Kamis, 14 Juli 2017 kuliah kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VII: Feminisme Laki-laki pertemuan kedua membincang mengenai “Laki-laki, Kekerasan, Gender, dan Feminisme”. Dr. Nur Iman Subono (Boni) mengampu kelas pada malam itu. Boni membuka kelas dengan menceritakan pengalamannya menjadi feminis laki-laki dengan mengikuti workshop laki-laki anti kekerasan bersama Michael Kaufman, salah satu pendiri kampanye pita putih (white ribbon campaign) yang bekerja untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, yang dihadiri sejumlah laki-laki dari berbagai negara yang mendukung kampanye laki-laki anti kekerasan terhadap perempuan. Setelah mengikuti workshop, Boni bersama beberapa aktivis membuat gerakan dan deklarasi CANTIK (Cowok-cowok Anti Kekerasan). Kemudian Boni melanjutkan kelas dengan membahas CATAHU (Catatan Akhir Tahun) 2016 dari Komnas Perempuan yang memperlihatkan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat sejak 2010. Hal ini menurut Boni menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang taken for granted atau wajar dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja baik dilakukan oleh negara, terjadi di dalam pernikahan, maupun dalam bentuk femicide atau pembunuhan terhadap perempuan hanya karena mereka perempuan. Fakta menunjukkan bahwa 99% pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Uniknya, laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan ini seringkali mengaku tidak mendukung kekerasan terhadap perempuan. Boni kemudian memaparkan temuan dari Carr dan VanDeusen: Risk Factors for Male Sexual Aggression on College Campuses tahun 2004 mengenai laki-laki pelaku kekerasan seksual. Pertama, pelaku kekerasan seksual umumnya mengalami kekerasan seksual/fisik di masa kecil, meski tidak selalu demikian. Kedua, kebanyakan laki - laki melakukan kekerasan seksual di komunitas yang tidak memberikan penghukuman terhadap kekerasan seksual. Ketiga, pelaku kekerasan seksual meminimalkan jumlah korbannya. Keempat, pelaku kekerasan seksual lihai dalam merasionalisasi perbuatannya dan yang kelima, tidak ada profil tipikal atau ciri-ciri khusus dan spesifik pelaku pemerkosaan. Boni memberikan penjelasan yang lebih kompleks mengenai alasan laki-laki melakukan kekerasan. Menurutnya, ada dua poin terkait perilaku laki-laki yang kerap kali merasionalisasikan tindakan kekerasan terhadap perempuan yang ia lakukan. Pertama, mayoritas laki-laki umumnya tidak memiliki karakter yang menjurus melakukan kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak. Kedua, masyarakat “permisif” yang mendorong laki-laki memiliki keyakinan agresif dan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri (self-expression) yang diterima dalam masyarakat. Karena masyarakat terus-menerus percaya bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan adalah sesuatu yang wajar, laki-laki umumnya terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda dalam memilih posisinya terhadap isu kekerasan terhadap perempuan. Pertama, mereka sebagai pelaku kekerasan yang seksis atau berbasis gender. Kedua, bukan sebagai pelaku melainkan menjadi silent majority, yang berarti bersikap pasif, dan seringkali, langsung maupun tidak, permisif terhadap berbagai bentuk kekerasan dan seksisme di sekitarnya. Ketiga, sebagai pelaku yang menentang berbagai bentuk kekerasan dan seksisme, dan mengajak berbagai pihak, khususnya laki-laki, untuk berbuat hal sama (vocal minority). Boni menganjurkan kepada semua laki-laki untuk mengambil posisi yang ketiga sebagai vocal minority karena kekerasan terhadap perempuan tidak akan berhenti kalau laki-laki terus permisif dan mengangap wajar kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki secara umum harus ikut bertanggung jawab atas kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan lain dalam masyarakat karena sebagian besar pelaku kekerasan adalah laki-laki. Sudah sewajarnya laki-laki bisa memahami, memiliki, dan bertanggung jawab atas pengetahuan yang lebih baik terhadap sikap, tingkah laku dan persepsi mereka sendiri, serta, laki-laki dewasa biasanya menjadi role model atau teladan bagi anak laki-laki yang lebih muda. Sepakat dan mengutip Kaufman, Boni mengemukakan bahwa ada tujuh akar kekerasan yang kerap kali dilakukan oleh laki-laki dan disebut dengan 7P, yaitu: Patriarchy (Patriarki), Privilege (Privilese/Hak-hak istimewa), Permission (Permisif), The Paradox of Men’s Power (Paradoks Kekuasaan Laki-laki), The Psychic Armor of Manhood (Baju Zirah Kedewasaan), Past Experience (Pengalaman Masa lalu), Masculinity as a Psychic Pressure Cooker (Maskulinitas sebagai Mesin Tekanan Fisik). Akar pertama adalah patriarki. Secara harfiah patriarki artinya kekuasaan bapak (Patriarch). Awalnya, jenis keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki (patriarch) di dalam sejarahnya merupakan rumah tangga besar yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya di bawah kekuasaan si laki-laki penguasa tersebut. Seiring berjalannya waktu, sistem kekuasaan laki-laki menguasai berbagai lini kehidupan dan bersifat mendarah daging dan lekat sekali dengan kebudayaan masyarakat di seluruh dunia, termasuk hubungan kuasa laki-laki yang menganggap bahwa menguasai perempuan adalah kewajiban dan hak seorang laki-laki. Pada akhirnya, sistem patriarki membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara termasuk melalui kearifan lokal (local wisdom). Menurut Boni, kita perlu kritis terhadap kearifan lokal yang terus-menerus mendiskreditkan dan membuat perempuan sebagai individu yang tersubordinasi di dalam masyarakat. Akar kedua kekerasan yang dilakukan laki-laki adalah privilese. Pengalaman laki-laki yang melakukan kekerasan tidak harus berkisar pada keinginannya untuk mempertahankan kekuasaannya, seringkali kekerasan sebagai akibat logis dari perasaan atau pengertian laki-laki bahwa ia memiliki hak-hak istimewa tertentu dalam hidupnya seperti menganggap bahwa perempuan adalah individu yang harus ia didik dan apabila perempuan tersebut berbuat suatu kesalahan, adalah hak seorang laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan untuk memberikan pelajaran berupa kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, tidak selalu ketidaksetaraan kekuasaan yang menyebabkan kekerasan, tapi kesadaran, atau seringkali ketidaksadaran, akan pemahaman bahwa ia memiliki hak-hak istimewa tertentu adalah penyebabnya. Permisif adalah hal ketiga yang menjadi dasar laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, apapun penyebabnya, sebetulnya bisa tidak berlanjut atau berhenti jika tidak ada kondisi permisif, baik terbuka maupun terselubung, dari adat, penegakan hukum, peraturan, atau ajaran agama. Tindakan kekerasan laki-laki seringkali justru dirayakan seperti dalam olahraga maupun media dan anehnya dianggap suatu kewajaran apabila laki-laki berlaku kasar. Sifat permisif ini kemudian menjadi akar historis dari masyarakat patriarki yang menggunakan kekerasan sebagai cara utama menyelesaikan perselisihan dan perbedaan, baik diantara individu, kelompok laki-laki, maupun bangsa. Keempat, paradoks kekuasaan laki-laki atau disebut juga sebagai “men’s contradictory experiences of power” yakni cara laki-laki mengkonstruksi kekuasaan individual dan sosialnya adalah sebuah paradoks karena merupakan sumber ketakutan, isolasi, rasa tidak percaya diri, dan kesakitan bagi laki-laki itu sendiri. Kelima, baju zirah kedewasaan menjelaskan bahwa akar kekerasan laki-laki juga merupakan hasil struktur karakter yang berasal dari penarikan jarak emosional di luar dirinya. Sosialisasi anak-anak dalam keluarga acapkali diwarnai dengan ketidakhadiran ayah atau laki-laki dewasa, atau setidaknya, adanya jarak emosional laki-laki. Ada semacam ‘baju baja’ (armor) sebagai tameng ego yang kaku. Pengalaman masa lalu menjadi akar keenam mengapa laki-laki melakukan kekerasan. Berdasarkan berbagai riset, laki-laki pelaku kekerasan kebanyakan berasal dari keluarga di mana praktik kekerasan terjadi dalam kehidupan mereka. Pada akhirnya, mereka tumbuh dengan menyaksikan atau mengalami perilaku kekerasan sebagai norma dan kewajaran sehari-hari. Budaya kekerasan yang tumbuh dalam kehidupan mereka di masa lalu pada gilirannya terbawa hingga mereka dewasa saat ini. Terakhir, maskulinitas sebagai mesin tekanan fisik merupakan akar kekerasan terhadap perempuan karena menganggap maskulinitas atau Kelelakian (muscle = otot) adalah definisi sosial yang diberikan masyarakat kepada laki-laki yang mengarahkan mereka untuk berperilaku, berpakaian dan berpenampilan serta bersikap dan memiliki kualitas tertentu. Hal ini kemudian berujung pada stereotip atau pelabelan laki-laki dengan karakteristik tertentu seperti lelaki harus kuat, cuek, kasar, tidak boleh bersolek, tidak boleh menangis/lemah dan sebagainya. Sebenarnya pelabelan yang sedemikian berat ini membuat laki-laki terbebani di dalam kehidupannya dan acapkali korban pelampiasan amarah laki-laki karena tidak bisa memenuhi karakteristik tertentu adalah perempuan yang ia anggap lebih lemah dari dirinya, termasuk dengan melakukan kekerasan terhadap perempuan. Lantas, bagaimana cara laki-laki untuk dapat berpartisipasi dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan jika permasalahan yang mengakar begitu kompleks? Mengutip Alan Berkowitz yang mengatakan bahwa kamu tidak dapat menjadi bagian dari pemecahan masalah sampai kamu memahami bagaimana kamu menjadi bagian dari masalah, Boni kemudian memaparkan cara laki-laki dapat berperan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. Terdapat 10 cara yang dapat dilakukan oleh laki-laki untuk mengambil peran dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, (1) Komunikasi. Masalah besar kita adalah kita seringkali tidak mau bicara atau tidak mau tahu, padahal jika kita bicara dengan mitra kita, kita dapat saling memahami keinginan, pikiran dan harapan kita. Kesepakatan tidak bisa hanya diandaikan ada (taken for granted). (2) Mencari Informasi. Banyak informasi mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) misalnya, dan kita harus belajar, memahami, dan memberikan simpati dan empati. (3) Kontribusi. Kita sepatutnya menyediakan waktu, menyumbang pikiran, dan bahkan dana untuk membantu menghentikan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Bantuan selalu dibutuhkan, dan ada banyak cara untuk terlibat dan mendukung gerakan atau kampanye ini. (4) Mendukung Korban/Penyintas. Kita dapat hadir di sana bagi mereka yang menjadi korban kekerasan domestik atau serangan seksual atau pemerkosaan. Ini artinya membawa seseorang ke rumah sakit, menemani korban ke pengadilan atau kantor polisi, atau hanya sekadar duduk dan mendengarkan penyintas. (5) Mengorganisir. Sebagai laki-laki, kita bisa membangun atau bergabung dengan gerakan yang menentang kekerasan terhadap perempuan. (6) Bertindak. Dari hanya sekadar melihat pelecehan terjadi, kita dapat lebih berperan proaktif dan menjadi saksi yang berdaya. Ini artinya, berdiri tegak, berbicara keras dan terlibat dalam situasi yang berbahaya atau mengajak yang lain untuk membantu. Selalu ada sesuatu yang bisa kita kerjakan. (7) Memilih kata-kata secara sensitif gender. Kita harus memahami dampak dari kata-kata atau kalimat yang kita gunakan sehar-hari. Menggunakan kata-kata atau kalimat seperti “jablay”, “perek”, dan lainnya yang sejenis untuk menggambarkan perempuan kerapkali menjadikan masyarakat secara umum memandang perempuan sebagai inferior. (8) Bicara dengan/dan mendengar perempuan. Banyak perempuan telah bicara selama tahunan, dan berupaya menyebarkan kesadaran. Sekarang waktunya bicara dengan perempuan dan belajar pikiran dan pengalaman mereka yang hidup dengan ancaman kekerasan setiap harinya. Mendengarkan pengalaman perempuan adalah keharusan karena itu adalah bagian dari upaya kita untuk memahami penderitaan yang mereka rasakan dari berbagai tindak kekerasan/ diskriminasi yang mereka alami. (9) Bicara dengan laki-laki. Kita dapat terlibat dialog dengan laki-laki lain dan bicara mengenai kekerasan domestik yang telah menimbulkan dampak buruk pada hidup kita. Kita bisa mengeksplorasi perasaan dan akibat jika dianggap sebagai pelaku potensial kekerasan, dan belajar untuk mendukung penyintas. Bicara dengan laki-laki lain membuat ruang untuk membicarakan ide-ide atau tindakan menantang dan menentang kekerasan domestik. (10) Tunjukkan dengan teladan. Jangan pernah abai, alasan atau tetap diam terhadap kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak. Kita bisa menjadi model panutan terhadap laki-laki lain dan anak-anak dalam komunitas kita. Kita dapat mengajarkan anak-anak kita untuk respek dan tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kita bisa menjadi ayah yang baik dan mitra setara dalam hubungan kita. Kekerasan terhadap perempuan sejatinya bukan hanya menyakiti perempuan saja, tetapi juga menyakiti diri pribadi pelaku kekerasan dan juga laki-laki lain. Hal tersebut dikarenakan kekerasan adalah sesuatu yang destruktif dan merusak tatanan sosial mengingat di kemudian hari ketika kekerasan terus dianggap sebagai sebuah kewajaran, maka tidak perlu heran jika perdamaian akan sulit diraih. Boni menutup kelas dengan mengatakan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan akan lebih baik jika dirangkul dan disembuhkan secara psikis agar di kemudian hari dapat mengubah perilakunya, dan bukan terus dihakimi secara membabi buta tanpa memberikan pencerahan bahwa tindakan yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Boni menegaskan bahwa peran laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih dibutuhkan dalam perjuangan feminisme sekalipun jalan yang dilalui masih panjang dan cibiran yang dilekatkan kepada laki-laki feminis tetap ada. Untuk itu, Boni menghimbau agar kita mengabaikannya dan terus berjuang untuk menyuarakan kesetaraan gender. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |