Pembukaan Indonesian Women's Forum 2018, Femina Ajak Perempuan Jadi Pemilih dan Pemimpin Cerdas8/11/2018
Rabu malam, 7 November 2018, diskusi "Perempuan dan Politik" menjadi pembuka rangkaian acara Indonesian Women's Forum (IWF) 2018 yang diselenggarakan oleh Majalah Femina. Acara yang diperkirakan akan mempertemukan lebih dari 2000 pengusaha perempuan se-Indonesia ini akan berlangsung pada 8-9 November 2018 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Dalam acara malam pembukaan IWF 2018 tersebut, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa hadir sebagai pembicara. Jurnal Perempuan merupakan salah satu knowledge partner dalam acara Indonesian Women's Forum 2018. Acara pembukaan yang diselenggarakan di Raffles Hotel Jakarta Selatan ini diawali dengan makan malam bersama para tamu undangan. Menurut Svida Alisjahbana (CEO Femina Group), pemilihan tema "Perempuan dan Politik" sebagai topik diskusi pada malam pembukaan IWF 2018 relevan dengan konteks tahun politik 2019 dan hasil riset yang dilakukan Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan tentang pemimpin pilihan perempuan. "Kita akan berbagi wawasan tentang kekuatan wanita dalam dunia politik, juga tentang pentingnya bagi perempuan dan juga laki-laki menjadi pemilih yang bertanggung jawab dan sadar saat menggunakan hak suaranya dalam setiap proses pemilu", jelas CEO Femina Group tersebut. Ia menyebutkan bahwa hampir setengah penduduk Indonesia ialah perempuan yaitu sebesar 49% dan sekitar 50.4% dari daftar pemilih potensial di tahun 2019 adalah perempuan. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan melakukan survei terkait pemimpin pilihan perempuan yang hasilnya cukup disayangkan karena 22% dari responden (perempuan) lebih memilih pemimpin laki-laki. Hasil riset tersebut menemukan tiga alasan perempuan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin karena identitas gendenrnya, yaitu karena laki-laki mobilitasnya lebih tinggi daripada perempuan, laki-laki dianggap lebih rasional, dan laki-laki dianggap lebih berwibawa. Menurut Svida hasil riset tersebut menjadi pemantik menarik untuk didiskusikan bersama. Khofifah Indar Parawansa dalam diskusi tersebut menuturkan sepenggal pengalamannya meniti karier di dunia politik. Ia menceritakan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk meyakinkan publik akan kemampuannya sebagai pemimpin di ruang publik. Ia menuturkan bahwa ia pernah ditolak oleh para Kyai untuk menjadi ketua Komisi 8 DPRI RI pada tahun 1993. "Seorang Kyai mendatangi saya, dan berkata, Khofifah pemimpin itu harus laki-laki", ungkap Khofifah. Ia menjelaskan bahwa perempuan sebagai pemimpin haruslah bernegosiasi dengan banyak hal, dengan dirinya, dengan lingkungannya dan dengan kemampuannya. Meskipun sebenarnya keputusan fraksi tidak bisa dipatahkan oleh siapapun, namun ia tetap rendah hati, alih-alih mengabaikan pernyataan Kyai tersebut, Khofifah justru mengunjungi satu per satu para anggota Komisi 8 untuk minta restu. "Saya sowani satu per satu, Kyai sepuh, yang ada di komisi 8 waktu itu, saya nuwun sewu keputusan fraksi saya ditugasi jadi pimpinan komisi 8, beliau menyampaikan: saya sebetulnya tersinggung dan berat hati tapi bu Khofifah sudah silaturahim ke rumah saya dengan ikhlas menerima bu Khofifah sebagai pimpinan saya", ungkapnya. Selain menyoal sulitnya mendapatkan dukungan politik di kalangan elit politik, Khofifah juga menjelaskan bahwa masyarakat juga perlu diberikan kayakinan untuk menaruh kepercayaan pada pemimpin atau politisi perempuan. Ia sendiri menyiapkan waktu khusus untuk menyapa dan mendengar pendapat masyarakat. Ia menceritakan bahwa pada masa kampanye Pilgub Jawa Timur, dirinya setiap hari pergi ke pasar. Menurutnya pasar adalah spirit dan energi yang baik untuk memulai hari, selain karena pasar adalah pusat berkumpulnya masyarakat yang masif tetapi juga karena di pasarlah ia dapat mendengar berbagai aspirasi masyarakat--yang mayoritas perempuan. Sebagai pemimpin perempuan ia sendiri merasa memiliki tanggung jawab untuk mendorong lahirnya pemimpin perempuan lainnya, yang ia tanamkan adalah optimisme bahwa perempuan bisa. Hal penting yang juga dituturkan ialah soal pembagian waktu antara pekerjaan dan keluarga. Khofifah menceritakan bahwa ia dan suaminya memiliki kesepakatan untuk berbagi peran di rumah tangga. Ia bertanggung jawab atas sekolah, kehidupan keagamaan dan perilaku anak. Sedangkan suaminya bertanggung jawab atas kesehatan, olahraga, kesenian anak-anak mereka. "Jadi di meja kerjanya (suami) itu ada KMS atau Kartu Menuju Sehat, jadi dia yang tahu anak saya imunisasi kapan, jadi dimanapun dia bertugas beliau akan kasih tahu saya dan beliau akan berusaha mengantarkan anak ke dokter, karena kesehatan tugas ayah", ungkap Khofifah. Menurutnya pembagian tugas seperti ini sangat membantu dirinya dalam menjalani karier politik. Atnike Nova Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, memberikan apresiasi kepada Khofifah Indar Parawansa karena aktivismenya sebagai politisi dan atau pemimpin perempuan, baik di level legislatif maupun eksekutif. Atnike pada diskusi tersebut menjelaskan bahwa perempuan masih mengalami berbagai hambatan untuk menjadi pemimpin. Ia menjelaskan bahwa bias gender terhadap pemimpin perempuan tidak hanya bekerja pada masyarakat umum tetapi juga pada diri perempuan. Merujuk dari hasil riset yang dilakukan Femina, Accenture dan Jurnal Perempuan, Atnike menjelaskan bahwa masih banyak perempuan yang merasa kurang yakin atas kemampuan perempuan menjadi pemimpin maupun politisi. "Hasil survei menunjukkan 70% lebih responden terlibat dalam pemilu untuk melakukan tugas sebagai warna negara, 60% lebih menyatakan mereka ikut dalam pemilihan karena ingin ada perubahan", jelas Atnike. Meskipun kedua hal tersebut mendominasi secara positif, artinya perempuan menyadari tanggung jawab sebagai negara dan perempuan memiliki keinginan untuk perubahan, namun pada perihal preferensi memilih pemimpin perempuan ada kesenjangan. Bias gender dari pemilih hanya salah satu faktor, menurut Atnike beban ganda yang dialami perempuan dalam ruang publik dan domestik juga menjadi faktor penghambat lainnya yang membuat perempuan ragu ataupun tertatih-tatih berkarier di ranah politik. Tidak adanya pembagian kerja di dalam rumah tangga membuat perempuan yang berkarier di dunia publik memiliki dua jam kerja, yaitu jam kerja di ruang domestik dan publik. Menurutnya penting untuk berkomunikasi dengan pasangan dan membangun relasi yang setara antara suami dan istri sehingga pembagian kerja bisa diharmonisasikan. "Hal ini tidak mungkin bisa diatasi tanpa ada kesadaran untuk saling membantu dalam pengelolaan rumah tangga, atau dalam kerja-kerja perawatan atau care work yang selama ini dilekatkan dengan perempuan", jelas Atnike. Menyoal kuota 30% untuk perempuan di legislatif yang tak kunjung tercapai, Atnike menegaskan bahwa kaderisasi partai politik selama ini pun tidak cukup memadai. Namun menurutnya hal tersebut bukan hanya spesifik berdampak pada kualitas caleg perempuan tetapi juga laki-laki. Tidak adanya kaderisasi kader partai yang sehat membuat perempuan memiliki hambatan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu mulai dari level dirinya, keluarga hingga komunitas dalam hal ini partai politik. "Caleg perempuan itu dicalonkan bukan dipersiapkan sebagai caleg yang mampu tapi hanya untuk memenuhi 30% ada, hal yang sama juga dialami caleg laki-laki", tutur Atnike. Lebih jauh ia menjelaskan tentang biaya politik di Indonesia yang sangat tinggi. Menurutnya kapabilitas perempuan untuk terjun di politik juga ditentukan dengan kapabilitas perempuan di dalam bidang ekonomi. Sehingga menurut Atnike, acara Indonesian Women's Forum 2018 juga sangat relevan dalam konteks perempuan dan politik, yaitu dalam mendorong partisipasi perempuan dalam politik. "Pada politik perempuan kita bicara mengenai aspirasi dan kepentingan perempuan di dalam politik, sedangkan perempuan dan politik itu kita bicara agensi perempuan dan bagaimana perempuan turut serta di dalam politik", jelas Atnike. Menurutnya perbincangan publik mengenai perempuan dan politik kerap kali sempit, hanya sebatas menjadi politisi atau pemimpin. Padahal menurut Atnike, perempuan dan politik juga adalah menyoal peran warga negara untuk turut aktif dan kritis dalam pemilu, pilkada, ataupun dalam berbagai keputusan politik. Dengan demikian, menurut Atnike, perempuan juga seharusnya memikirkan kepentingannya dalam politik, misalnya kepentingannya dalam perumusan undang-undang yang terkait kesehatan reproduksi, kekerasan seksual dan sebagainya. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |