Pada Senin (7/10/2024) lalu, Komnas Perempuan melangsungkan Kuliah Umum sebagai penanda Pembukaan dan Pelatihan Penghapusan Kekerasan Seksual Bagi Aparat Penegak Hukum, Pengada Layanan dan Pendamping dengan Perspektif HAMBG dan SPPT-PKKTP. Kuliah umum pembuka ini dilaksanakan secara daring dengan tujuan meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan seksual yang lebih luas. Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan melalui wakilnya, Olivia Chadidjah Salampessy, menyampaikan bahwa harapan dilaksanakannya pelatihan adalah untuk merefleksikan pengadaptasian Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) selama menjelang 3 tahun disahkan, baik dari tingkat penegak hukum, lembaga pelayanan, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga masyarakat. Komnas Perempuan menginisiasi Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) dengan tujuan membangun kesepahaman dan menguatkan perspektif dan keterampilan dari semua pemangku keterampilan dalam UU TPKS. APKS ini diharapkan menjadi ruang belajar bagi semua dalam memahami situasi korban kekerasan seksual dari sudut pandang penegak hukum, pemberi layanan, serta pendamping korban, baik dari tingkat pemerintah dan masyarakat guna memastikan korban mendapatkan hak-haknya. Salah satu tujuan dari pelatihan ini untuk mendorong tanggung jawab negara dan partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan kerja sama yang inklusif.
Gagasan mengenai kegiatan APKS telah dilakukan dari setahun lalu bersama jejaring masyarakat sipil. Tahun ini, APKS akan melakukan pendalaman pada isu penyiksaan seksual dan memfokuskan kepada Aparat Penegak Hukum (APH), lembaga penyedia layanan, serta pendamping korban dari 5 wilayah, antara lain: Sumatera Utara, Jawa Barat, Bali, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Kegiatan pelatihan APKS akan berlangsung mulai dari 7 Oktober secara online hingga dilaksanakan secara offline di Hotel Royal Kuningan Jakarta, pada 16-21 Oktober 2024. Kegiatan pembukaan pelatihan dibuka dengan dua sesi kuliah umum yang disampaikan oleh Sri Nurherwati, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2024-2029, dan Azriana, seorang pegiat HAM dan pengacara perempuan. Sri Nurherwati menekankan pentingnya UU TPKS dalam melindungi korban kekerasan seksual, khususnya terkait kasus perkosaan. Menurutnya, pengkategorian perkosaan sebagai kejahatan kesusilaan dalam undang-undang sebelumnya sering menempatkan korban dan pelaku dalam posisi yang seolah-olah setara, sehingga memicu reviktimisasi atau pengulangan trauma bagi korban. "UU TPKS tidak hanya terkait nilai kesusilaan dan keagamaan, tetapi juga melihat realitas kekerasan seksual sebagai akibat dari ketimpangan relasi kuasa," ujar Nurherwati. Ia menegaskan bahwa UU ini hadir untuk mengatasi tumpang tindih regulasi, melengkapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sebelumnya belum mengakomodasi pola relasi kuasa dalam kasus-kasus kekerasan seksual. UU TPKS memiliki filosofi untuk memudahkan korban dalam melaporkan kekerasan seksual, dengan jangkauan mulai dari pencegahan hingga pemulihan korban. Nurherwati juga menggarisbawahi pentingnya kerja sama lintas sektor, termasuk antara sektor pendidikan dan hukum, dalam memberikan pelayanan maksimal kepada korban. Menanggapi pertanyaan dari peserta, seperti Godefridus Samderubun dari Papua yang menyoroti praktik penyelesaian kasus kekerasan seksual secara adat, Nurherwati menegaskan bahwa kekerasan seksual adalah tindak pidana yang harus diselesaikan melalui jalur hukum, bukan adat. “Kita harus berani memegang teguh UU TPKS sebagai dasar penyelesaian hukum,” ujarnya. Pada sesi kedua, Azriana membahas lebih mendalam mengenai sejarah lahirnya UU TPKS, yang dipicu oleh tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Data Komnas Perempuan mencatat sebanyak 49.729 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang 2012–2021, baik di ranah privat, publik, maupun negara. “Kekerasan seksual adalah kekerasan berbasis gender yang berakar pada konstruksi sosial yang merendahkan martabat manusia,” jelas Azriana. UU TPKS hadir sebagai upaya hukum untuk mengatasi hal tersebut dengan menjadikan pelanggaran terhadap tubuh dan seksualitas sebagai tindak pidana yang harus dilindungi oleh negara. Dari perspektif HAM, UU TPKS telah membawa berbagai terobosan penting, seperti memberikan hak bagi korban untuk mendapatkan akses informasi dan perlindungan sejak sebelum, selama, dan setelah proses peradilan. Ini adalah langkah maju dibandingkan dengan sistem perlindungan sebelumnya, di mana korban hanya dapat menerima hak-haknya setelah ada putusan pengadilan. Salah satu terobosan penting dari UU TPKS adalah perluasan alat bukti dalam kasus kekerasan seksual, yang kini mencakup rekaman medis dan psikologis, serta keterangan saksi korban yang dianggap sah hingga di persidangan. “UU TPKS memudahkan korban untuk mendapatkan keadilan dengan memperluas alat bukti dan mempercepat proses hukum,” tegasnya. UU TPKS juga mengamanatkan keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan seksual, yang sejalan dengan prinsip perlindungan HAM. Selain itu, UU ini mengatur bahwa tindakan menghalangi atau tidak membawa kasus kekerasan seksual ke peradilan dapat dihukum, sehingga diharapkan mampu mengatasi praktik-praktik diskriminatif yang masih terjadi di masyarakat. Kegiatan ini menunjukkan komitmen kuat dari Komnas Perempuan dan berbagai pihak untuk memastikan penegakan UU TPKS yang berlandaskan pada perspektif gender dan HAM, serta mewujudkan sistem perlindungan yang lebih baik bagi korban kekerasan seksual di Indonesia. (Gloria Sarah Saragih) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |