Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19) pada Selasa (14/4) mengadakan kegiatan siaran pers yang dilakukan melalui kanal media Zoom. Koalisi Pekad terdiri dari sejumlah organisasi seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Pamflet Generasi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Satu Visi (ASV), Arus Pelangi, SEJUK, Purple Code Collective, LBH Masyarakat dan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC). Kegiatan tatap muka secara daring tersebut diikuti oleh sekitar 50 orang peserta. Baik dari kalangan pegiat HAM maupun media. Mengutip data dari WHO (2019), jumlah perempuan sebagai tenaga kesehatan secara global mencapai 70% dari total keseluruhan tenaga kesehatan. Di Asia Tenggara, mayoritas tenaga kesehatan adalah perempuan. Perawat misalnya, ada 79% perempuan yang berprofesi sebagai perawat. Sementara dari seluruh dokter di Asia Tenggara, 61% adalah perempuan. Di Indonesia, ada 71% atau 259.326 orang dokter perempuan (PPNI, 2017). Fakta ini menunjukkan, bahwa tenaga kesehatan perempuan berada di garda terdepan yang berisiko terinfeksi virus. Salah satu kendala yang dihadapi tenaga kesehatan berada di garis terdepan penanggulangan Covid-19 adalah kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD). Hal ini menyebabkan beberapa tenaga kesehatan, termasuk tenaga medis perempuan memberikan layanan tanpa APD yang sesuai dengan standar. “Pemerintah perlu mengatur harga jual dan ketersediaan APD bagi tenaga kesehatan karena banyak fasilitas kesehatan yang tidak menyediakan APD bagi petugas tenaga kesehatan, padahal harganya tidak murah,” ungkap dr. Teza Farida yang merupakan dokter dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Lebih lanjut, dr. Teza juga menyampaikan bahwa beberapa tenaga kesehatan perempuan memberikan layanan konsultasi daring dan tidak membuka layanan konsultasi tatap muka langsung--yang berdampak pada kualitas layanan, khususnya pada layanan terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi. Layanan pemeriksaan kehamilan yang berkurang karena dianjurkan untuk mendatangi fasilitas kesehatan hanya dalam kondisi darurat medis, hal ini berakibat perempuan hamil sulit mengetahui perkembangan kesehatan diri dan janinnya. Di sisi lain, pembatasan layanan kesehatan juga berdampak dalam penanganan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) berbasis konseling. Dengan usia kehamilan yang semakin membesar namun tidak selaras dengan pemberian layanan konseling yang komprehensif, akan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu sendiri baik secara fisik, psikis dan sosialnya. Layanan lain yang juga terdampak adalah layanan PMTCT (Penularan HIV pada perempuan hamil ke bayinya), hal ini disebabkan karena beberapa pusat layanan kesehatan tidak lagi memberikan layanan sehingga pencegahan HIV/AIDS terhadap perempuan hamil ke bayinya lambat untuk terdeteksi. Di beberapa klinik ataupun puskesmas, klien sulit mengakses layanan pemeriksaan VCT-HIV, dan belum bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk terlibat dalam pengurangan dampak dan resiko penularan. Selain persoalan layanan kesehatan, aspek pemenuhan kebutuhan juga menjadi isu kelompok rentan yang perlu diperhatikan, salah satunya LGBTIQ, khususnya transgender perempuan. Khanza Vina dari Sanggar SWARA menggambarkan kondisi kondisi LGBTIQ--yang sebelumnya sudah termarginalkan--semakin sulit di tengah pandemi. Physical distancing sebagai usaha preventif untuk menekan penyebaran pandemi Covid-19 membuat penghasilan sebagian besar komunitas transgender perempuan berkurang drastis. Dari asesmen cepat yang dilakukan oleh Sanggar SWARA, ada lebih dari 640 transgender di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaannya. Banyak dari mereka yang sulit mengakses bantuan sembako yang dibagikan oleh pemerintah hanya karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini membuat mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi diri, termasuk untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. “Sudah banyak (LGBTIQ) yang kesulitan bertahan hidup, terutama yang tidak punya cukup simpanan tabungan. Selain kebutuhan hidup keseharian, biaya sewa tempat tinggal juga menjadi persoalan. Penggalangan bantuan yang dilakukan terbatas untuk kebutuhan primer tersebut serta untuk ARV bagi yang memerlukan,” ujar Khanza. Khanza tidak yakin kelompok LGBTIQ yang dimiskinkan, dimarginalisasi, dan distigmatisasi ini bisa bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Di tengah situasi bencana nasional pandemi yang berdampak pada seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan, DPR tetap melanjutkan proses legislasi membahas sejumlah RUU. Bahkan sempat beredar kabar bahwa DPR akan mengesahkan RKUHP dalam tempo sepekan memasuki masa tanggap darurat Covid-19. RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja juga akan dilanjutkan pembahasannya. Hal tersebut sangat disesalkan Maidina Rahmwati, peneliti dari ICJR. Menurut Mai, DPR seharusnya lebih memperkuat peran dan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah dalam merespons Covid-19 serta memastikan anggaran yang tersedia sudah sesuai. Ia menambahkan, “Pilihan PSBB dan bukan karantina wilayah, seharusnya menjadi bahasan serius oleh DPR dan Pemerintah”. Dalam kesempatan tersebut, Mai juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap PSBB bukanlah merupakan tindak pidana. Tindakan pemerintah yang mengedepankan pemberian sanksi terhadap pelangar PSBB justru bertolak belakang dengan penanganan Covid-19. Menurutnya yang terpenting untuk situasi saat ini bukanlah penegakan ancaman saksi terhadap pelanggaran, tetapi mitigasi, solusi dan jaring pengaman sosial. Maidina menggarisbawahi perlunya memastikan pertimbangan gender dalam setiap kebijakan dan tindakan penanganan Covid-19. “Pemerintah harus punya instrumen yang kuat untuk mendata kelompok rentan,” imbuhnya. Perlunya memasukkan perspektif gender dalam respons pandemi Covid-19 juga disampaikan Sri Nurhayati Handayani, Konselor Trauma dari Yayasan Pulih. Perempuan yang biasa disapa Handa ini menjelaskan pandemi yang terjadi saat ini terjadi sangat khas, karena berbentuk virus yang dapat menginfeksi siapapun. Tidak seperti bencana alam dimana sumber daya manusia bisa didatangkan ke daerah lokasi bencana, pandemi ini mengharuskan semua orang untuk menjaga jarak sehingga konselor ataupun relawan tidak bisa turun langsung dan berhadapan dengan korban. “Negara bisa melakukan inovasi dengan membuat panduan yang lebih praktis dalam memasukkan perspektif gender dalam respon bencana ini,” pungkas paparnya. Dalam rilis yang dikeluarkan, semua pihak dalam Koalisi Pekad sepakat bahwa dalam konteks saat ini yang terpenting adalah mendorong Pemerintah untuk menangani Covid-19 dan agar DPR menghentikan pembahasan RUU yang bermasalah. Pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis dengan memperhatikan perspektif gender dan perlindungan terhadap kelompok rentan. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |