibuat oleh orang-orang yang patriarkhis, ini yang sebabkan pelaku kekerasan seksual di Aceh tidak pernah tersentuh oleh hukum”, tutur Khairani.
Setelah paparan dari ketiga pembicara, Anita Dhewy membuka sesi tanya jawab kepada para peserta yang hadir. Beberapa pertanyaan seputar mekanisme hukum dan budaya patriarki berkali-kali disebut-sebut dalam pertanyaan maupun masukan-masukan dari peserta pendidikan publik yang hadir. Setelah sesi tanya jawab, seluruh hadirin tergugah kembali oleh puisi yang dibacakan Zubaidah Djohar, puisi tentang Yuyun, puisi tentang kemanusiaan, puisi yang menggambarkan perasaan Yuyun pada waktu itu yang amat pilu.
Peserta pendidikan publik sangat antusias dan ingin sekali ada gerakan yang masif sehingga diskriminasi terhadap perempuan bisa dihentikan segera mungkin. Kekerasan seksual bukan hanya urusan perempuan, sehingga hanya kaum perempuan yang berdiskusi, melainkan juga urusan dan kepentingan laki-laki, dan seluruh masyarakat Aceh. Seperti yang diungkapkan oleh Gadis Arivia dalam pidatonya bahwa Islam sebagai agama penuh kasih tidak pernah membenarkan untuk melakukan kekerasan kepada siapapun. Pemahaman dan rasa perdamaian yang sesungguhnya harus bisa dipahami dan dirasakan seluruh lapisan masyarakat Aceh. Rasa sakit Yuyun telah menjadi rasa sakit bersama, semua sedih, semua marah, semua berduka dan semua menuntut segera sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual! (Andi Misbahul Pratiwi)