Senin (26/11) bertempat di Ruang Soemadipradja dan Taher, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengadakan acara peluncuran buku Marrying Young in Indonesia. Acara ini mengahadirkan Musdah Mulia (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Afwah Mumtazah (Rektor Institut Studi Islam Fahmina) sebagai pembicara dan Pinky Saptandari (Dosen Antropologi Universitas Airlangga) sebagai moderator. Acara tersebut terlaksana atas kerjasama berbagai pihak diantaranya, Fakultas Hukum Universitas Leiden, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste. Pada acara tersebut, Pinky Saptandari mengungkapkan bahwa pernikahan anak seharusnya menjadi isu yang dibahas oleh anak muda. Menurutnya, pernikahan anak lebih sering disuarakan oleh orang yang sudah tua, sedangkan suara anak muda jarang terdengar pada isu tersebut. Menurut Pinky penting bagi anak muda untuk menyuarakan penolakkan pernikahan anak. “Buku ini menarik karena kita akan menemukan anak muda justru berlomba membahas dan meneliti tentang pernikahan anak, buku ini juga terdiri dari berbagai tulisan terbaik dari yang terbaik yang telah kami pilih melalui proses blind review”, tutur Pinky. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia ini merupakan kumpulan karya ilmiah yang berupaya menghadirkan pembahasan pernikahan anak dengan perspektif yang berkeadilan terhadap hak anak. Sementara itu, Afwah Mumtazah menjelaskan perspektif Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam melihat persoalan pernikahan anak. “Pada awal diresmikannya KUPI, kami sepakat bahwa ulama perempuan tidak memiliki posisi strategis dalam mengatur kebijakan, karena setiap ada persoalan terutama di daerah, yang memiliki peran penting adalah ulama laki-laki sedangkan yang perempuan terpinggirkan menjadi pelengkap”, tutur Afwah. Selanjutnya Afwah menekankan bahwa tidak adanya ulama permepuan pada posisi strategis membuat persoalan perempuan yang terjadi di daerah seperti KDRT, migrasi, dan pernikahan anak terus berlanjut. Di awal KUPI terbentuk terdapat tiga fokus utama yaitu menyelesaikan persoalan KDRT, buruh migran, dan pernikahan anak. Hanya saja selama perjalanan KUPI menemukan bahwa pernikahan anak adalah sumber masalah dari KDRT, kehamilan tidak diinginkan, feminisasi buruh migran, dan kemiskinan perempuan. Menurut Afwah, KUPI memiliki posisi yang strategis untuk mengubah tradisi pernikahan anak yang terjadi di daerah-daerah. Oleh karena itu, KUPI terus melatih dan melakukan kaderisasi bagi ulama-ulama perempuan untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan paham resiprokal. Kemudian, Mudah Mulia menyatakan bahwa isu pernikahan anak sebenarnya telah tuntas pada tahun 1998. Namun, ia menyayangkan jika sampai hari ini masih banyak yang menyuarakan pernikahan anak. “Jika kita berbicara tentang pernikahan muda, saat ini ada gerakan Indonesia Tanpa Pacaran (ITP), gerakan tersebut membuat saya bingung karena mengapa untuk menghindari zina seseorang harus menolak pacaran, padahal untuk menolak zina, kehamilan tidak diinginkan kita cukup mengajarkan seorang anak untuk memahami kesehatan reproduksi, moral, dan edukasi seksual agar mereka bertangungjawab”, tutur Musdah. Menurut Musdah dalil agama sering dijadikan alasan untuk melegitimasi pernikahan anak. Oleh karena itu, perlu adanya reinterpretasi ajaran agama agar muatannya bisa menjadi humanis dan relevan untuk kehidupan saat ini. Musdah juga menekankan bahwa melakukan reinterpretasi bukan berarti mengubah ajaran suatu agama, namun mengisi pemahaman pada nilai yang diinterpretasi. Musdah juga menyayangkan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di beberapa daerah cenderung mengajarkan ajaran-ajaran konservatif dengan pemahaman jenis-jenis perbuatan yang haram dan halal, tidak jarang pernikahan anak dianggap sebagai sebuah perbuatan yang halal. Menurut Musdah, ajaran seperti itu yang kemudian membentuk perspektif seorang anak terisi oleh hal yang konservatif. “Pernikahan anak pada dasarnya adalah sebuah tradisi yang sangat tradisional, kemudian dipertahankan dengan alasan-alasan tidak masuk akal, padahal apabila kita kritis, pernikahan anak merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga orang-orang yang kritis harus terus bersuara dan melakukan rekonstruksi budaya”, tutur Musdah. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |