Pada tanggal 16/10/2024 lalu, Komnas Perempuan mengadakan acara peluncuran laporan bertajuk “Membongkar Stagnansi”. Acara ini diselenggarakan dalam rangka peringatan 26 tahun Komnas Perempuan dan sekaligus memperingati 25 tahun ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture–CAT) oleh Indonesia. Laporan ini mengungkap berbagai bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang masih terjadi di Indonesia, dengan fokus pada kekerasan terhadap perempuan. Acara ini diadakan secara bauran, yakni secara luring dan daring melalui Zoom dan siaran Youtube. Tujuan diselenggarakannya acara ini adalah untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendesak pemerintah agar segera melaporkan kemajuan dan hambatan dalam pelaksanaan konvensi tersebut, yang belum dilakukan sejak tahun 2007.
Laporan ini juga bertujuan untuk mendorong revisi kebijakan nasional yang lebih tegas dalam menghapus praktik-praktik penyiksaan, terutama terhadap kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyintas kekerasan lainnya. Komnas Perempuan juga berharap laporan ini dapat menjadi inspirasi bagi berbagai pihak untuk lebih memahami dan mengadvokasi isu-isu terkait penyiksaan. Acara ini dihadiri oleh beberapa tokoh penting, yakni Andi Yentriani (Ketua Komnas Perempuan) yang juga memberikan sambutan pembukaan dan penekanan pentingnya laporan ini sebagai alat advokasi. Kemudian, Alice Jill Edward (Pelapor Khusus PBB Anti Penyiksaan) memberikan pidato kunci secara daring yang memuji kemajuan Indonesia tetapi juga menyoroti tantangan dalam penegakan hukum terhadap kasus penyiksaan. Lalu ada perwakilan dari Ombudsman RI, Kementerian PPN/Bappenas RI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), juga Kejaksaan RI, yang masing-masing menyampaikan hasil temuan mereka terkait kekerasan dan penyiksaan yang masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Terdapat juga perwakilan dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian RI, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang turut berpartisipasi dalam diskusi mengenai langkah pemerintah dalam memajukan penegakan hukum dan kebijakan terkait penyiksaan. Laporan 25 Tahun Ratifikasi Konvensi CAT disusun oleh Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP), yang terdiri dari Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman dan Komite Nasional Disabilitas (KND), bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Peluncuran ini mengungkap fakta penting mengenai praktik penyiksaan dan perlakuan semena-mena yang berkelindan dengan kekerasan terhadap perempuan, anak, disabilitas dan kelompok rentan kekerasan berlapis, serta dalam konteks pelayanan publik di Indonesia. Peluncuran laporan ini menyoroti bagaimana kekerasan terhadap perempuan berakar pada sistem patriarki dan budaya yang memperkuat ketidaksetaraan gender. Praktik seperti perkawinan anak, Pemotongan dan Pelukaan Genitalia (P2GP) atau sunat perempuan, dan juga praktik perhambaan atau perbudakan yang masih terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur juga teridentifikasi dalam laporan. Hal ini merupakan bentuk pengendalian tubuh perempuan dan perwujudan kekerasan berbasis gender. Laporan ini mengungkapkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik tetapi juga kekerasan struktural yang dilegitimasi oleh norma sosial budaya, adat istiadat, serta kebijakan patriarkis yang tidak berpihak pada perempuan. Laporan ini juga memaparkan femisida dan pengucilan komunitas tertentu, seperti pengucilan orang yang hidup dengan HIV/AIDS dan kelompok minoritas agama sebagai bentuk kekerasan yang berlapis dan mencerminkan maraknya marginalisasi perempuan di berbagai sektor. Komnas Perempuan menekankan bahwa penanganan kekerasan terhadap perempuan harus mencakup perubahan sistemik yang mencabut akar ketidakadilan gender, bukan hanya tindakan sporadis atau responsif. Selama 25 tahun implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkapkan bahwa di Kalimantan Timur, anak-anak di sekitar lubang tambang mengalami situasi yang sangat memprihatinkan. Dalam periode tertentu, tercatat sekitar 50 anak, mayoritas berusia SD dan SMP, meninggal akibat kecelakaan di lubang tambang. Ruang bermain mereka telah berubah menjadi lokasi berbahaya yang hanya berjarak 10 hingga 3 meter dari tempat tidur mereka, tanpa adanya batasan yang jelas. Selain itu, tidak ada perusahaan yang bertanggung jawab atau dihukum atas lubang tambang yang ditinggalkan, sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka kebal hukum. Warga di Kalimantan Timur juga mengalami kerja paksa di sekitar lubang tambang. Mereka menghadapi berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Kerja paksa ini terjadi di kompleks-kompleks tambang, dan melibatkan tenaga kerja asing serta warga lokal, termasuk narapidana dari negara asal yang diperlakukan sama. Selain itu, terdapat laporan mengenai intimidasi dan kekerasan, termasuk penyalahgunaan hukum untuk menekan warga yang melaporkan pelanggaran atau kerusakan yang terjadi akibat aktivitas tambang. Situasi ini menciptakan situasi kerusakan lingkungan yang tak terhindarkan dan kerentanan berlapis bagi warga. Mereka tidak hanya kehilangan hak untuk hidup dengan aman, tetapi juga sulit mendapatkan hak keadilan dan perlindungan dari aktivitas tambang yang merugikan mereka. Warga di sekitar lubang tambang mengalami penderitaan yang berkepanjangan akibat eksploitasi dan pelanggaran hak yang sistematis. Aktivitas tambang mengakibatkan hilangnya mata pencaharian bagi masyarakat lokal, terutama nelayan yang kehilangan akses ke sumber daya laut. Dulu, mereka dapat mencari udang dan kepiting, tetapi kini wilayah tersebut telah tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Lingkungan di sekitar area tambang mengalami kerusakan yang parah, termasuk pencemaran air dan tanah. Sungai-sungai yang sebelumnya bersih kini dipenuhi dengan limbah tambang, mengubah ekosistem dan mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna di daerah tersebut. Dalam hal ini, dampak tambang tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup kesehatan, keberlanjutan lingkungan, termasuk hak untuk hidup, hak generasi penerus yang semuanya berkontribusi pada peningkatan kemiskinan di kalangan masyarakat yang terdampak. Terdapat laporan bahwa dengan menggunakan tokoh agama sebagai alat komunikasi bencana alam yang dipolitisasi dengan mengaitkannya dengan narasi agama. Misalnya, bencana bisa dianggap sebagai hukuman atau ujian dari Tuhan, yang dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah struktural yang lebih dalam, seperti korupsi atau pengelolaan sumber daya yang buruk. Secara keseluruhan, bencana alam tidak hanya dilihat sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai alat politik yang dapat digunakan untuk memanipulasi masyarakat dan memperkuat kekuasaan tertentu. Laporan 25 Tahun Ratifikasi Konvensi CAT memberikan lima rekomendasi utama. Pertama, pentingnya penguatan kerangka hukum dan kebijakan, termasuk memastikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menolak bukti yang diperoleh dari kekerasan. Kedua, pentingnya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum untuk menangani kasus penyiksaan secara efektif. Ketiga, perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang lebih kuat untuk mencegah impunitas. Keempat, meningkatkan kesadaran publik mengenai bahaya penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Kelima, menguatkan Komite Nasional Pencegahan Penyiksaan (KUPP) sebagai mekanisme independen. Acara ini menjadi momentum penting untuk mendorong langkah-langkah nyata dalam menghapus penyiksaan dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dengan adanya laporan ini, diharapkan ada kemajuan yang lebih signifikan, langkah-langkan konkrit pemerintah dalam penanganan kasus-kasus kekerasan berbasis gender, kerusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya manusia, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia yang masih terjadi di Indonesia hingga hari ini. (Putu Gadis Arvia Puspa) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |