Rabu (5/6/2024) lalu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Kemenkopolhukam RI) bekerja sama dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam menyelenggarakan Peluncuran Pelaksanaan Piloting Penerapan Pidana Bersyarat Pasal 14A-F Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai Proyeksi Pelaksanaan Pidana Pengawasan dan Kerja Sosial pada KUHP Baru melalui Pendekatan Keadilan Restoratif. Kegiatan yang dilaksanakan secara luring dan dihadiri oleh beberapa undangan secara daring ini dimoderatori oleh Erasmus A. T. Napitupulu (Direktur Eksekutif ICJR) dan menghadirkan R. M. Dewo Broto Joko P. (Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS), Pujo Harinto (Direktur Pembimbingan Kemasyarakatan dan Upaya Keadilan Restoratif Pemasyarakat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM–Kemenkumham), Leonard Eben Ezer Simanjuntak (Plt. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung), dan Y. M. Jupriyadi (Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung) selaku narasumber.
Sebelum diskusi dimulai, kegiatan ini diawali keynote speech oleh Hadi Tjahjanto selaku Menkopolhukam RI. Dalam pidatonya, Hadi menyampaikan bahwa kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP mendorong terjadinya reformulasi kebijakan hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Reformulasi ini mengarah pada pemidanaan bersifat edukatif dan korektif melalui metode non-pemenjaraan dengan mengacu pada prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Melanjutkan Hadi, dalam pemaparannya, R. M. Dewo Broto menerangkan adanya pergeseran paradigma dalam kerangka sistem pemidanaan modern. Saat ini, sedang terjadi pergeseran paradigma retributif menuju paradigma restoratif dimana pemidanaan tidak lagi dipahami sebagai pembalasan dan berfokus pada pemenjaraan, melainkan pemecahan masalah dan perbaikan kondisi di masa mendatang yang melibatkan peran korban, pelaku, dan masyarakat. Saat ini, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia memiliki beberapa persoalan besar. Pertama residivisme, yakni tindak pengulanagan kejahatan oleh mantan narapidana yang disebabkan oleh tidak optimalnya pembinaan dan kurangnya persiapan reintegrasi sosial yang diberikan. Kedua, overcrowding. Dewo melaporkan bahwa pada Juni 2024 Lapas di seluruh Indonesia yang memiliki kapasitas untuk menampung 140.424 penguni telah diisi oleh 265.532 penghuni. Seperti residivisme, persoalan overcrowding juga disebabkan oleh tidak optimalnya pembinaan yang disertai dengan rendahnya layanan kesehatan, kualitas hidup, dan pengawasan dalam lapas. Ketiga, karakter masyarakat yang punitif. Keinginan terhadap penghukuman yang ada di masyarakat sangat tinggi dan kerap kali tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Keempat, lemahnya peran korban. Saat ini, sebagian besar masyarakat masih awam dengan konsep keadilan restoratif yang memprioritaskan kepentingan dan hak korban. Kelima, terjadinya proses dehumanisasi terhadap pelaku tindak pidana yang terlalu lama berada di lapas. Keenam, sarana dan prasarana yang tersedia belum dapat menjawab kebutuhan penegakan hukum yang berkualitas. Metode pemidanaan dengan pendekatan keadilan restoratif memindahkan fokus pemidanaan dari pemenjaraan kepada alternatif pengawasan dan kerja sosial yang diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan lapas di Indonesia. Selama ini, pemerintah Indonesia telah berupaya membangun sistem pemidanaan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Akan tetapi, tidak terdapat petunjuk teknis yang detail dan menyeluruh yang dapat digunakan sebagai rujukan. Sehingga, Tim Koordinasi Penerapan Keadilan Restoratif yang terdiri dari unsur kementerian, lembaga, aparat penegak hukum, dan peneliti pada Koalisi Masyarakat Sipil yang dibentuk oleh Kemenkopolhukam pada tahun 2022 bermaksud meluncurkan modul penerapan pidana bersyarat agar dapat dijadikan pedoman. Meskipun demikian, proses penerapan pendekatan keadilan restoratif di Indoneisa tidak lepas dari tantangan-tantangan tertentu. Sejauh ini, penerapan pidana bersyarat hanya terbatas pada kasus pidana penjara paling lama satu tahun, kasus terdakwa yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, kasus dimana kerugian yang dialami korban ‘tidak terlalu besar’, dan kasus dimana terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban. Leonard berpendapat, persyaratan-persyaratan tersebut perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan konteks yang meliputi tindak pidana, kapasitas yang dimiliki pelaku dalam mempertanggungjawabkan tindakannya, dan dukungan terhadap korban guna membantu pemulihan. Menurutnya, keadilan restoratif berguna untuk memulihkan semua pihak, baik pelaku maupun korban. Apabila terdakwa mengalami hambatan dalam proses pertanggungjawaban atau korban mengalami kendala dalam proses pemulihan, maka negara perlu melakukan intervensi untuk menegakkan keadilan. Selain jaksa sebagai yang berperan sebagai dominus litis, pembimbing pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) pun memiliki peran krusial dalam melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap narapidana. Sejak masa praadjudikasi hinga pascaadjudikasi, pembimbing pemasyarakatan memiliki tugas untuk memberikan pendampingan kepada klien pemasyarakatan. Pembimbingan ditujukan untuk memberi bekal dalam meningkatkan kualitas mental dan spiritual, intelektual, keterampilan, dan kemandirian klien. Bersamaan dengan itu, pengawasan dilakukan untuk memastikan pelaksanaan syarat dan program pembimbingan telah diterapkan. Ketiga proses ini tergolong fundamental, sehingga klien dapat melakukan reintegrasi sosial. Pujo melaporkan beberapa contoh pembinaan dan pembekalan yang sudah dilakukan Bapas di berbagai wilayah di Indonesia, seperti penitipan anak di Jawa Tengah, pelatihan ecoprint di Sumatera Selatan, panen hasil pertanian di Jawa Timur, dan pelatihan kepribadian di Kalimantan Barat. Baik Leonard maupun Pujo menekankan pendekatan kolaboratif dalam pelaksanaan pidana bersyarat. Sinergi antara Pemerintah Daerah (Pemda), tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lembaga sosial kemasyarakatan setempat sangat diperlukan dalam mendukung proses ini. Dengan melihat urgensi pergeseran sistem pidana ini, keadilan restoratif menjadi salah satu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Selain itu, ia juga tercatut pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025-2045. Dalam pemaparannya, Y. M. Jupriyadi menegaskan bahwa keadilan restoratif yang dimanifestasikan ke dalam hukum pidana bersyarat tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pelaku, tetapi bermaksud mempertahankan kemanusiaan. Keadilan restoratif mengupayakan keberpihakan terhadap korban dengan memberikan kuasa dan memfasilitasi kebutuhan serta hak korban. Di sisi lain, keadilan restoratif memfungsikan pemidanaan untuk membuka ruang penyesalan dan harapan untuk perubahan bagi pelaku. Didukung dengan optimalisasi regulasi dan sinergi antara pemangku kekuasaan dan masyarakat, keadilan restoratif diharapkan dapat mereformasi sistem peradilan menjadi lebih baik. (Nurma Yulia Lailatusyarifah) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |